Konten dari Pengguna

Hutan di Papua Akan Hilang

Ewil Manoa Woloin
Mahasiswa S1 Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
18 Juni 2023 21:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ewil Manoa Woloin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Kehilangan Hutan di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara

Ilustrasi hutan. Foto: EWIL M WOLOIN/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan. Foto: EWIL M WOLOIN/Pexels
ADVERTISEMENT
Sejak 2014 hingga 2021, hutan hilang di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku seluas 780.066 hektare. Sebagian besar terjadi pada areal konsesi perizinan berusaha pengelolaan hasil hutan kayu atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu–hutan alam (IUPHHK-HA).
ADVERTISEMENT
Termasuk juga izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu–hutan tanaman (IUPHHK-HT), perkebunan kelapa sawit, izin usaha pertambangan (IUP), areal pembangunan ketahanan pangan (Food Estate), dan pembangunan jalan.
Luas kehilangan hutan pada areal investasi berbasis lahan ini mencapai 51 persen dari total kehilangan hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku, yaitu seluas 400.867,48 hektare. Kehilangan hutan akibat perkebunan kelapa sawit dan pembangunan jalan lebih banyak terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat, luasnya mencapai 126.043,43 hektare.
Sedangkan kehilangan hutan akibat pertambangan lebih banyak terjadi di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, luasnya mencapai 52.643,68 hektare. Secara keseluruhan, kehilangan hutan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara dari kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yaitu 240.015,18 hektare.
ADVERTISEMENT
Di wilayah Provinsi Papua bagian selatan, yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel, dan Kabupaten Mappi, deforestasi terjadi pada beberapa wilayah alokasi untuk program ketahanan pangan (food estate). Areal ini tumpang tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit
Praktik pembangunan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua sebagian besar dilakukan pada areal pelepasan kawasan hutan. Kawasan hutan produksi yang dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi areal penggunaan lain (APL) yang diperuntukkan sebagai kegiatan budidaya non-kehutanan, yaitu perkebunan kelapa sawit, lebih dari 90 persen arealnya masih berupa hutan.
Hal ini yang menyebabkan angka pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi sangat tinggi. Terutama pada periode sebelum 2018, yaitu masa di mana penghentian pemberian izin sementara (moratorium) untuk perkebunan kelapa sawit belum diterbitkan oleh presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Papua yang masif pada 5 tahun terakhir menargetkan pembangunan jalan yang panjangnya lebih dari 4.000 km (Gaveau, Santos et al. 2021). Pembangunan jalan Trans Papua mendorong terjadinya pembukaan hutan.
Tidak dapat dihindarkan, proses pembangunan jalan Trans Papua harus melewati areal hutan Papua. Angka kehilangan hutan dari kegiatan pembangunan jalan di Papua dan Papua Barat mencapai 253,907 hektare per tahun (Gaveau, Santos et al. 2021).
Ilustrasi hutan lebat Papua. Foto: Shutterstock
Pertama, pcepatan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dibanding wilayah lainnya melalui transformasi ekonomi dari berbasis SDA ke industri berbasis komoditas lokal dan pariwisata, hilirisasi industri pertambangan, minyak, dan gas bumi.
Kedua, pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat berlandaskan pendekatan budaya dan kontekstual Papua, dan berbasis ekologis dan wilayah adat.
ADVERTISEMENT
Ketiga, peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan rendah karbon Dampak dari pelaksanaan kebijakan ini, secara positif terlihat pada beberapa program pembangunan infrastruktur jalan agar Tanah Papua bisa memiliki daya dukung yang memadai untuk bisa setara dalam pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan jalan baru maupun peningkatan kelas jalan terus dilakukan dengan cepat. Pembangunan jalan Trans Papua yang menghubungkan Kota Sorong di Papua Barat hingga Kabupaten Merauke di Provinsi Papua adalah bentuk realisasi dari program percepatan pembangunan agar Papua saling terkoneksi dan tidak terisolasi.
Sisi lain dari pelaksanaan program ini mengakibatkan areal hutan yang terganggu ekosistemnya. Fragmentasi habitat secara permanen oleh kegiatan ini akan berpotensi pada terganggunya siklus alami dari sistem ekologis yang sudah lama tercipta. Mudahnya aksesibilitas akan meningkatkan gangguan atau perambahan pada wilayah ini.
ADVERTISEMENT
Sarana pengangkutan yang mudah meningkatkan arus distribusi barang hasil kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang dilakukan secara illegal. Kondisi ini jelas menjadi ancaman terhadap kelestarian SDA. Karena itu, diperlukan kegiatan pemantauan dan pengamanan yang lebih intensif.
Menggenjot investasi berbasis lahan untuk upaya percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi pilihan yang logis, tetapi harus tetap mengacu pada rambu-rambu investasi hijau. Ini untuk menjaga target percepatan penyelesaian kesenjangan ekonomi Tanah Papua dari wilayah lain di bagian barat Indonesia. Ekses negatif dari kebijakan ini tentunya akan berimbas kepada perubahan fungsi ekologis lahan.
Kerusakan secara lokal akan terjadi jika investasi berbasis lahan tidak dibarengi dengan upaya-upaya kontrol dari berbagai pihak, terutama oleh instrumen pemerintah.
ADVERTISEMENT
Beberapa riset yang berkaitan dengan dampak investasi berbasis lahan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menunjukkan bahwa dampak secara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan tidak mengalami kenaikan secara signifikan dalam rentang selama investasi (Tjawikrama, Arifin et al. 2020).
Ini tentu harus menjadi perhatian untuk mempertanyakan apakah memang investasi berbasis lahan merupakan solusi untuk menggenjot target peningkatan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.