Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Breaking Chains: Perempuan Menghadapi Sexism
25 November 2023 12:00 WIB
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan, dalam perjalanan sejarahnya, seringkali menjadi korban seksisme - suatu realitas pahit yang memaksa mereka terkekang dalam jaringan stereotip dan diskriminasi gender. Sexism, yang melibatkan prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gendernya, telah menjadi penghalang bagi perempuan dalam mencapai potensi penuh mereka. Dalam kenyataan sehari-hari, kita sering disajikan dengan contoh-contoh subtil maupun ekstrim dari bagaimana sexism menghantui setiap aspek kehidupan perempuan.
ADVERTISEMENT
Terbagi menjadi dua dimensi yang kompleks, Hostile Sexism dan Benevolent Sexism, diskriminasi gender hadir dalam berbagai wujud. Hostile Sexism, dalam bentuknya yang paling ekstrim, menciptakan dominasi laki-laki melalui pelecehan dan kekerasan. Di sisi lain, Benevolent Sexism lebih licik dengan menampilkan dirinya sebagai sikap positif, namun sejatinya mempertahankan ketidaksetaraan gender dengan cara yang lebih manipulatif.
Contoh nyata yang sering kita temui di kehidupan sehari-hari membuka mata kita terhadap kompleksitas sexism. Dari perintah untuk “senyum biar cantik” hingga stereotip bahwa marah-marah berarti sedang PMS, setiap klise ini merangkum ketidakadilan gender yang terus merajalela. Bahkan, stigma menstruasi dan pandangan rendah terhadap perempuan yang berkarir menggambarkan betapa dalamnya akar sexism dalam budaya kita.
ADVERTISEMENT
“Berbicara keperawanan dianggap ‘feminazi’ dan benci laki-laki jika perempuan berbicara tentang kesetaraan gender.” Pernyataan ini mencerminkan resistensi terhadap perubahan dan ketidaknyamanan terhadap diskusi mengenai kesetaraan gender. Stereotip perempuan yang tidak bisa menyetir, dianggap rempong, atau terlalu banyak complain semakin memperkuat dinding ketidaksetaraan.
Dalam realitas saat ini, kita menyaksikan bagaimana masalah ketimpangan gender bersifat terkait erat. Masyarakat seringkali memandang sepele dan menganggap wajar berbagai perilaku seksisme, menciptakan lingkungan di mana ketidaksetaraan dianggap sebagai norma. Kita harus mempertanyakan dan menantang keyakinan ini untuk menciptakan perubahan yang lebih baik.
Sejauh mana kita membawa perubahan bergantung pada sejauh mana kita mampu merubah narasi. Menyadari bahwa sexism tidak hanya tentang pelecehan fisik, tetapi juga melibatkan norma dan ekspektasi yang merugikan perempuan. Menciptakan ruang bagi perempuan untuk tumbuh dan berkembang tanpa dibatasi oleh stereotype adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih adil.
ADVERTISEMENT