Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyambut New Normal yang Enggak 'New-new' Amat
27 Mei 2020 15:00 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari sebelum lebaran, kakak saya yang seorang pengemudi ojol mengeluhkan jalan raya yang mendadak macet. Padahal sebelumnya jalan-jalan terbilang lengang. Selain seruan soal social distancing dan PSBB yang masih gencar, hawa Ramadhan yang panas juga membuat orang berpikir ribuan kali untuk ke luar rumah.
ADVERTISEMENT
Dua hari sebelum lebaran, untuk suatu keperluan mendesak, saya menyusuri kota Jakarta. Berkali-kali saya melewati pasar yang bukan hanya ramai, tapi penuh dengan orang-orang berdesakan bagaikan tumpukan sayur. Saat melewati beberapa ruas jalan saya tak menemukan petugas yang berjaga untuk sekadar memeriksa pengendara yang melintas. Malahan saya mendapati satu terpal pengawasan COVID-19 tampak baru dirubuhkan.
Keberanian para warga dan longgarnya penjagaan itu tak ayal membuat saya takjub sekaligus heran. Jakarta adalah daerah dengan kasus corona tertinggi di Indonesia. Namun, belum juga kasus corona betul-betul hilang atau minimal kurvanya melandai, segala aturan sudah terbengkalai. Paduan antara ketidaktegasan pemerintah dan ketidakpatuhan masyarakat pun menghasilkan kenyataan yang membikin saya kepengin hijrah ke Pluto.
ADVERTISEMENT
Rupanya keramaian yang kembali muncul itu bukan hanya terjadi di Jakarta. Saya membaca berbagai berita dan mendengar informasi dari kawan-kawan yang tinggal di daerah-daerah lain di Indonesia, kerumunan kembali tercipta di mana-mana. Dari ujung Bekasi hingga Sidoarjo, orang-orang berkumpul lagi seolah sedang tidak terjadi apa-apa, seolah corona sudah minggat dan memilih jalan damai—mungkin mengaminkan ajakan Pak Jokowi tempo hari.
“Kita ingin, sekali lagi, bisa masuk ke normal baru, masuk ke tatanan baru dan kita ingin muncul sebuah kesadaran kedisiplinan yang kuat sehingga RO-nya terus bisa kita tekan di bawah 1,” ujar Pak Jokowi, Selasa (26/5) sebagaimana dilansir Kumparan.
Melihat deretan fakta di atas, kata-kata Pak Jokowi soal new normal alias kenormalan baru terdengar agak aneh. Bukan apa-apa, wong sebelum Pak Jokowi bicara soal new normal masyarakat memang sudah hidup seperti semula kok. Sudah berani meramaikan pasar, jalan-jalan, kopdaran, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tentu kita tak bisa serta merta menyalahkan masyarakat yang melanggar aturan. Sebab, pihak pemerintah juga tidak mampu memberi teladan yang baik, sih. Soal pelaksanaan konser BPIP yang tidak mengindahkan social distancing, misalnya. Kalau pemerintahnya saja abai terhadap peraturan, bagaimana masyarakat mau patuh?
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari new normal? Tatanan kehidupan baru? Wah, keren banget namanya. Padahal, kalau ditelisik lebih lanjut, new normal yang dimaksud Pak Jokowi lebih merujuk kepada pengaktifan kembali lini-lini ekonomi yang sempat mati. Lah, itu kan nggak ada new-new-nya sama sekali. Kalau pun ada sesuatu yang new alias baru, ya sebatas protokol kesehatan berupa penggunaan masker, hand sanitizer, dan semisalnya saja, yang sayangnya juga masih banyak tak diacuhkan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketika pada Selasa (26/5) Pak Jokowi mengunjungi mal di Bekasi dalam rangka persiapan new normal, kasus corona di Indonesia sudah mencapai 20.000-an lebih dengan rata-rata pertambahan harian 500 kasus. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari predikat “mendingan”, apalagi “baik”.
Selain itu, maraknya kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan baik oleh masyarakat sipil maupun petugas juga menunjukkan bahwa penanganan corona di Indonesia belum efektif. Alih-alih efektif, kita justru menemukan kasus-kasus konyol semacam ratusan ribu kendaraan diketahui keluar dari Jakarta dan warga pelanggar protokol kesehatan berkelahi dengan petugas.
Mempersiapkan new normal dengan cara mengecek kesiapan mal yang dilakukan Pak Jokowi juga seakan menunjukkan makna new normal yang mendekam di kepala para pemangku kebijakan kita. New normal barangkali cuma soal pembukaan mal-mal dan toko-toko. Roda ekonomi dipaksa bergulir lagi, walaupun jalan-jalan masih berlubang dan ambrol di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Padahal, alih-alih menggencarkan new normal, pemerintah seharusnya memaksimalkan aturan yang sudah lebih dulu dilaksanakan. Soal PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan social distancing, umpamanya. Yang terjadi di lapangan, PSBB dan social distancing kerap kali sebatas formalitas. Andaikan aturan yang sudah ada dijalani secara maksimal dan konsisten, mungkin kasus corona di Indonesia bakal lebih minim.
Adapun seruan soal new normal tanpa kebijakan yang jelas dan tegas, kita khawatir istilah itu cuma akan jadi nonsens. Kita berharap new normal yang ada, eh yang terjadi hanya pengulangan kenormalan-kenormalan lama. Kalau begitu mah istilah-istilah rumit pada akhirnya hanya jadi topeng yang dikenakan pemerintah supaya terlihat canggih dan gagah, padahal aslinya masih ambyar.
ADVERTISEMENT