Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Banjir Jakarta Bukan Salah Anies atau Jokowi, tapi Salah Air
23 Desember 2019 17:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita paham belaka, tidak ada makhluk yang sempurna. Orang tua bisa memarahi kita tanpa sebab, teman bisa mencampakkan kita begitu saja, kekasih bisa mengkhianati kita sewaktu-waktu, juga para pemimpin bisa melupakan janji-janji yang telah mereka bikin sendiri. Itu dari kalangan manusia. Dari kalangan non-manusia, ketidaksempurnaan itu juga tampak begitu nyata.
ADVERTISEMENT
Misalkan saja pada musim hujan begini. Banjir di mana-mana. Dari tahun ke tahun banjir tak pernah absen datang, terutama di Ibu Kota Jakarta.
Salah siapakah ini? Apakah salah Anies Baswedan yang kurang kreatif dan cakap menangani permasalahan ini? Ataukah salah Jokowi yang bilang kalau banjir bakal lebih gampang teratasi kalau dia sudah jadi presiden? Ataukah salah masyarakat yang buang sampah sembarangan dan mendirikan bangunan di daerah resapan air? Sayangnya, persoalan banjir ini bukan salah mereka semua. Biang kerok banjir hanyalah satu. Satu makhluk. Tiada lain ialah, only and the only one, yaitu… air.
Tentu saja saya tidak sedang bercanda. Kita bisa menyimak perkataan Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini Yusuf. Saat ditanyakan soal genangan air yang muncul di beberapa ruas jalan di Jakarta ketika hujan pada Selasa (17/12/2019), ia bertutur, “Kemarin kebetulan hujannya cukup tinggi, intensitasnya lama juga, hampir dua jam.
ADVERTISEMENT
Kebetulan memang di situ ada beberapa titik, mulut air kami kurang banyak, kurang lebar, sehingga air itu mengantre di lokasi itu.”
Berkat Pak Juaini, akhirnya kita menemukan kunci jawaban dari persoalan yang melanda Ibu Kota selama bertahun-tahun. Tidak seperti kata para pakar lingkungan dan tata kota yang terkesan rumit. Ternyata masalah banjir di Jakarta ini simpel belaka.
Hanya soal air. Tepatnya air yang kelewat berbudaya. Karena terlalu patuh mengantre di beberapa titik, mereka pun menyebabkan banjir di sejumlah ruas jalan di Jakarta.
Kalau saya amat-amati, sungguh betul Pak Juaini. Penyebab utama banjir memang lantaran air mengantre. Oleh karena itu, saya kira, alih-alih mengedukasi warga untuk menjaga lingkungan dan memulai gaya hidup yang teratur, atau mengusahakan sejumlah strategi penataan kota yang lebih bisa tahan banjir, alangkah baiknya Pak Gubernur dan para pihak berwenang mengadakan seminar atau kuliah khusus untuk para air.
ADVERTISEMENT
Nah, tidak ada waktu yang lebih tepat untuk memberikan seminar atau kuliah kepada air selain pada waktu-waktu sekarang, ketika musim hujan dan air sering datang beramai-ramai.
Pak Gubernur selayaknya mencari lokasi di mana air paling banyak muncul. Bisa di pinggir laut atau di wilayah-wilayah yang paling parah tergenang banjir.
Jika sudah sampai sana, Pak Gubernur bolehlah menyampaikan makalah Pak Gubernur kepada para air. Kira-kira makalah tersebut berjudul “Sejumlah Imbauan dan Peringatan bagi Kaum Air demi Penanganan Banjir di Jakarta”.
Dalam penyampaian seminar itu, Pak Gubernur perlu menekankan kepada kaum air bahwa budaya mengantre bukanlah budaya yang baik apabila itu dipraktikkan bukan oleh manusia.
Kalau manusia mengantre, niscaya akan menghasilkan keteraturan dan kerapian. Akan tetapi, kalau air mengantre, itu dapat menyebabkan banjir.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kata Pak Juaini Yusuf. Pak Gubernur mesti menyerukan agar kaum air langsung masuk saja ke tanah kalau baru datang dari awan. Tidak usah repot-repot mengantre apalagi sampai mengambil tiket antrean.
Selain itu, penting juga Pak Gubernur memberikan edukasi kepada kaum air untuk tidak main keroyokan. Pak Gubernur harus mengajarkan budaya santuy kepada kaum air. Pak Gubernur bisa mencontohkan kelakuan santuy para penduduk +62 sebagai suri teladan.
Kalau perlu, kaum air harus diberikan beasiswa sekolah. Di mana di sekolah-sekolah khusus air itu mereka hanya mempelajari satu mata pelajaran, yaitu Pendidikan Akhlak untuk Air. Para gurunya haruslah orang-orang semacam Pak Juaini Yusuf. Guru-guru harus bisa memberikan pemahaman kepada kaum air untuk bisa bekerjasama dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Mereka boleh datang dari laut ke awan, dari awan ke bumi, tapi jangan gerombolan. Dan kalaupun gerombolan, usahakan tidak perlu mengantre, udah weh langsung aja masuk ke dalam tanah, supaya banjir yang dikeluhkan umat manusia tidak pernah lagi terjadi.
Pemberian pendidikan kepada kaum air saya kira harus digencarkan dan diselenggarakan dengan serius. Sebab, merekalah yang menjadi penentu, apakah banjir bisa diatasi atau tidak. Adapun umat manusia, tidak banyak menentukan.
Berkali-kali diperingatkan untuk menjaga lingkungan, toh mereka tetap saja buang sampah sembarangan dan membangun rumah di manapun. Jadi, sudah semestinyalah para pihak yang berwenang mengalihkan fokus mereka terhadap pendidikan kaum air.
Sebagai makhluk yang paling bertanggungjawab atas terjadinya banjir dari masa ke masa, mereka harus diberikan pendidikan yang maksimal. Mereka harus diajarkan cara menjadi air yang penuh sopan santun.
ADVERTISEMENT
Saya rasa poinnya sudah jelas. Tak perlu lagilah kita saling menyalahkan satu sama lain dan mencaci-maki pihak-pihak tertentu mengenai bencana banjir yang tak kunjung hilang. Sebab, kita sudah dapat solusi brilian.
Ya, satu-satunya jalan untuk menangani banjir adalah dengan memberikan kaum air akses pendidikan yang cukup. Mari kita bikin sekolah-sekolah elit dan angkat guru-guru yang kompeten untuk mendidik kaum air! Mari Pak Jokowi! Mari Pak Anies Baswedan! Mari Pak Nadiem Makarim!