Baik dan Buruk: Realitas Ekspektasi

ewia ejha putri
1. Pimpinan Lembaga PKBM Pahlawan kerinci. 2. Anggota LHKP Muhammadiyah Jambi 3. Pengamat Sosial
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 6:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap aspek kehidupan kita, manusia sering dihadapkan pada dilema kompleks mengenai cara melihat sesama. Ini adalah refleksi dari dua pandangan dominan yang sering muncul dalam interaksi sosial: “manusia baik” dan “manusia jahat.” Artikel ini akan membahas mengapa fenomena ini merajalela dalam realitas sosial kita, teori di baliknya, dan bagaimana kita bisa lebih mendalam memahaminya. Kita akan merenungkan mengapa manusia cenderung memandang sesama dari perspektif ini, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Polarisasi dalam Realitas Sosial:
Polarisasi manusia menjadi “manusia baik” dan “manusia jahat” adalah fenomena sosial yang umum terjadi. Anda dapat menemukannya dalam konteks politik, media sosial, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari. Ini terjadi karena manusia cenderung ingin menyederhanakan dunia yang kompleks. Kita mencari cara untuk mengkategorikan orang dan membuat penilaian yang cepat. Ini memberikan rasa kenyamanan karena kita merasa memiliki pegangan dalam dunia yang sering kali rumit dan ambigu.
Teori Ekspektasi dan Egosentrisme:
Teori yang mendasari pandangan ini adalah teori ekspektasi dan egosentrisme. Manusia sering melihat dunia dari sudut pandangnya sendiri. Kita ingin mempertahankan citra diri kita sebagai “manusia baik” dan, sebagai akibatnya, sering kali menganggap kesalahan orang lain sebagai suatu kehinaan. Dalam upaya untuk mempertahankan citra diri positif, kita cenderung menggeneralisasi dan menilai buruk orang lain.
ADVERTISEMENT
Kita juga cenderung memprojeksikan ekspektasi kita sendiri pada orang lain. Misalnya, jika kita berusaha untuk menjadi orang yang jujur, kita mungkin dengan cepat menilai negatif seseorang yang terbukti berbohong. Ini terkait erat dengan ego kita yang ingin merasa lebih baik atau lebih murni daripada orang lain.
Realitas Kehidupan Manusia:
Namun, realitas kehidupan manusia jauh lebih kompleks daripada pengkategorian sederhana sebagai “baik” atau “jahat.” Setiap individu memiliki latar belakang, pengalaman, dan alasan tersendiri untuk tindakan mereka. Kesalahan adalah bagian alami dari pengalaman manusia, dan sering kali tidak ada garis yang tajam antara kebaikan dan kejahatan. Kita adalah makhluk yang rentan terhadap kesalahan, dan sering kali tindakan kita tidak bisa dengan mudah diklasifikasikan sebagai “baik” atau “jahat.”
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, seseorang yang telah melakukan tindakan buruk di masa lalu mungkin telah berubah dan berkembang menjadi individu yang lebih baik. Namun, seringkali kita masih merujuk pada tindakan masa lalu mereka dan menganggap mereka sebagai “manusia jahat” tanpa mempertimbangkan perkembangan dan perubahan yang telah mereka lalui.
Renungan dan Solusi:
Dalam masyarakat yang terbagi dan penuh ekspektasi, ada ruang untuk introspeksi dan perubahan. Kita dapat memulai dengan berhenti menaruh ekspektasi berlebihan kepada orang lain. Alih-alih menghakimi, kita dapat belajar untuk lebih berempati dan mendoakan kebaikan bagi sesama. Kita tidak pernah tahu sepenuhnya rahasia setiap individu dengan Tuhan, dan kita seharusnya tidak dengan mudah menghakimi berdasarkan satu sudut pandang.
Kita juga bisa melihat contoh dalam sejarah dan sastra di mana karakter yang awalnya dianggap “jahat” akhirnya mengalami perubahan dan penyelesaian yang positif. Ini mengingatkan kita bahwa realitas manusia bisa sangat nuansawan dan berubah seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan:
Pemahaman manusia dalam konteks “manusia baik” dan “manusia jahat” adalah hasil dari upaya manusia untuk menyederhanakan realitas yang kompleks. Namun, realitas kehidupan manusia jauh lebih nuansawan daripada polarisasi ini. Dalam menyikapi sesama, kita dapat mendekati mereka dengan lebih banyak pemahaman dan kasih sayang, tanpa terjebak dalam pengkategorian yang terlalu sederhana.
Kita harus merenungkan bahwa manusia adalah makhluk yang rentan terhadap kesalahan, dan penghakiman berlebihan tidaklah adil. Dengan introspeksi dan kebijaksanaan, kita dapat memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari pengalaman manusia, dan kategori “baik” dan “jahat” sering tidak mewakili kompleksitas manusia secara menyeluruh. Dalam menghadapi perbedaan dan konflik, kita dapat mencari pemahaman yang lebih dalam dan berusaha untuk melihat lebih dari satu sudut pandang.
sumber : photo Pixabay