Konten dari Pengguna

Sastra di Era Digital

Eva Inataria Arifin
PBSI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
14 Desember 2021 14:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eva Inataria Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sastra saat ini banyak menggunakan media dan teknologi digital. Saat ini, puisi, cerita pendek, novel, dan naskah teater dapat dibaca tidak hanya dalam buku, tetapi juga dalam format eBook dan PDF yang dapat diunduh dari Internet. Media dan teknologi digital juga dapat menciptakan karya sastra yang unik seperti minifiction, haiku, dan sonian. Beberapa film juga tersedia dari media internet. Misalnya, film Cinta Tapi Beda dari beberapa entri blog oleh Dwitasari, film Keluarga Tak Kasat Mata dari seri cerita atau novel Kaskus, dan film Perjanjian Pernikahan adalah WattPad.
ADVERTISEMENT
Kemajuan sastra digital dapat memperkaya dan menjadikan khazanah sastra kita lebih praktis. Anda dapat membaca karya sastra di laptop atau perangkat Anda. Meskipun laptop atau gadget Anda bukan milik kami, Anda dapat membacanya dengan menyimpannya di blog, situs web, email, atau drive Anda. Budaya literasi tidak hanya budaya membaca dan menulis, tetapi juga akses informasi di berbagai media. Budaya literasi juga muncul ketika siswa menggunakan perangkat mereka untuk mengakses majalah, artikel, berita terbaru, dan ebook dari berbagai jaringan perpustakaan. Dapatkan informasi instan untuk pekerjaan rumah dan penulisan disertasi. YouTube juga memiliki banyak sajian pembelajaran dari berbagai disiplin ilmu. Ketika siswa memanfaatkannya secara maksimal.
Karya sastra digital dianggap lebih rendah kualitasnya daripada karya sastra cetak (koran, majalah, buku). Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa literasi digital perlu diperlakukan secara adil karena merupakan dunia baru bagi penulis sebagai cara alternatif untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, pikiran dan reaksi mereka. Perbedaan pendapat tersebut justru menjadi tantangan bagi para penggiat sastra siber untuk lebih meningkatkan kualitas karyanya.
ADVERTISEMENT
Padahal, budaya internet sudah mulai merambah dunia sastra kita, khususnya generasi muda, sejak awal 2000-an. Yang disebut "cyber sastra" telah muncul dan mulai mendobrak sekat-sekat sastra yang asing bagi sastrawan pemula. Dengan berkembangnya teknologi informasi, Anda dapat mengunggah karya Anda ke akun media sosial Anda, jadi jika Anda tidak dapat mempublikasikan karya Anda di surat kabar atau majalah, jangan gugup. Melalui Facebook, Twitter, WhatsApp, Steller atau Instagram. "Arogansi" editor budaya cetak tidak ada artinya bagi mereka.
Oleh karena itu, sastra siber sebenarnya merupakan alternatif baru bagi para pemula yang tidak memiliki tempat di media cetak. Sastra siber menjadi saluran bagi aktivitas dan kreativitas mereka, karena mereka tidak selalu dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh editor sastra. Ini merupakan tonggak baru bagi dunia sastra tahun, zaman, zaman, bahasa, bahkan perbatasan, di mana tidak mengenal ruang.
ADVERTISEMENT
Penggunaan teknologi digital dalam karya sastra merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Teknologi digital memungkinkan penulis untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas mereka. Teknologi digital dapat meningkatkan kemampuan penulis untuk mengembangkan kreativitasnya secara lebih leluasa. Literatur digital memungkinkan penulis untuk berbagi foto dan video dengan audio dan visual yang lebih mendukung, yang disusun dengan kutipan dari puisi dan kutipan prosa.
Sampai sekarang, saya tidak bisa membayangkan bahwa karya sastra seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai menyebar ke seluruh dunia hanya dalam beberapa detik. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hari ini adalah era baru, karena sastra cetak sedang mengalami senja. Era di mana sastra digital harus diterima oleh para pengarang kita sebagai sebuah realitas yang tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT
Sastra digital memiliki keunggulan lebih fleksibel dibandingkan dengan sastra cetak. Ini karena penulis tidak harus memilih editor yang tepat atau editor budaya. Anda tidak lagi harus mengalami "baptisan" editor untuk disebut penulis. Anda tidak lagi harus "menggoda" dengan editor. Karya dan nama mereka dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Karya mereka mungkin belum sepenuhnya teruji secara artistik, tetapi mereka dengan cepat menjadi populer.
Namun, standar dan ukuran relatif dari karya sastra berkualitas tinggi memberi para penulis di "dunia maya" keunggulan. Bahkan, belum sempurna untuk mengatakan bahwa sebuah karya sastra dianggap berhasil jika menunjukkan kecocokan antara bentuk dan isi. Namun, menentukan kualitas pekerjaan bukanlah tugas yang mudah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perdebatan tentang kualitas sastra digital adalah hal yang wajar. Beberapa pengamat literasi bahkan menyebut teks literasi digital sebagai "sampah". Karya seorang penulis digital tidak dianggap sebagai karya sastra, selain dapat langsung diterbitkan tanpa pilihan editor.
Pengunjung situs Cybersastra cenderung mencerminkan sikap baru, ekspresi informal dalam berurusan dengan banyak literatur. Anda melihat sastra lebih santai, lebih intim, dan tidak jauh. Bahkan sastra adalah kelanjutan dari dunia obrolan, jadi ini adalah aktivitas verbal kedua. Berbeda dengan sastra media cetak, itu adalah surat kabar, majalah, buku, dll. Karena dapat menembus media cetak, harus memenuhi setidaknya dari standar pengeditan ketat.
Perkembangan sastra dunia maya di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya kumpulan puisi berjudul Graffiti Syukur, yang diterbitkan bersama dengan Yayasan Multimedia Sastra (YMS) Perusahaan Penerbit Angkasa Bandung. Buku ini berisi puisi-puisi yang dipublikasikan di website Cybersastra. Buku ini muncul sebagai sumber perdebatan antara penulis dunia maya dan penulis yang karya sastranya banyak dimuat di media cetak. Mereka mengklaim bahwa puisi yang ditulis melalui media siber berkualitas buruk karena tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia secara bebas.
ADVERTISEMENT
Tapi sastra dunia maya menghasilkan penulis-penulis yang diciptakan oleh dunia digital. Ketika diberi kesempatan untuk mengungkapkan ide, perasaan dan pemikiran yang berkaitan erat dengan peristiwa sehari-hari dan pengalaman budaya, setiap orang menjadi lebih kreatif dan budaya berkembang dari waktu ke waktu.
Faktanya, satu-satunya perbedaan antara sastra cetak dan digital adalah penggunaan media. Standar atau standar yang ditetapkan sebagai barometer sastra adalah sama. Masalah dengan adalah bahwa sastra digital tidak mengakui penjaga gerbang yang disebut editor atau editor, apakah dia berhak menyerahkan karyanya atau tidak. Berbeda dengan sastra cetak yang harus berurusan dengan penyuntingan, ia bahkan tidak dapat memenuhi misi media massa dan penerbit buku. Namun demikian, bukan tidak mungkin menemukan teks berkualitas tinggi dalam literatur digital yang melampaui karya yang dipublikasikan di media cetak.
pixabay
Sastra di era digital adalah sastra yang media distribusinya digital, yaitu dapat dinikmati secara digital. Menurutnya, kemajuan sastra digital sangat bagus. Karena sastra perlu meletakkan jari pada denyut nadi agar tak lekang oleh waktu. Ketika sastra digunakan secara digital, khususnya di Indonesia, ada pro dan kontra terhadap budaya literasi di era digital. Masyarakat kini memiliki akses yang mudah terhadap karya sastra dan dapat mengkonsumsi atau menghasilkan karya sastra. Kendalanya adalah bom informasi bisa mengalihkan perhatian orang. Masalah loyalitas bisa menjadi masalah. Menurutnya, 4.444 milenial semakin tertarik membaca dan sering membaca laporan status, seperti berita dan informasi yang ingin mereka ketahui. Pertanyaannya adalah apakah mereka sedang membaca sastra.
ADVERTISEMENT