Konten dari Pengguna

Belajar Untuk Tidak Haus Jabatan Dari Sosok Ini!

Erwin Nugraha
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Prodi Penerbitan(Jurnalistik).
11 Mei 2020 17:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erwin Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari dulu sampai sekarang, jabatan akan sesuatu hal memang selalu menarik manusia untuk memperebutkannya. Manusia berlomba - lomba untuk mendapatkannya walaupun dengan pengorbanan nyawa serta biaya yang tak terkira, mereka rela asal keinginannya tercapai.
ADVERTISEMENT
Padahal dengan seseorang memiliki jabatan yang tinggi serta memiliki kekuasaan, seringkali justru membuat mereka menjadi tersesat dan membuatnya lupa menjadi manusia seutuhnya. Mereka yang haus akan jabatan biasanya berpikir betapa indah dan nikmatnya memiliki jabatan. Dengan Jabatan yang tinggi dan memiliki kekuasan, apapun dapat diraihnya. Dengan memiliki jabatan dan kekuasaan memang bisa memaksa seseorang membutakan hati nurani dan menutup mata hatinya.
Seharusnya kita belajar dari sosok ini, seseorang yang tidak haus jabatan. Dia adalah khalifah ke-8 dari Dinasti Umayyah yang berkendudukan di Damaskus, dan lahir pada tahun 63 H bertepatan dengan 682 M di Dair Sam’an, Suriah. Dia bernama Abu Hafs Umar bin Abdul Aziz, atau yang sering disebut Umar II.
ADVERTISEMENT
Dia mendapatkan sebutan Umar II, karena sering disejajarkan dengan sang pemimpin legenda Umar Bin Khattab yang tak lain adalah kakek buyutnya melalui ibunya, Laila Umm Asim binti Asim bin Umar bin Khattab.
Umar bin Abdul Aziz sejak kecil sudah berada dalam lingkungan yang tepat, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Madinah, hingga wafatnya sang Ayah. Kemudian, pamannya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, membawanya ke Damaskus dan menikahkan Umar dengan putrinya Fatimah.
Karier politik di pemerintahan mulai terbentuk saat ia berusia 24 tahun dan menjabat sebagai Gubernur Hedjaz dengan kedudukan di Madinah pada pemerintahan Al Wahid I (Khalifah ke-6). Dia juga beruntung menjadi pengawas pelaksanaan pembangunan dan pembongkaran masjid Nabawi.
Sebagai gubernur dia berbeda dengan gubernur sebelumnya dalam hal penampilan. Ciri yang paling mencolok dari dia adalah sangat adil dalam memerintah, suka mendiskusikan segala hal antara ulama. Umara, dan para bawahannya untuk mencari kata sepakat dalam banyak hal untuk kepentingan rakyat dan pemerintah. Untuk itulah dibentuk dewan penasihat, yang beranggotakan sepuluh ulama.
ADVERTISEMENT
Dia sempat dipecat dari jabatannya sebagai gubernur pada tahun 93 H, akibat hasutan Hajjaj bin Yusuf As Saqafi. Namun, Umar diangkat kembali menjadi khatib atau sekretaris Negara pada pemerintahan Khalifah ke-7, Sulaiman bin Abdul Malik.
Umar berbeda dengan orang lain yang haus akan jabatan. Dia tidak haus akan jabatan, bahkan ketika Khalifah ke-7 sakit keras, Umar sudah punya firasat bahwa dia akan meninggal dan akan menunjuk serta mencari penggatinya. Dia sangat khawatir jika ternyata dirinya yang akan terpilih dan ditunjuk sebagai khalifah penggati.
Dia menyadari jika jabatan itu amanah, bukan ajang memperkaya diri, main-main dan hanya ingin terlihat wibawa di depan masyarakat.
Sampai dalam suatu kesempatan Umar bercerita pada Raja' bin Haiwah yang merupakan perdana menteri, "Dengan bersaksi pada Tuhan, saya meminta padamu padamu jika khalifah menyebut nama saya untuk jabatan itu, hendaklah engkau halangi. Dan jika khalifah lupa atau tidak menyebut-nyebut nama saya, jangan engkau ingatkan dia."
ADVERTISEMENT
Terlihat dari kalimat di atas menunjukan jika ada orang yang cerdas, berdedikasi dan memiliki jiwa seorang pemimpin sejati, dia tidak mau meminta jabatan.
Namun, semua itu terlambat. Sebelum Umar mengatakan itu, sang khalifah sudah sepakat dengan perdana menterinya bahwa Umar akan diangkat menjadi khalifah apabila khalifah Sulaiman sudah wafat. Umar pun tidak dapat mengelak untuk menerima amanah besar dan sangat berat itu.
Pada saat periode kepemimpinannya, Umar tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Melainkan ia tetap sederhana dalam kehidupannya, bahkan sangat terkenal sederhana, makanan yang ia makan pun sama seperti yang dimakan masyarakat kebanyakan. Nepotisme, Kolusi, dan Nepotisme atau yang lebih dikenal KKN sangat jauh pada masa pemerintahan Umar.
ADVERTISEMENT
Seharusnya pemimpin atau pejabat di negeri ini belajar dari sosok Umar, yang sangat mementingkan kepentingan rakyat yang paling utama. Kita harus ingat arti Demokrasi yang memiliki arti pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Ada sebuah kisah yang menunjukan bahwa Umar sangat mementingkan kepentingan rakyat atau umatnya, ketika sang putra membicarakan masalah pribadi dan keluarga, Umar dengan serta merta meniup lenterannya di ruang kerjanya. Dengan seketika putranya terkejut sambil bertanya, "Mengapa kita bercakap dalam keaadan gelap?" Umar menjawab dengan bijak, "Nak, kita berbincang masalah keluaraga, dan lampu ini adalah milik rakyat yang dibeli dengan uang negara, maka sebaiknya kita tak gunakan uang rakyat."