Konten dari Pengguna

Neraka Sosial

ewia ejha putri
1. Pimpinan Lembaga PKBM Pahlawan kerinci. 2. Anggota LHKP Muhammadiyah Jambi 3. Pengamat Sosial
28 November 2023 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam gudang waktu sejarah, kita bukan hanya penjaga setia, melainkan saksi bisu di pojok-pojok kelam catatan orang lain. Mereka, dengan senang hati, menari dalam kegelapan dugaan tentang kita, menciptakan neraka untuk diri mereka sendiri. Kita, terpinggirkan, terperangkap dalam teater tragedi yang mereka sendiri sutradarai.
ADVERTISEMENT
Sebagai manusia, kita terpaksa menyaksikan mereka terbakar dalam lubang neraka yang mereka gali sendiri. Kekayaan adalah mitos, kemiskinan adalah penderitaan sejati, dan orang lain adalah iblis dalam narasi hidup. Ini adalah tragedi manusia yang terlipat dalam riak lalu lalang peradaban.
Orang lain adalah neraka, merenggut pusat kemanusiaan kita. Manusia dikepung oleh pikiran-pikiran lain yang berjuang untuk tetap hidup. Solipsisme adalah lelapan mimpi. For-Itself (manusia) hadir untuk orang lain. Pertemuan tanpa wujud, dilihat dari sudut fenomenologis. Interaksi melalui tubuh, manifestasi eksistensi di dunia.
Rasa malu tumbuh saat menyadari keberadaan orang lain. Melihat melalui lubang kunci, tindakan ini menimbulkan sensasi bahwa kita sedang diawasi. Saat itulah kita melihat diri kita sebagai objek di mata orang lain. Malu adalah rasa malu diri di mata orang lain. Kesadaran menghancurkan, membuat kita lebih berarti bagi mereka dari pada bentuk fisik.
ADVERTISEMENT
Yang tersisa hanyalah mengubah orang lain, menjadikan mereka objek bagi kesadaran dan karakter kita. Menyingkirkan diri dari orang lain, melarikan diri untuk merebut identitas dan kebebasan dari pandangan orang lain. Kesadaran menciptakan ilusi ini untuk terus eksis sebagai subjek, melawan subordinasi diri kepada pandangan Yang Lain. Dilema moral terbuka lebar.
Faktanyaa saat ini adalah, kita berada di persimpangan. Mengartikan diri dalam sorotan orang lain atau mempertahankan kemandirian, itulah pertanyaan yang menuntut jawaban tegas. Dalam kekacauan ini, kita menyadari bahwa kita tak hanya berhubungan melalui fisik, tetapi juga melalui dimensi spiritual dan emosional yang rumit. Dalam perjalanan ini, kita menyadari bahwa masyarakat, meski kompleks, tak lepas dari paradigma saling ketergantungan.
Perasaan malu, yang kadang menjadi benteng pelindung, juga membatasi. Kita terjebak dalam siklus, berusaha mengatasi kelemahan dengan menempatkan diri di posisi superior. Kesadaran akan dilema moral ini langkah awal menuju pemahaman dan pembebasan.
ADVERTISEMENT
Mencari solusi, kita temukan bahwa memahami dan merangkul perbedaan menjadi kunci. Bukan mengubah orang lain, melainkan menerima perspektif mereka. Dalam dialog dan pengertian, kita bisa meretas tembok-tembok yang memisahkan diri dari mereka. Kehidupan bukan pertempuran antara subjek dan objek, melainkan perjalanan bersama menuju pemahaman diri dan orang lain.
Sebagai manusia, kita mungkin tak bisa menghindar dari keseimbangan rapuh antara individualitas dan ketergantungan sosial. Namun, dengan keterbukaan dan pengertian sebagai pemandu, kita bisa membangun jembatan untuk merayakan keberagaman. Bukan sebagai neraka yang harus dihindari, tetapi sebagai ladang kekayaan dan pertumbuhan bersama.
sumber : photo Pixabay