Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Religiusitas Palsu: antara Kesalehan dan Kemunafikan
12 September 2023 10:15 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari ewia ejha putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika melihat seseorang dengan tampilan religius yang gemilang, senyum lebar, dan keinginan kuat untuk tampil sebagai manusia saleh, mungkin kita merasa terkesan. Namun, seperti yang sering terjadi, ternyata penampilan bisa mengecoh mata fisik kita, maka tidak heran lagi fenomena ini menjadi seksi di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang mengejar kesalehan tetapi pada saat yang sama terjerat dalam tindakan yang jauh dari nilai-nilai religiositas yang benar.
Tidak kah ini menjadi suatu peristiwa yang menyimpang?
Tampilan religius dan kemewahan yang melingkupinya seharusnya merupakan wujud dari keutamaan dalam beragama. Namun, apa yang terjadi ketika tampilan itu hanya sebuah tiruan, sebuah topeng yang digunakan untuk menyembunyikan tindakan-tindakan yang jauh dari kesucian? Di sinilah kita menemukan konsep kemunafikan yang berakar dalam berkedok kebijaksanaan berbau kesalehan.
Kesalehan, dalam konteks ini, adalah suatu bentuk keutamaan yang bersumber dari tradisi atau agama tertentu. Ini adalah hal pribadi, tetapi kita juga hidup dalam masyarakat multikultural dan demokratis. Di tengah keberagaman ini, kesalehan haruslah dipahami secara luas, tidak hanya dipahami dalam wujud-wujud simbolis saja tetapi harus dilengkapi dengan keutamaan dalam kehidupan sebagai masyarakat modern, hal Ini mencakup berpikir rasional, patuh hukum, bersikap kritis, dan terbuka terhadap perbedaan.
ADVERTISEMENT
Dalam Filsafat Martin Heidegger yang merujuk pada manusia-manusia palsu sebagai “Das Man,” mereka yang hanya mengikuti tradisi dan agama tanpa pertanyaan atau pemikiran kritis. Mereka hidup dalam ketakutan dan kepatuhan dangkal.Oleh karena itu, kesalehan agamis harus dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh semua orang, terutama mereka yang berbeda identitas.
Oleh karena itu, kesalehan agamis harus dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh semua orang, terutama mereka yang berbeda identitas. Maka sangat Penting membedakan antara ruang publik dan ruang pribadi. Persoalan pribadi, seperti alat kelamin dan orientasi gender, harus dilepaskan dari mata negara. Namun, korupsi, kekerasan, dan diskriminasi adalah masalah publik yang harus dihadapi oleh negara dan hukum.
ADVERTISEMENT
Ketika kesalehan tidak disertai dengan keutamaan publik demokratis, maka hal ini membuka pintu bagi penyalahgunaan oleh politisi yang busuk untuk merusak keadaan. Maka jangan heran, simbolis kesalehan seseorang akan digunakan untuk sebuah keperluan politik sebagai contohbanyak caleg mendadak saleh dengan mengunjungi mesjid-mesjid untuk berceramah lalu perlahan mengiringi masyarakat untuk mendukung pada saat pencoblosan.
Apakah kita pernah terbayangkan hal itu?
Atau jangan-jangan hal ini sedang terjadi di lingkungan kita sendiri?
Atau sedang terjadi dalam diri kita sendiri?
Kejahatan orang-orang saleh adalah kejahatan yang sangat keji, di mana senyuman dan kesombongan bertentangan dengan penindasan terhadap orang lain. Terkadang hal ini tidak begitu banyak yang menyadarinya.
Kesimpulannya, setan di abad ke-21 tidak lagi datang dengan tanduk dan taring, tetapi dia mungkin mengenakan dandanan religius dan retorika kesalehan. Filosofi kebijaksanaan mengingatkan kita bahwa penampilan bisa menipu, dan penting untuk melihat melampaui itu untuk menggali nilai-nilai sejati kesalehan yang berdampingan dengan keutamaan publik demokratis dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT