Konten dari Pengguna

Paradoks Hak dan Kewajiban Warga Negara: Antara Aspirasi dan kenyataan

Eullis Sholehah
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
20 Mei 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eullis Sholehah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pict by pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Pict by pixabay.com
ADVERTISEMENT
Hak dan kewajiban warga negara merupakan hal fundamental dalam kehidupan bernegara. Namun kenyataannya, seringkali terjadi paradoks antara aspirasi dan kenyataan mengenai hak dan kewajiban warga negara.
ADVERTISEMENT
Hak warga negara dalam UUD 1945
• Hak atas pendidikan yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (2) yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
• Hak atas kesehatan yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) “Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya”.
• Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan hak- hak lainnya
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak semua hak tersebut dapat dinikmati sepenuhnya oleh seluruh warga negara.
Lalu Apa saja kenyataan yang terjadi ??
Dalam hal pendidikan hak atas pendidikan merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945 Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Hal ini diperkuat dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, di balik amanat konstitusi tersebut, terdapat paradoks yang kompleks dalam pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara. Paradoks ini termanifestasi dalam berbagai kesenjangan dan permasalahan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia seperti (1) kesenjangan akses pendidikan, misalnya distribusi infrastruktur dan kualitas pendidikan masih timpang antara daerah maju dan tertinggal. (2) kesenjangan mutu pendidikan misalnya ketersediaan guru yang berkualitas dan terlatih belum merata di seluruh Indonesia, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai. (3) kesenjangan hasil pendidikan misalnya tingkat putus sekolah yang masih tinggi, ketrampilan lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah menetapkan pendidikan dasar wajib selama 12 tahun yang harus diikuti setiap warga negaranya. Aspirasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian, angka putus sekolah masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Juni 2023, persentase penduduk yang putus sekolah dasar sebesar 0,13 persen, sekolah menengah pertama 1,06 persen, dan sekolah menengah atas sebesar 1,38 persen. Jumlah nominalnya sangat besar, karena dalam kurun waktu yang sama terdapat total siswa SD sebanyak 24 JT orang, siswa SMP sebanyak 10 JT orang, dan siswa SMA sebanyak 5,3 JT orang. Belum lagi sekolah kejuruan dan lembaga pendidikan sebelum sekolah dasar. Angka ini menunjukkan bahwa warga negara belum sepenuhnya dapat menikmati pendidikan dasar yang seharusnya menjadi hak mereka.
ADVERTISEMENT
Dari segi kesehatan, terbukti permasalahan stunting masih tinggi di Indonesia. Statistik PBB tahun 2020 menunjukkan lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta diantaranya merupakan balita atau anak-anak yaitu balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan oleh kekurangan gizi pada anak di bawah dua tahun, ibu yang tidak mendapat nutrisi selama hamil, dan sanitasi yang buruk. Kurniasih wakil ketua komisi IX DPR RI menjelaskan PR besar penanganan stunting harus segera diatasi. Sehingga target pencapaian penurunan stunting sebesar 14 persen di tahun 2024 ini dapat terealisasi dengan baik.
Demikian juga dengan masih tingginya jumlah penduduk miskin dan pengangguran yang menandakan hak pekerjaan dan kesejahteraan belum dinikmati sepenuhnya . Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 7,9 juta orang dari kurang lebih 148 juta angkatan kerja menjadi pengangguran di Indonesia per Agustus 2023. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya pengangguran di Indonesia yaitu (1) Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum optimal, (2) Besarnya jumlah lulusan pendidikan tiap tahun, Padahal ketersediaan lapangan kerja baru belum mampu menyerap semua lulusan. (3) Pergeseran kompetensi tenaga kerja akibat revolusi industri 4.0. Banyak tenaga kerja yang kompetensinya kurang sesuai dengan tuntutan era digital. (4) Dampak pandemi Covid-19 yang memperlambat berbagai sektor ekonomi sehingga banyak PHK.
ADVERTISEMENT
Apa saja paradoks yang terjadi pada kewajiban warga negara?
UUD 1945 juga jelas mengatur berbagai kewajiban warga negara seperti membayar pajak, menjalankan syariat Islam bagi warga negara beragama Islam, serta mematuhi dan taat pada peraturan perundang-undangan. Namun dalam kenyataannya, kepatuhan masyarakat terhadap berbagai kewajiban tersebut masih perlu ditingkatkan. Misalnya saja masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak yang menyebabkan penerimaan pajak di bawah potensi optimal. Demikian juga masih terjadi pelanggaran terhadap aturan lalu lintas, tata tertib, dan penegakan hukum lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat paradoks antara hak dan kewajiban warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Hal ini menunjukkan perlu upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk merealisasikan aspirasi hak asasi manusia sekaligus meningkatkan kepatuhan terhadap kewajiban bernegara. Partisipasi aktif seluruh warga negara dalam mewujudkan hak dan menjalankan kewajibannya menjadi kunci penyelesaian paradoks ini.
ADVERTISEMENT