Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Soal Natuna, Prabowo Mengajarkan Kita bahwa Sahabat Bisa Berkhianat
8 Januari 2020 17:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak pergantian menteri kelautan dan perikanan Indonesia dari Susi Pudjiastuti menjadi Edhy Prabowo, problematika seputar kelautan seketika marak. Mulai dari kontroversi ekspor benih lobster, masuknya pencuri ikan dari Vietnam, hingga teranyar soal kapal pencari ikan dan coast guard (penjaga pantai) asal China yang menerobos masuk wilayah ZEE Indonesia—tepatnya Laut Natuna, Kepulauan Riau.
ADVERTISEMENT
Soal ekspor benih lobster, Susi Pudjiastuti sampai ikut urun pendapat. Beliau sudah bukan lagi menteri, tapi menariknya—sekaligus ironisnya—pendapat beliau yang disampaikannya via Twitter justru disambut penuh sukacita oleh masyarakat. Pada satu titik malah bisa dikatakan kata-kata beliau lebih direken ketimbang ucapan Edhy Prabowo, yang notabene merupakan Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini.
Dengan sabar dan telaten, beliau menjelaskan soal pentingnya merawat benih lobster di negeri sendiri, alih-alih mengekspornya sejak masih benih. Pada satu twit, beliau membikin semacam hook keras, saat mengomentari pernyataan Edhy Prabowo yang bilang bahwa benih lobster akan mati kalau tidak dibudidayakan—dalam hal ini, yaitu diekspor. Begini kata Susi Pudjiastuti: “Kita semua juga akan mati.”
Waduh, Bu Susi ini kalau ngomong menohok banget, sih.
ADVERTISEMENT
Sementara soal kapal-kapal asing yang belakangan kian berani merangsek ke perairan Indonesia, ini membuat kita bertanya-tanya. Mengapa mereka seberani itu? Apakah lantaran penjagaan kita di perbatasan tidak ketat? Ataukah karena mereka sudah tahu bahwa Susi Pudjiastuti—yang jargonnya “tenggelamkan kapal” sangat terkenal itu—tidak lagi menjabat, sehingga rasa takut mereka menyurut?
Memang sih, terkait masuknya kapal China ke Laut Natuna, pihak Kemenlu RI sudah melayangkan protes. Tapi, menurut Hikmahanto Juwana—pakar hukum Internasional dan guru besar Universitas Indonesia—protes diplomatik saja tidak cukup. Perlu juga kehadiran fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia. Entah itu KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), TNI AL, dan Bakamla (Badan Keamanan Laut).
Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal juga mengusulkan agar Natuna menjadi provinsi khusus. Tak lain agar pengelolaan dan penjagaan di kawasan itu diperketat dan diperbaiki lagi.
ADVERTISEMENT
Intinya masalah kedaulatan Laut Natuna ini bukan lagi perkara biasa-biasa saja. Wong juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang sampai dengan congkak bilang, “Indonesia menerima atau tidak klaim mereka (yaitu bahwa China berhak memasuki Laut Natuna—penulis), hal itu tidak dapat mengubah fakta obyektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di wilayah laut yang relevan.”
Nah, karena itulah, saya kira seharusnya Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan dan Menhan Prabowo Subianto bersikap tegas dan berapi-api. Wajar dong bersikap tegas. Daerah kita dimasuki orang asing, masak tidak marah, sih?
Alih-alih mencak-mencak seperti ketika melawan para penghambat investasi, Luhut Pandjaitan justru bilang masalah masuknya kapal China ke Laut Natuna tidak perlu dibesar-besarkan. Sedangkan Prabowo Subianto menyebut bahwa permasalahan itu bisa diselesaikan secara baik-baik, karena bagaimanapun China adalah sahabat.
ADVERTISEMENT
Apa, sahabat?
Perkataan Prabowo memang dapat memunculkan beragam pertanyaan susulan. Kita bisa bertanya semisal: Mana ada sahabat mencuri kepunyaan sahabatnya sendiri? Mana ada sahabat doyan mengklaim wilayah orang? Mana ada sahabat yang tidak menghormati kedaulatan sahabatnya sendiri? dan sederet pertanyaan sejenisnya.
Namun, saya berusaha husnuzhan dalam memaknai perkataan Prabowo tersebut. Barangkali beliau hanya sedang berusaha mengungkapkan fakta besar yang pahit tapi sering tidak kita sadari. Apa itu? Ya betul, fakta bahwa kadangkala sahabat justru bisa menjadi bejat, jahat, dan berkhianat.
Bagi Prabowo dan orang-orang yang sepemahaman dengannya, China adalah sahabat Indonesia. Tapi, label sahabat tak mengubah kenyataan bahwa siapa saja bisa berbuat jahat. Bahwa siapa pun bisa berkhianat. Kalau kamu pernah ditelikung sahabat sendiri dalam perkara asmara, mungkin masalah China-Indonesia ini bisa lebih mudah kamu pahami. Tidak jarang sahabat diam-diam justru ingin merebut apa yang kita punya.
ADVERTISEMENT
Lalu, sahabat macam itu pantasnya kita apakan? Semestinya ditindak tegas, biar tidak tuman. Nah, saya kira ucapan Prabowo “kita bisa selesaikan baik-baik” adalah eufemisme dan sebuah siasat. Bagaimanapun, Prabowo adalah tentara dan punya banyak kiprah di dunia pertempuran. Jadi, bisa saja maksud “kita bisa selesaikan baik-baik” yang Prabowo katakan adalah kebalikannya. Sebenarnya yang akan beliau lakukan—dengan wewenangnya sebagai Menteri Pertahanan—adalah tindakan tegas terhadap kapal pencoleng China.
Saya harap dugaan saya bukanlah halusinasi yang kebablasan. Saya harap Prabowo betul-betul sedang mengajarkan kepada kita bahwa adakalanya sahabat bisa menjadi penjahat dan pengkhianat. Dan balasan yang setimpal untuk sahabat semacam itu adalah: lawan dan tindak tegas!
Dalam perkara “sesepele” kisah asmara saja kita bisa dan biasa tegas terhadap sahabat yang berkhianat, masak dalam perkara sebesar kedaulatan yang diusik tidak bisa, sih?
ADVERTISEMENT