Jeffrey Epstein

Orang yang Tidak Kita Sangka (Sangat) Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

Ester Pandiangan
Content Writer aplikasi kesehatan dan penulis buku Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022), bisa dikontak di @esterpandiangan.
25 Januari 2024 12:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemodal AS Jeffrey Epstein muncul dalam foto yang diambil untuk pendaftaran pelaku kejahatan seksual Divisi Layanan Peradilan Pidana Negara Bagian New York pada 28 Maret 2017. Foto: REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pemodal AS Jeffrey Epstein muncul dalam foto yang diambil untuk pendaftaran pelaku kejahatan seksual Divisi Layanan Peradilan Pidana Negara Bagian New York pada 28 Maret 2017. Foto: REUTERS
ADVERTISEMENT
Saya berusaha menyelesaikan episode pertama dari tayangan dokumenter Jeffrey Epstein di Netflix, tapi ternyata saya tidak sekuat itu. Walaupun tanpa penampakan visual, deskripsi verbal yang detail dan eksplisit sudah cukup memengaruhi kejiwaan saya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Epstein memperdaya para korban sedemikian rupa, sehingga korbannya mempertanyakan kembali apakah mereka memang sedang dilecehkan atau ini hanya perasaan mereka saja, semua tergambarkan dengan sangat jelas.
Ada satu scene yang menjelaskan bagaimana seorang perempuan muda yang memiliki bakat melukis diajak Epstein untuk melakukan residensi di salah satu kediaman mewahnya. Kemudian, bagaimana Epstein meminta perempuan muda tersebut melepaskan baju dan memijatnya. Di adegan yang lain—saya lupa entah di korban yang sama atau berbeda—Epstein dan istrinya melecehkan seorang perempuan dengan meraba payudaranya masing-masing di kanan dan kiri.
Kok bisa ya, orang seperti Epstein melakukan tindakan semenjijikkan itu? Ditambah fakta kalau korbannya tersebut masih berusia muda. Epstein tidak melakukan pedofilia sendirian melainkan bersama orang-orang dewasa lain yang bukan “sembarang” orang dewasa. Mereka para petinggi di dunia politik, hiburan, ilmuwan, intinya orang-orang yang tidak pernah disangka.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang berasumsi para pelaku kekerasan selalu pasti bertampang sangar dengan tingkat pendidikan rendah, hidup berantakan, pokoknya profil kriminal bangetlah! Itulah konstruksi sosial yang sering menilai moral orang dari tingkat pendidikan dan status sosialnya.
“Mosok dosen memerkosa?”
"Mosog guru ngaji mencabuli?"
“Enggak mungkinlah wong dia orang baik kok, berpendidikan, masak jadi pedofil?”
Saya sering mendengar pernyataan atau komentar bernada kurang lebih begitu, yang tidak percaya kalau sosok yang selama ini punya rekam jejak karier/hidup yang bagus ternyata berperilaku tercela. Orang-orang tidak berpendidikan, berwajah jelek sepertinya lebih masuk akal menjadi jahat. Fisiknya saja sudah buruk apalagi perilakunya? Inilah stereotip yang dibangun di benak masyarakat pada umumnya.
Padahal kalau dipikir-pikir, butuh orang berpenampilan dandy dengan otak cemerlang yang bisa membangun skenario kejahatan—misalnya seperti yang dilakukan Epstein. Detail manipulasi pikiran dan tindakan yang dilakukannya satu demi satu adalah bukti kalau otaknya cerdas. Ditambah lagi dia punya akses power untuk melakukan tindak kejahatan di tempat yang “eksklusif”. Ini menunjukkan kalau pelaku kejahatan bukan orang “sembarangan”. Punya privilege bisa membuat orang menjadi pelaku kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Orang yang Dikenal Dekat Justru Lebih Memungkinkan
Terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak Herry Wirawan mendengarkan putusan majelis hakim saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022). Foto: Rafi Fadh/AP Photo
Menurut data penelitian yang dipublikasikan oleh Australian Institute of Health and Welfare menyebutkan, remaja di bawah usia 15 tahun yang mengalami pelecehan seksual ternyata dilakukan oleh kerabat dekatnya sendiri. Entah itu teman keluarga, kenalan, tetangga, pokoknya orang yang dikenal di dalam keluarga.
Kita sering menggunakan unsur kedekatan untuk membangun ruang aman. Misalnya menitipkan anak dengan orang yang dipercaya. Meminjam uang dengan keluarga dekat. Atau menceritakan rahasia terdalam dengan bestie.
“Tidak mungkin kan saudaranya…”
“Ayah kandungnya, lho…”
Tidak mungkin orang yang sehari-hari bergaul, makan satu piring, pernah tidur di rumahnya, kenal dengan bapak ibunya—tega melakukan pemerkosaan.
Setahun terakhir ini, hampir setiap bulan selalu ada pemberitaan di media mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat/ayah kandung kepada anak anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
Desember 2023 seorang ayah di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan memperkosa anaknya selama 4 tahun, sejak si anak duduk di kelas tiga SMP. November 2023 di Tangerang Selatan, ayah memperkosa anak hingga hamil. Tidak hanya memperkosa, ayah kandung tersebut kerap melakukan kekerasan dengan memukul dan mengancam akan membunuh si anak.
Oktober 2023, di Sleman Yogyakarta, seorang ayah memperkosa anak perempuannya sejak SD sampai si anak duduk di bangku SMA. Pemerkosaan itu dilakukan selama istrinya bekerja di luar negeri.
September 2023, kisah yang sama terjadi di Tanggamus Lampung. Pemerkosaan dilakukan ayah kandung pada anak perempuannya yang berusia 13 tahun. Kalau dirunut kembali ke belakang, kemungkinan besar peristiwa yang kurang lebih sama akan kita temukan.
ADVERTISEMENT
Tentunya penjelasan mengapa ada orang tua kandung yang tega menggagahi darah dagingnya sendiri membutuhkan penelitian lebih lanjut dan komprehensif. Setiap pelaku kekerasan punya sejarahnya masing-masing yang perlu ditelusuri untuk mengetahui musabab mengapa dia berperilaku keji.
Seperti Josef Fritzl, pria kebangsaan Austria yang dihukum penjara seumur hidup karena telah menyekap anak perempuannya selama 24 tahun di basement. Dia diagnosis mengalami gangguan kejiwaan akibat pola asuh brutal ibunya semasa kecil. Menurut ahli medis yang memeriksanya, itulah yang mendorong Fritzl sampai tega memperkosa anak perempuannya sampai hamil 7 kali dan mengarang cerita kehilangan untuk mengelabui istri dan anak-anaknya yang lain.
Dekat Lebih Gampang Terluka
Pemodal AS Jeffrey Epstein muncul dalam foto yang diambil untuk pendaftaran pelaku kejahatan seksual Divisi Layanan Peradilan Pidana Negara Bagian New York pada 28 Maret 2017. Foto: REUTERS
Baik tentang Epstein maupun para ayah yang memperkosa anak perempuannya, dapat kita ambil benang merah, kalau orang yang disangka tidak mungkin untuk melakukan kejahatan justru memiliki probabilitas kemungkinan yang lebih besar. Peluang orang-orang “baik” dan “dekat” ini menjadi lebih besar untuk berbuat jahat karena kepercayaan kalau mereka tidak mungkin melakukan hal buruk.
ADVERTISEMENT
Tapi, siapa yang 100 % bisa menjamin kalau orang yang begitu dekat—sedekat degupan jantung sekalipun, tidak memiliki kemampuan menyakiti? Bukannya semakin dekat relasi maka semakin mudah juga untuk melukai? Karena orang dekat tersebut tahu titik kelemahan dari calon korbannya. Dan dia memanfaatkan kelemahan tersebut untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dalam urusan hati, keluarga atau pasangan adalah orang yang paling bisa memberikan kekecewaan dan kesedihan. Saya rasa tidak hanya menyoal hati, keluarga, dan orang terdekat, orang biasa sekalipun kalau dia berhasil mencuri perhatianmu, bisa menjadi “krypton” untuk diri sendiri. Apakah ini lantas membuat kita harus mengencangkan kewaspadaan dengan orang terintim sekalipun?
Mungkin…
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten