Konten dari Pengguna

Berhusnuzan terhadap Penunjukan Gibran Rakabuming sebagai Cawalkot Solo

Erwin Setia
Penulis cerpen dan esai.
20 Juli 2020 15:02 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka meninggalkan kantor DPC PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7).  Foto: Afiati Tsalitsati-kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka meninggalkan kantor DPC PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7). Foto: Afiati Tsalitsati-kumparan
ADVERTISEMENT
Begitu Gibran Rakabuming Raka resmi diusung oleh PDIP sebagai calon wali kota Solo pada Pilkada 2020, publik seketika geger. Anggapan-anggapan miring tertuju kepada Gibran seolah-olah Gibran baru saja beli gorengan 3 tapi mengambil 5 potong. Dia yang biasanya berkutat dengan martabak sekonyong-konyong harus mempertaruhkan martabat.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang lekas menuduh Gibran telah menjilat ludah sendiri. Sebab, dulu Gibran pernah bilang bahwa ia tak tertarik dengan politik. Namun, kita harus ingat bahwa setiap orang berhak berubah. Ada yang berubah dari tukang kayu menjadi presiden; ketua MUI jadi wakil presiden; dan ada pula yang berevolusi dari pengusaha martabak jadi calon wali kota. Lumrah, toh?
Seorang pepatah bilang, “Tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.” Jadi, wajar belaka kalau Gibran berubah pendapat dan malah memilih sesuatu yang dulunya ia hindari. Mungkin ia pengagum si pepatah dan karena itu tak merasa keberatan untuk berubah 180 derajat. Selain itu, perubahan tersebut menunjukkan bahwa Gibran adalah manusia biasa—yang dinamis dan tidak terpaku pada pendapat lama.
ADVERTISEMENT
Sebagian lain khawatir Gibran berkarier di bidang politik semata-mata memanfaatkan nama besar Jokowi—sang ayah yang menjabat Presiden RI dua periode. Bukan karena kapabilitas seorang Gibran. Mereka mengira Gibran hanya anak kencur dalam bidang perpolitikan. Atau, pendapat yang lebih keras menyebut, Gibran cuma boneka yang diperalat partai untuk merebut hati rakyat.
Anggapan semacam itu tentu saja kelewat menyepelekan kiprah seorang Gibran. Kita tahu Gibran bukan sekadar anak presiden yang menggantungkan seluruh hidupnya kepada sang bapak. Sejak lama Gibran dikenal sebagai pebisnis ulung. Ia telah memiliki bermacam-macam cabang usaha; dari usaha katering hingga martabak.
Menjadi seorang pengusaha tentu tidak hanya memerlukan modal; tapi juga keberanian dan jiwa kepemimpinan. Keberanian dan jiwa kepemimpinan adalah dua unsur yang juga diperlukan dalam bidang politik. Dan Gibran punya catatan baik dalam hal itu. Jika ia bisa memimpin sejumlah lini usaha sekaligus, kenapa tidak sekalian mencoba memimpin sebuah kota? Bukankah martabak dan masyarakat terkadang tidak beda jauh: selama diolah dengan baik, keduanya dapat membawa keuntungan besar. Iya, kan?
ADVERTISEMENT
Selain itu, menjadi calon wali kota bisa menjadi upaya Gibran untuk memperlebar lini usahanya. Ia bukan lagi hanya berbisnis hal-hal konkret semacam makanan, tapi juga bergelut dalam bisnis yang abstrak: bisnis kekuasaan. Bukankah itu bidang bisnis yang cukup menjanjikan belakangan ini? Keuntungannya bukan hanya uang, tapi kehormatan, kewenangan, dan kejayaan. Mantap betul.
Hal itu juga membuktikan kejeniusan dan kreativitas Gibran (dan orang-orang di sekitarnya). Jika pengusaha-pengusaha lain sekadar menjalankan bisnis yang mainstream, Gibran berani melangkah lebih jauh ke dalam bisnis yang berisiko tinggi dan mempertaruhkan jiwa-raga. Cukup banyak pebisnis yang mulai coba-coba merambah dunia politik, dan apa salahnya Gibran mengikuti jejak-jejak para pendahulunya (halo Pak Hary Tanoe, Pak Surya Paloh, Pak Aburizal Bakrie?).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tuduhan lain yang agak keji terhadap Gibran adalah anggapan bahwa penunjukan Gibran sebagai cawalkot Solo adalah upaya Jokowi untuk membentuk politik dinasti menyerupai Soeharto dan Megawati (atasan beliau di PDIP). Jelas anggapan ini tak tepat. Pertama, Jokowi menentang keras tuduhan sedang membangun politik dinasti. Kedua, toh sejauh ini belum ada keturunan Jokowi yang betul-betul berkuasa. Gibran kan baru sekadar mencalonkan diri. Sementara Bobby Nasution—menantu Jokowi—masih dalam tahap rencana untuk dicalonkan maju dalam Pilkada.
Alih-alih politik dinasti, keputusan Gibran maju sebagai cawalkot hendaklah kita anggap sebagai bentuk ketaatan Gibran terhadap sang bapak. Sebagai seorang anak, Gibran jelas ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Sebab kalau tidak berbakti, nanti bisa masuk neraka. Kan bahaya. Dan yang namanya berbakti memang tidak selalu mudah. Ada saja tantangannya. Mulai dari pertentangan batin hingga risakan netizen.
ADVERTISEMENT
Kebetulan kali ini Jokowi—sang bapak—menginginkan bakti sang anak untuk meneruskan kekuasaan di kota kelahiran beliau. Dan jika partai, eh orang tua sudah memerintah, maka sebagai anak yang baik hati dan tidak sombong, Gibran bisa apa selain patuh?
Dengan memahami berbagai alasan di atas, kita akan dapat mengerti dan lebih memaklumi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai calon wali kota Solo. Ini bukan sekadar keinginan untuk berkuasa atau kehendak untuk membangun politik dinasti. Enggak, lah. Mana mungkin Jokowi dan keluarganya berbuat seperti itu? Ingat, ini semua hanya usaha Gibran untuk memperlebar lini usahanya dan berbakti kepada partai, eh orang tua yang sudah membesarkannya.
Jadi, marilah kita berhusnuzan kepada Gibran dan Jokowi. Sebab keinginan Gibran untuk menjadi wali kota tentulah berdasarkan niat baik untuk menyejahterakan banyak orang, bukan demi kekuasaan semata. Betul begitu kan, Mas Gibran?
ADVERTISEMENT