Konten dari Pengguna

Ketika Viralitas Menjadi Jebakan

ewia ejha putri
1. Pimpinan Lembaga PKBM Pahlawan kerinci. 2. Anggota LHKP Muhammadiyah Jambi 3. Pengamat Sosial
25 Agustus 2024 8:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi viral. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi viral. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Perputaran waktu memang tak dapat dihindari, apalagi situasi di mana era digital yang serba cepat dan penuh dengan keterhubungan ini, fenomena viralitas telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok telah memberikan ruang bagi individu untuk mengejar popularitas dan pengakuan melalui jumlah "like," "retweet," dan "share."
ADVERTISEMENT
Bagi banyak orang, nilai diri mereka seolah ditentukan oleh seberapa viral konten yang mereka hasilkan. Hal ini telah menciptakan budaya di mana standar sosial dan identitas diri dibangun di atas fondasi yang dangkal, yakni perhatian sementara yang diberikan oleh dunia maya.
Kecenderungan untuk mencari pengakuan instan ini tidak hanya berimplikasi pada kondisi psikologis individu, tetapi juga pada struktur masyarakat secara keseluruhan. Atensi yang difokuskan pada tombol "like" dan "share" telah mengubah narasi yang ada menjadi semata-mata alat untuk menarik perhatian, menjual produk, atau bahkan menciptakan citra yang jauh dari realitas sebenarnya. Akibatnya, banyak individu yang terjebak dalam skenario instan yang tidak sehat, yang berpotensi meningkatkan kasus depresi, stres, kecemburuan, dan perasaan tidak berharga.
ADVERTISEMENT
Paulo Freire pernah menyampaikan bahwa kesadaran kita masih berada pada tahap kesadaran mistis, di mana kita cenderung mengikuti tren tanpa mempertanyakan atau mengevaluasi maknanya secara kritis. Dalam konteks ini, banyak anak muda yang lebih memilih untuk menonjolkan diri mereka melalui aksi-aksi dangkal, seperti mengikuti tren joget di media sosial, daripada mengejar intelektualitas dan pemahaman yang mendalam.
Mereka terjebak dalam logika instan yang menginginkan viralitas dan pengakuan cepat, tanpa menyadari bahwa hal tersebut membawa mereka pada kedangkalan yang justru menjauhkan dari potensi diri yang sesungguhnya.
Pandangan ini senada dengan pendapat Amin Abdullah, seorang filsuf dan intelektual Indonesia yang mengkritik fenomena modernitas yang cenderung menekankan pada aspek-aspek permukaan, seperti penampilan dan popularitas, daripada esensi dan makna yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Menurut Amin Abdullah, modernitas sering kali terjebak dalam sikap positivistik dan rasionalitas instrumental yang mengabaikan dimensi nilai dan spiritualitas. Dalam konteks ini, fenomena viralitas dapat dilihat sebagai manifestasi dari modernitas yang dangkal, di mana identitas diri dibangun di atas fondasi yang rapuh dan temporer.
Amin Abdullah juga menekankan pentingnya pengembangan kesadaran kritis, yang tidak hanya mampu melihat fenomena secara dangkal tetapi juga mampu memahami dan menganalisis makna di balik fenomena tersebut. Kesadaran kritis ini penting dalam menghadapi tantangan-tantangan modernitas, termasuk fenomena viralitas di media sosial.
Dengan mengembangkan kesadaran kritis, individu dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial, memahami dampak jangka panjang dari tindakan mereka, dan tidak mudah terjebak dalam kedangkalan yang ditawarkan oleh dunia maya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, refleksi yang mendalam melalui pembelajaran filsafat dan sejarah menjadi sangat penting. Sejarah, sebagai bagian dari warisan intelektual manusia, memberikan perspektif yang kaya akan nilai dan makna, yang sering kali hilang dalam hiruk-pikuk dunia digital. Filsafat, di sisi lain, menawarkan kerangka berpikir yang mendalam dan kritis, yang mampu membantu individu memahami diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka dengan lebih baik.
Anak muda zaman sekarang, yang sering kali lebih terhubung dengan dunia maya daripada dengan realitas sekitarnya, perlu menyadari bahwa identitas diri dan nilai sejati tidak ditentukan oleh popularitas di media sosial. Identitas yang kuat dibangun melalui refleksi, pembelajaran, dan pemahaman yang mendalam tentang diri dan dunia, bukan melalui jumlah "like" atau "share."
ADVERTISEMENT