news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Krisis Etika Anak Muda: Kebebasan yang Keblabasan?

Eva simanullang
Saya adalah Seorang Mahasiswi Semester 6 Universitas Katolik Santo Thomas Medan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
16 Maret 2025 11:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eva simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(SUMBER:https://cdn.pixabay.com/photo/2018/04/27/03/51/technology-3353701_640.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
(SUMBER:https://cdn.pixabay.com/photo/2018/04/27/03/51/technology-3353701_640.jpg)
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar keluhan tentang perubahan sikap dan perilaku anak muda di Indonesia. Media sosial dipenuhi dengan kontroversi, dari sikap kasar terhadap orang tua hingga konten-konten yang tidak pantas. Banyak yang bertanya: ke mana perginya sopan santun dan etika yang dulu dijunjung tinggi?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan sekadar keluhan generasi tua terhadap yang muda. Faktanya, berbagai kasus nyata membuktikan adanya perubahan pola pikir dan perilaku yang mengarah pada krisis etika. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana anak muda sekarang cenderung lebih bebas, tetapi sering kali kebablasan dalam mengekspresikan diri. Kurangnya kesadaran akan batasan moral dan sosial membuat mereka bertindak tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Hal ini terlihat dalam meningkatnya kasus bullying online, pelecehan verbal, hingga ketidaksopanan dalam berinteraksi di ruang publik. Jika dibiarkan, krisis etika ini bisa semakin memburuk dan menghambat pembangunan karakter bangsa.
Media Sosial:Pedang Bermata Dua
Dunia digital telah membuka peluang besar bagi anak muda untuk berkarya, berjejaring, dan menyuarakan pendapat. Namun, tak sedikit yang terjebak dalam sikap arogan dan abai terhadap norma sosial. Kata-kata kasar, budaya flexing (memamerkan kekayaan), hingga sikap tak menghargai orang lain semakin marak di dunia maya. Banyak anak muda merasa mereka bisa berkata apa saja tanpa konsekuensi, padahal setiap ucapan memiliki dampak.
ADVERTISEMENT
Misalnya, beberapa selebgram atau influencer kerap menuai kontroversi karena perilaku mereka yang dianggap tidak sopan atau merendahkan orang lain. Banyak dari mereka yang membela diri dengan alasan "bebas berekspresi" tanpa menyadari bahwa kebebasan itu tetap harus memiliki batasan. Fenomena ini berbahaya, karena generasi muda lainnya bisa meniru tanpa berpikir panjang.
Selain itu, ada juga kasus-kasus di mana anak muda terlalu mudah terprovokasi oleh hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Mereka ikut menyebarkan informasi yang tidak benar tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Akibatnya, masyarakat semakin terpolarisasi dan mudah terpecah belah oleh isu-isu yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan diskusi yang lebih santun dan bijak.
Mengikis Rasa Hormat terhadap Orang Tua dan Guru
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, hormat kepada orang tua dan guru adalah nilai yang tak tergoyahkan. Namun, kini banyak anak muda yang menganggap bahwa mereka bisa memperlakukan orang tua dan guru layaknya teman sebaya. Tidak ada salahnya bersikap akrab, tetapi sering kali batasan etika dilanggar. Banyak video viral menunjukkan siswa melawan guru di kelas atau berbicara kasar kepada orang tua.
Sikap seperti ini bukan hanya mencerminkan kurangnya adab, tetapi juga menunjukkan betapa norma-norma sosial yang telah diwariskan turun-temurun mulai tergerus. Rasa hormat bukan berarti takut, melainkan penghargaan atas pengalaman dan kebijaksanaan orang yang lebih tua. Jika nilai ini hilang, bagaimana masa depan bangsa akan dibangun?
Budaya Malas dan Gengsi Tinggi
Banyak anak muda sekarang lebih mementingkan gaya hidup instan. Mereka ingin sukses, tetapi enggan bekerja keras. Fenomena ini terlihat dalam tren mencari popularitas instan di media sosial, di mana banyak orang lebih peduli mendapatkan "likes" dan "followers" daripada membangun keterampilan dan karakter.
ADVERTISEMENT
Gengsi yang tinggi juga menjadi masalah. Tidak sedikit yang malu untuk bekerja di bidang yang dianggap "biasa saja", seperti menjadi tukang las, montir, atau petani. Padahal, semua pekerjaan memiliki nilai dan bisa menjadi pintu kesuksesan jika ditekuni dengan sungguh-sungguh. Jika mentalitas ini terus dibiarkan, kita akan kehilangan generasi pekerja keras dan digantikan oleh mereka yang hanya mengandalkan citra tanpa substansi.
Pendidikan Etika yang Diperkuat
Krisis etika ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pendidikan formal dan informal harus mengambil peran lebih aktif dalam membentuk karakter anak muda. Sekolah tidak hanya berfokus pada akademik, tetapi juga harus menanamkan kembali nilai-nilai moral dan etika. Program pendidikan karakter perlu diperkuat, dengan pendekatan yang lebih menarik dan relevan dengan kehidupan anak muda saat ini.
ADVERTISEMENT
Orang tua pun harus berperan lebih aktif dalam mendidik anak-anak mereka. Jangan biarkan media sosial menjadi guru utama dalam kehidupan mereka. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan membantu menanamkan nilai-nilai etika yang kuat. Selain itu, orang tua perlu menjadi contoh nyata dengan menunjukkan sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pemerintah dan komunitas juga harus berperan dalam membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya etika dalam kehidupan bermasyarakat. Kampanye publik tentang etika digital, penggunaan media sosial yang bertanggung jawab, serta penghargaan terhadap profesi apa pun harus terus digalakkan. Dengan demikian, anak muda bisa memahami bahwa kebebasan bukan berarti bebas melakukan apa saja tanpa tanggung jawab.
Indonesia tidak kekurangan anak muda yang hebat, cerdas, dan berbakat. Namun, tanpa etika yang kuat, semua itu bisa sia-sia. Sudah saatnya kita bersama-sama membangun kembali budaya sopan santun dan tanggung jawab. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
ADVERTISEMENT
Eva Feronika Simanullang, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas katolik Santo Thomas Medan