Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Soal Isu Kesehatan Mental dan Depresi Terselubung
18 November 2019 1:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Esthy Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penggemar K-pop atau bukan, kita sebagai warganet mungkin sudah mendengar berita tentang Sulli, penyanyi dan aktris muda asal Korea Selatan yang memilih untuk mengakhiri hidup di usia 25 tahun. Pada tanggal 14 Oktober 2019, Sulli ditemukan sudah tidak bernyawa di rumahnya oleh sang manajer.
ADVERTISEMENT
Pemberitaan setempat selanjutnya menyoroti bahwa Sulli selama ini berjuang melawan depresi akibat kejamnya rundungan dari warganet yang mengkritisi karier dan kehidupan pribadinya beberapa tahun belakangan sampai dengan hari kematiannya.
Industri K-Pop yang sangat kompetitif dan warganetnya (fans dan anti fans) yang terkenal ekspresif dalam memberikan komentar negatif dan rundungan menjadikan para talenta muda di dunia hiburan Korea Selatan rentan terhadap depresi.
Sulli dan kerasnya dunia hiburan Korea tampaknya kembali menerangi isu depresi dan tuntutan profesi pekerjaan. Lingkungan dan tuntutan pekerjaan membawa dampak psikologis yang kemudian diterjemahkan berbeda-beda oleh setiap individu baik disadari ataupun tidak. Salah satunya dampaknya adalah produktivitas atau prestasi yang mengorbankan kesehatan mental karena menempatkannya sebagai prioritas ke-sekian setelah pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Memahami Depresi
World Health Organisation/WHO menetapkan tanggal 10 Oktober setiap tahunnya sebagai World Mental Health Day dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap isu kesehatan mental di seluruh dunia. Sebuah ironi ketika kepergian Sulli untuk terlepas dari belenggu depresi justru terjadi di bulan yang sama.
WHO memprediksi bahwa di tahun 2020 depresi akan menjadi masalah kesehatan terbesar kedua setelah permasalahan kardiovaskuler.
Secara khusus, Amerika Serikat menetapkan bulan Oktober sebagai National Depression Awareness Month sebagai upaya sosialisasi kepada publiknya terhadap urgensi penanganan depresi yang menyentuh hidup sekitar 17 juta warga usia dewasa di Amerika Serikat selama tahun 2019.
Di Indonesia, terdapat sekitar 15,6 juta orang yang mengalami depresi hingga tengah tahun 2019. Dari angka tersebut, hanya sekitar delapan persen yang mendapat penanganan profesional.
ADVERTISEMENT
Depresi tidak mengenal diskriminasi gender, usia, ras, tingkat pendidikan, status sosial atau profesi. Cikal bakal depresi eksis dalam diri setiap individu, karena pada mayoritas kasus, depresi terjadi karena kombinasi faktor psikologis, biologis dan sosial. Tiga faktor yang memiliki peran dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari dan hadir di setiap interaksi individu satu sama lain.
Kemudian bagaimanakah faktor pemicu berperan? Uniknya, depresi tidak melulu dipicu oleh shock tertentu di dalam rentang kehidupan seseorang. Rutinitas sehari-hari di tempat kerja yang misalnya tidak mentally healthy seperti kurangnya apresiasi, persaingan tidak sehat, verbally abusive, sexist, dan peer pressure yang terakumulasi dapat menjadi faktor pemicu depresi yang dampaknya mungkin tidak terlihat dalam rentang waktu yang pendek.
ADVERTISEMENT
Contoh lain pemicu depresi bisa jadi sebuah momen membahagiakan seperti pasca-kelahiran bagi seorang Ibu bisa diikuti dengan gejala depresi seperti pada kasus Postpartum Depression. Depresi juga bisa datang dan pergi setiap musim dingin (ketika sinar matahari minim) seperti kasus Seasonal Affective Disorder di negara-negara empat musim.
Yang menjadi isu selanjutnya adalah tidak semua orang dapat menyadari bahwa dirinya sudah terpapar gejala depresi. Atau skenario kedua, ketika seseorang enggan mengakui bahwa dirinya depresi dan membutuhkan pertolongan. Dunia medis dan psikologis menyebut fenomena yang kedua tersebut dengan terminologi hidden/concealed depression atau depresi terselubung.
Dalam konteks depresi terselubung ini, umumnya penderita memutuskan untuk tidak mau mengakui adanya gejala dan berusaha menutupinya dengan berbagai aktifitas atau mencoba hal yang baru untuk mengalihkan depresinya. Atau berupaya keras untuk “bertransformasi” menjadi lebih ceria/bahagia, lebih aktif, lebih gaul atau lebih produktif dengan harapan tahapan depresi akan berlalu.
ADVERTISEMENT
Stigma
Sejumlah contoh stigma yang ada di masyarakat menjadi faktor mengapa penderita depresi memutuskan untuk menyimpannya sendiri dan menghambat penanganan depresi secara umum.
• Depresi versus stress
Stress karena pekerjaan umumnya relatif temporer dan mereda ketika loads pekerjaan sudah menurun, namun bisa menjadi pemicu depresi jika dalam periode panjang dan terus menerus stress tersebut tidak mereda dan menghambat kegiatan sehari-hari yang lain.
• Depresi = iman lemah
Menghakimi tingkat keimanan seseorang tidak memberikan solusi kepada seseorang dengan depresi. Hasilnya justru akan kontra produktif dan dapat menjerumuskan sehingga mereka semakin menutup diri dan berdampak ke hal yang tidak diinginkan.
• Depresi = gila
Depresi sama halnya dengan penyakit fisik lain yang salah satu penangannya adalah dengan pertolongan medis. Pergi ke psikiater atau ke psikolog tidak membuat mereka berbeda dengan pasien flu yang pergi ke dokter umum untuk memperoleh kesembuhan.
ADVERTISEMENT
• Depresi = drama queen atau lebay
Analogikan ketika kita tersedak dan terserang panik meminta pertolongan namun ditepis karena dianggap akting atau lebay atau mencari perhatian semata. Mungkin analogi tersebut sedikit ekstrim namun bagi penderita depresi untuk memilih terbuka adalah sebuah perjuangan tersendiri.
What You Can Do: Be Brave and Be Supportive
Edukasi kesehatan mental menjadi sebuah urgensi dilihat dari dua sisi:
Pertama, konsep bahwa kita sebagai individu bergelut dengan perjuangan di dalam kehidupan masing-masing. Ada saatnya kita merasa seperti pahlawan yang penuh optimisme, namun tidak jarang juga merasa seperti pecundang yang kalah sebelum bertarung. Sering pula dalam satu fase dalam kehidupan kita terpenjara oleh pikiran yang mengecilkan diri sendiri ketika merasa bahwa semua perjuangan hanyalah hal yang sia-sia.
Oleh karena itu diperlukan kejujuran kepada diri sendiri dan keberanian untuk terbuka, berbagi dan meminta pertolongan ketika kita mulai merasa tidak ada motivasi, harapan dan keinginan untuk berjuang. Keterbukaan atau berani curhat adalah sebuah langkah awal yang signifikan dalam penyembuhan depresi.
ADVERTISEMENT
Kedua, kita dan interaksi dengan individu lain. Setiap diri kita merupakan bagian dari support system individu yang lain dan pada saat yang sama adalah bagian dari masyarakat yang sejatinya dapat berkontribusi kepada terbangunnya kehidupan bermasyarakat yang saling empati dan peduli.
Bagi sejumlah orang dengan depresi, untuk memutuskan mencari pertolongan medis bisa jadi adalah sebuah keputusan besar. Sebelum melangkah kesana, bisa dimulai dengan mengambil baby steps, yaitu bicara dengan keluarga atau sahabat atau orang terdekat yang dipercaya. Langkah awal tersebut merupakan sebuah langkah berani yang mereka ambil dan patut untuk diapresiasi dan didengar.
Dan bagi kita yang beruntung karena menjadi orang terpercaya tersebut (Yes, kepercayaan adalah hal yang langka dan menjadikan kita individu yang berharga! Bukankah itu spesial?) kita sepatutnya memahami apa yang harus kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Pertama dan terpenting adalah menjadi pendengar yang baik, tidak menghakimi dan menyalahkan, tidak menghindar dan memberikan respons yang menggampangkan/mengecilkan masalah. Menjadi teman bicara dan berbagi dalam prosesnya dapat menentukan langkah penyembuhan selanjutnya bagi penderita depresi.
Dalam lingkup yang lebih besar, kita semua memiliki peran yang harus dijalankan untuk meruntuhkan stigma negatif tentang depresi (dan penderitanya) yang dibangun oleh opini yang minim informasi, nihil pengetahuan dan berbasis mitos.