Konten dari Pengguna

Melepaskan Belenggu Kelekatan

ewia ejha putri
1. Pimpinan Lembaga PKBM Pahlawan kerinci. 2. Anggota LHKP Muhammadiyah Jambi 3. Pengamat Sosial
25 Agustus 2024 8:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasa seolah dunia runtuh ketika kehilangan sesuatu atau seseorang yang Anda cintai? Perasaan seperti tidak bisa melanjutkan hidup tanpa kehadiran mereka atau tanpa memiliki barang-barang tertentu? Itulah kelekatan, sebuah fenomena yang tak asing lagi di tengah kehidupan modern kita. Baru-baru ini, saya menemukan tulisan Reza Watimena, seorang doktor filsafat yang mendalami filsafat Asia, yang menyoroti fenomena kelekatan ini dengan begitu tajam dan relevan. Tulisan-tulisannya mengajak kita untuk merenungi bagaimana kita kerap kali mengikatkan diri pada hal-hal yang sebenarnya bersifat sementara, namun memberikan dampak luar biasa pada kondisi mental dan emosional kita.
ADVERTISEMENT
Nah, Kelekatan bukanlah sekadar perasaan cinta atau suka terhadap sesuatu atau seseorang. Lebih dari itu, kelekatan adalah sebuah belenggu yang menghalangi kita untuk bergerak maju, untuk berkembang, dan untuk merasakan kebebasan sejati. Ketika kita merasa tidak bisa hidup tanpa sesuatu, entah itu pasangan, orang tua, gaya hidup, atau bahkan benda-benda material, kita sebenarnya sedang membiarkan diri kita terikat oleh ilusi. Menariknya, hal ini tidak hanya disadari oleh para filsuf modern seperti Reza Watimena, tetapi juga telah dibahas berabad-abad yang lalu oleh para pemikir besar dari berbagai tradisi filsafat.
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, pernah mengatakan bahwa "kebebasan adalah beban". Ungkapan ini menggambarkan bagaimana manusia pada dasarnya bebas, namun kebebasan itu sering kali terasa menakutkan karena membawa tanggung jawab besar. Dalam konteks kelekatan, kebebasan untuk melepaskan diri dari sesuatu yang kita cintai bisa menjadi beban yang berat, karena kita takut kehilangan rasa nyaman yang telah kita rasakan. Sartre berpendapat bahwa kelekatan adalah salah satu bentuk dari pelarian kita dari kebebasan itu sendiri, sebuah cara untuk menghindari beban kebebasan dengan mengikatkan diri pada sesuatu yang memberi kita rasa aman.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dari sudut pandang filsafat Timur, Buddha Gautama melihat kelekatan sebagai sumber utama penderitaan manusia. Dalam ajarannya, Buddha mengajarkan bahwa kelekatan adalah akar dari dukkha, atau penderitaan. Ketika kita melekat pada sesuatu, kita menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan kita bergantung pada hal tersebut. Namun, karena segala sesuatu bersifat sementara, kelekatan ini hanya akan membawa penderitaan saat yang kita cintai hilang atau berubah. Jalan keluar dari penderitaan ini, menurut Buddha, adalah dengan melepaskan kelekatan dan menerima sifat sementara dari segala sesuatu.
Di sisi lain, dalam filsafat Stoikisme, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, kelekatan dilihat sebagai penghalang untuk mencapai kedamaian batin. Stoikisme mengajarkan kita untuk bersikap "indifferent" atau tidak terpengaruh oleh hal-hal eksternal yang berada di luar kendali kita. Marcus Aurelius, dalam Meditations, sering kali menekankan pentingnya menerima segala sesuatu dengan ketenangan dan tidak melekat pada hal-hal duniawi. Dengan demikian, kita bisa mencapai "ataraxia" atau ketenangan jiwa, yang menjadi tujuan utama dari kehidupan menurut filsafat Stoik.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk melepaskan diri dari kelekatan ini? Langkah pertama adalah menyadari bahwa kelekatan adalah sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Ketika kita merasa tidak bisa hidup tanpa sesuatu, kita sebenarnya sedang memberikan kekuasaan pada hal tersebut untuk mengendalikan hidup kita. Reza Watimena mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati hanya bisa kita rasakan ketika kita berani melepaskan kelekatan dan menerima diri kita apa adanya, tanpa tergantung pada hal-hal eksternal.
Kedua, kita perlu melatih diri untuk menerima ketidakpastian dan perubahan sebagai bagian alami dari kehidupan. Seperti yang diajarkan oleh filsafat Buddha dan Stoikisme, menerima sifat sementara dari segala sesuatu akan membantu kita untuk lebih siap menghadapi kehilangan dan perubahan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kelekatan adalah belenggu yang kita ciptakan sendiri. Mengurai simpul kelekatan ini bukanlah tugas yang mudah, namun dengan refleksi mendalam dan penerimaan, kita bisa belajar untuk hidup lebih bebas, lebih damai, dan lebih autentik. Seperti yang ditulis oleh Reza Watimena, melepaskan kelekatan bukan berarti kehilangan, melainkan menemukan kembali diri kita yang sejati, yang tak terikat oleh apa pun.
Photo Pixalab