Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Antara Hati Nurani dan Kelayakan Hidup Dokter Terpencil di Papua
23 Januari 2019 19:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ester Lea Awoitauw tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dokter telah menjadi profesi pujaan dan dihargai di kalangan masyarakat luas. Salah satu alasan mengapa dokter menjadi profesi terpandang karena komitmen pengabdian diri demi kesembuhan pasien, yang adalah sesama manusia, yang membutuhkan pertolongan.
ADVERTISEMENT
Banyak yang telah memasuki dunia perkuliahan kedokteran, namun kandas di tengah jalan karena menemukan kenyataan yang berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya. Tidak sedikit pula yang telah mengambil sumpah sebagai dokter, namun pada akhirnya menggantung jas dokter karena tuntutan pilihan hidup yang telah disepakati di dalam rumah tangga yang baru.
Ada beberapa yang pada akhirnya benar-benar mengikuti panggilan hidupnya, yang ternyata bukan pada profesi misi kemanusiaan ini. Yang bertahan dan tetap mengabdi, baik di kota-kota maupun di pedalaman seperti kami, adalah orang-orang yang setiap pagi bangun dan menyemangati diri kami bahwa pengabdian kami telah diperhitungkan oleh Sang Pencipta, tidak peduli berapa pun upah yang kami peroleh. Sebab kami telah bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menolong ciptaan-Nya yang sakit sampai sembuh dan tidak akan pernah menyakiti mereka.
ADVERTISEMENT
Membaca banyaknya berita yang telah menjadi polemik di media sosial akhir-akhir ini tentang upah dokter yang dibandingkan dengan jasa tukang parkir dianggap ironis, yang katanya lebih banyak upah tukang parkir. Fakta lainnya, 15,69 persen dokter digaji kurang dari Rp 3 juta dalam satu bulan ada di DKI Jakarta, sementara tukang parkir di DKI Jakarta mendapatkan gaji sesuai UMP, yakni Rp 3.648.035.
Fakta ini menunjukkan bahwa gaji tukang parkir pun bisa melebihi beberapa dokter umum yang ada di Jakarta. Apabila gaji tersebut dibandingkan dengan rekomendasi gaji minimal menurut standar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2014, yakni Rp 12.500.000 per bulan. Pada 2016, IDI menilai ulang dan menyatakan besaran itu tidak manusiawi, di mana gaji dokter semestinya Rp 17 jutaan, sedangkan spesialis mulai dari Rp 40 jutaan.
ADVERTISEMENT
Riset JDN menunjukkan bahwa upah dokter di bawah Rp 3 juta tidak hanya di daerah terpencil Indonesia, namun masih banyak ditemui di Jakarta dan Jawa Barat. Menyimak berbagai laporan berupa angka-angka nominal upah seorang dokter yang menjadi trending topic, setelah Calon Presiden Prabowo, dalam pidatonya yang lalu, menyinggung gaji dokter yang katanya lebih kecil dibandingkan jasa tukang parkir.
Hal ini menarik perhatian saya sebagai seorang tenaga dokter di salah satu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di daerah terpencil di Papua. Sebagai salah satu dokter yang masuk dalam kategori dokter PNS, yang mengabdi di bawah 5 tahun dengan upah gaji pokok per bulan Rp 2,7 juta dan tunjangan insentif daerah Rp 4 juta per bulan, ditambah dengan tunjangan kinerja Rp 1 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Jadi, kira-kira total upah per bulan yang saya peroleh adalah Rp 7,7 juta sebagai dokter umum PNS yang belum menikah, yang bekerja di wilayah kerja kategori terpencil di Papua.
Beberapa teman-teman dokter umum yang juga sama dengan saya bekerja di Papua rata-rata memilki upah 5-10 juta per bulan. Bahkan, teman-teman sejawat yang bekerja di wilayah sangat terpencil, baik PNS maupun non-PNS, mendapat tunjangan insentif daerah sangat terpencil yang berkisar antara 10-20 juta, tergantung jauh dan beratnya medan kerja.
Jumlah yang terbilang besar ini sebanding dengan pengeluaran untuk hidup sehari-hari yang juga tidak murah dan transportasi yang jauh, sehingga dapat dikatakan gaji bersih yang kami hampir sama dengan gaji pokok teman-teman sejawat dokter di kota besar.
ADVERTISEMENT
Menanggapi diskusi topik yang sedang marak ini, saya kembali teringat bahwa kehidupan dan kepuasan hidup tidak melulu tentang seberapa besar upah yang diperoleh, namun sejatinya diperoleh saat kita bisa berbagi apa yang ada pada kita dengan sesama yang sangat membutuhkan pertolongan kita.
Mengingat bagaimana perjalanan selama perkuliahan sebagai anak rantau selama 10 tahun di Bandung, demi mengubah masa depan diri sendiri dan tanah Papua yang tertinggal dalam segala bidang, khususnya kesehatan, banyak mengubah pandangan hidup saya.
Saya mulai melihat hidup adalah tentang memberi dan bukan diberi. Tentang melayani dan bukan dilayani. Tentang berdampak dan bukan berdebat, serta tentang meninggalkan warisan bagi generasi dan bukan menimbun untuk kepentingan sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya yakin segala pelayanan yang kita lakukan dalam bidang apapun niscaya benih yang kita tabur menunggu waktunya untuk berbuah. Demikian juga dalam bidang kesehatan kami berusaha keras semampu kami memberikan pengabdian terbaik kami kepada sesama manusia guna melihat terciptanya manusia Indonesia yang sehat secara holistik tanpa memprioritaskan imbalan jasa, seperti kutipan sumpah luhur Hippocrates: The health of my patient will be my first consideration.
Semoga dokter-dokter Indonesia tetap mengingat citra luhur panggilan profesi mulia ini di tempat pertama yang dilambangkan dengan jas putih dokter yang kita pakai sambil tetap mengupayakan standar kelayakan hidup yang terbaik dan adil bagi kehidupan sejawat dokter di seluruh Indonesia.
Salam pengabdian dari Papua.