Konten dari Pengguna

Lika-Liku Nrimo Ing Pandum

Evelyn
Mahasiswa Magister Psikologi Sosial Universitas Indonesia
15 April 2024 15:50 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Evelyn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tenang saat traveling Foto: Shutter Stocks
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenang saat traveling Foto: Shutter Stocks
ADVERTISEMENT
Suatu hari, seorang petani bernama Sāi Wēng kehilangan salah satu kuda berharga miliknya. Mendengar musibah tersebut, semua tetangganya merasa kasihan kepadanya. Namun, Sāi Wēng hanya membalas, “Siapa yang tahu bahwa itu tidak akan membawa hal baik?” Beberapa bulan kemudian, kuda Sāi Wēng yang hilang itu kembali dan membawa sekelompok kuda cantik lainnya. Semua orang menyelamati Sāi Wēng atas kabar baik tersebut, namun Sāi Wēng hanya membalas, “Siapa yang tahu bahwa itu tidak akan membawa hal buruk?” Suatu ketika, putra Sāi Wēng pergi jalan-jalan dengan kuda barunya. Ia jatuh dan mematahkan kakinya. Semua orang kembali merasa kasihan kepadanya, dan Sāi Wēng pun hanya berkata, “Siapa yang tahu bahwa itu tidak akan membawa hal baik?” Setahun kemudian, perang terjadi dan kerajaan memerintahkan semua pria yang berbadan sehat untuk pergi berperang. Karena cederanya, putra Sāi Wēng tidak diikutkan dalam perang. Sāi Wēng dan putranya terhindar dari malapetaka dan bertahan hidup (Su, 2019).
ADVERTISEMENT
Sāi Wēng Shī Mǎ (Pria Tua yang Kehilangan Kudanya) merupakan salah satu cerita rakyat paling terkenal dari Tiongkok yang mengajarkan tentang adanya hikmah atau berkah tersembunyi dari suatu peristiwa. Di Tiongkok, ketika ada kejadian buruk yang menimpa, orang-orang akan mengingatkan diri mereka pada kisah tersebut agar tidak terlalu melekat pada kesedihan ataupun kemalangan yang terjadi dan menerimanya sebagai bagian dari proses kehidupan yang naik turun. Hal ini tidak hanya berlaku pada hal-hal buruk, tetapi juga pada hal-hal baik yang terjadi. Di Indonesia sendiri, konsep penerimaan terhadap situasi atau musibah dalam kehidupan dapat dikaitkan dengan salah satu kearifan lokal dalam filosofi Jawa, yaitu nrimo ing pandum. Dalam bahasa Jawa, nrimo mempunyai arti menerima dan pandum mempunyai arti pemberian, sehingga secara harfiah, nrimo ing pandum dapat dipahami sebagai menerima segala bentuk pemberian (Rakhmawati, 2022).
Ilustrasi budaya Jawa yang menjunjung tinggi kesederhanaan. (Photo by Arya Krisdyantara on Unsplash)
Dalam menghadapi lika-liku kehidupan, orang Jawa diajarkan untuk menjaga sikap nrimo dan legawa (ikhlas) terhadap keadaan apapun. Konsep ini biasanya dicerminkan melalui sikap pengendalian diri dengan tidak gegabah atau bereaksi terhadap sesuatu secara berlebihan, baik itu terhadap hal positif maupun negatif yang dialami. Bagi masyarakat Jawa, falsafah ini merupakan pedoman hidup untuk mencapai tujuan yaitu keadaan batin yang lebih damai dan seimbang, terutama di dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian. Meskipun bermakna positif, konsep ini sering menimbulkan kesalahpahaman atau miskonsepsi di masyarakat dimana pengertian nrimo cenderung dikaitkan dengan sikap berpasrah diri yang pasif dan motivasi yang rendah. Apabila ditelusuri lebih lanjut, filosofi nrimo ing pandum sebenarnya secara utuh diikuti oleh makaryo ing nyoto atau bekerja secara nyata, dimana seseorang berupaya terlebih dahulu dengan baik dan maksimal, sebelum akhirnya berpasrah diri terhadap hasil yang akan diterima (Rakhmawati, 2022). Apa yang terjadi setelah itu merupakan hal-hal yang ada di luar kuasa, sehingga tugas manusia adalah menerimanya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti filosofi Taoisme dari kisah Sāi Wēng Shī Mǎ, filosofi nrimo ing pandum mengakui adanya dua sisi baik dan buruk yang bertentangan namun saling berhubungan dan tidak terpisahkan antara satu sama lain. Menurut Peng dan Nisbett (1999), kecenderungan kognitif untuk menerima pemikiran yang kontradiksi disebut juga sebagai dialectical thinking atau pemikiran dialektis. Menerima kontradiksi berarti menerima bahwa dua sisi atau perspektif yang berlawanan mungkin mengandung kebenarannya masing-masing. Dalam penelitian psikologi budaya, dialectical thinking merupakan salah satu karakteristik berpikir yang dimiliki oleh orang-orang budaya Timur dan berkembang dari filsafat Tiongkok (Yama & Zakaria, 2019). Pemikiran ini sering dikontraskan dengan linear thinking atau gaya berpikir linear orang-orang Barat yang cenderung analitis dan dikotomis dalam menyikapi kontradiksi. Dalam logika linear, pernyataan yang bertentangan tidak dapat diterima secara bersamaan, sehingga perlu ada resolusi mengenai mana pernyataan atau pihak yang lebih benar di antara yang bertentangan. Dengan demikian, landasan rasional dari pemikiran Timur ini sangat berbeda dengan landasan rasional pemikiran Barat, terutama dalam hal menyikapi adanya kontradiksi. Pemikiran Barat yang linear lebih berorientasi pada integrasi atau sintesis sementara pemikiran Timur bertumpu pada prinsip holisme yang menerima koeksistensi dari hal-hal yang berlawanan, tesis dan antitesis (Paletz & Peng, 2009).
ADVERTISEMENT
Budaya nrimo dan sikapnya menjunjung tinggi keseimbangan memang berkaitan erat dengan gaya berpikir dialektis Timur yang memandang hal baik dan buruk secara relatif. Menurut penelitian Wong dkk. (2003), gaya berpikir dialektis dapat dikaitkan dengan pandangan terhadap nilai-nilai hidup yang lebih seimbang. Bagi masyarakat Jawa, konsep keseimbangan yang diutamakan dalam nrimo ing pandum dianggap sebagai salah satu kunci pengendalian diri untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup. Dalam hal ini, sikap berdamai dan menerima keadaan, baik ataupun buruk, diperlukan sebagai kondisi untuk bersyukur. Selain itu, pemikiran yang dialektis juga dapat mendorong individu untuk beradaptasi lebih baik dalam merespon situasi hidup yang berbeda-beda dengan mempraktikkan cara pandang yang lebih fleksibel (Spencer-Rodgers dkk., 2010). Dengan demikian, pengendalian diri dan emosi yang ditekankan oleh sikap nrimo maupun gaya berpikir dialektis dapat meningkatkan resiliensi individu, terutama ketika dihadapkan dengan tantangan atau situasi yang tidak sesuai dengan harapan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kecenderungan dari gaya berpikir dialektis untuk menerima semua perspektif yang berlawanan dapat menghambat individu untuk melakukan resolusi yang konstruktif ketika konflik terjadi (Peng & Nisbett, 1999). Kondisi tersebut yang mungkin menjadi alasan mengapa konsep nrimo kerap kali diasosiasikan dengan semangat motivasi dan kreativitas yang rendah, serta sikap yang berpasrah diri. Oleh karena itu, gaya berpikir linear mungkin lebih dibutuhkan ketika individu dituntut untuk mencari fakta dan menghadirkan pemikiran-pemikiran yang argumentatif. Meskipun demikian, dalam situasi-situasi tertentu yang melibatkan konflik sosial dengan orang lain, gaya berpikir dialektis akan sangat membantu individu untuk dapat bernegosiasi dan mencari jalan tengah terhadap dua pihak yang saling beroposisi. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan toleransi para pemikir dialektis terhadap adanya perspektif yang kontradiktif, sehingga mereka cenderung bersikap moderat dan menyukai posisi yang tidak terlalu ekstrim (Hamamura et al., 2008). Sama halnya, filosofi nrimo mengajarkan individu untuk bersikap netral dan mengutamakan keharmonisan. Dengan ini, sikap menerima tidak hanya fokus pada pemenuhan diri sendiri, tetapi juga merupakan sarana untuk menjaga hubungan yang rukun dan harmonis dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Filosofi nrimo ing pandum merupakan salah satu kearifan lokal Indonesia yang mengajarkan masyarakat tentang penerimaan dan kebijaksanaan dalam menyikapi kehidupan yang penuh dengan perubahan. Meskipun stigma yang beredar sering mengaitkan karakter nrimo dengan sikap yang pasif dan berpasrah diri, cara pandang yang dialektis dari filosofi nrimo dibutuhkan untuk menjaga keharmonisan dan nilai-nilai hidup yang lebih seimbang.
Referensi:
Hamamura, T., Heine, S. J., & Paulhus, D. L. (2008). Cultural differences in response styles: The role of dialectical thinking. Personality and Individual Differences, 44(4), 932–942. https://doi.org/10.1016/j.paid.2007.10.034
Paletz, S. B. F., & Peng, K. (2009). Problem finding and contradiction: Examining the relationship between naive dialectical thinking, ethnicity, and creativity. Creativity Research Journal, 21(2–3), 139–151. https://doi.org/10.1080/10400410902858683
ADVERTISEMENT
Peng, K., & Nisbett, R. E. (1999). Culture, Dialectics, and Reasoning About Contradiction. American Psychologist, 54(9), 741–754.
Rakhmawati, S. M. (2022). Nrimo Ing Pandum dan Etos Kerja Orang Jawa: Tinjauan Sila Ketuhanan yang Maha Esa. Jurnal Pancasila, 3(1), 7–19.
Spencer-Rodgers, J., Williams, M. J., & Peng, K. (2010). Cultural differences in expectations of change and tolerance for contradiction: A decade of empirical research. Personality and Social Psychology Review, 14(3), 296–312. https://doi.org/10.1177/1088868310362982
Su, Q. G. (2019, February 10). Famous Chinese Horse Proverb “Sai Weng Lost His Horse.” https://www.thoughtco.com/chinese-proverbs-sai-weng-lost-his-horse-2278437
Wong, N., Rindfleisch, A., & Burroughs, J. E. (2003). Do Reverse-Worded Items Confound Measures in Cross-Cultural Consumer Research? The Case of the Material Values Scale. Journal of Consumer Research, 30(1), 72–91. https://doi.org/10.1086/374697
ADVERTISEMENT
Yama, H., & Zakaria, N. (2019). Explanations for cultural differences in thinking: Easterners’ dialectical thinking and Westerners’ linear thinking. Journal of Cognitive Psychology, 31(4), 487–506. https://doi.org/10.1080/20445911.2019.1626862