Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kehidupan Suku Korowai di Pedalaman Papua
22 Juli 2023 12:01 WIB
Tulisan dari Ewil Manoa Woloin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suku Korowai, dari Tinggal di Rumah Pohon
ADVERTISEMENT
Di Indonesia masih ada kelompok atau suku yang terasing terutama di Papua, disana moderenisasi terasa sangat lambat.
ADVERTISEMENT
Suku Korowai adalah sebuah suku di pedalaman Papua sebelah barat berbatasan dengan negara Papua Nugini.
Sebelumnya Suku Korowai tak pernah berinteraksi dengan orang asing bahkan mereka tidak tahu ada manusia lain di dunia ini selain mereka.
Tim ekspedisi menemukan mereka sekitar tahun 1970-an, tim ekspedisi tersebut yang dipimpin oleh seorang antropolog Peter Van Arsdale, ahli geografi Robert Mitton, dan pengembang komunitas Mark (Dennis) Grundhoefer.
Ciri-ciri fisik dan penampilan mereka tidak beda dengan suku lain yang ada di Papua.
Suku Korowai masih hidup dengan cara yang tradisional dengan cara berburu dan bertani dan menokok sagu untuk kebutuhan mereka sehari - hari.
Pohon sagu adalah makanan utama mereka, dan semua yang ada di hutan bisa mereka manfaatkan untuk hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Suku ini terampil berburu dan juga masih melakukan perdagangan benda seperti tulang, perhiasan, dan pisau.
Namun, berbeda dengan suku pedalaman Papua lainnya yang menggunakan koteka.
Mungkin karena Suku Korowai benar-benar terisolir, bahkan dari suku pedalaman lainnya di Papua sekalipun.
Alat - alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana yakni bambu yang tajam untuk mengiris daging dan bambu untuk menampung air, dan bambu juga untuk memasak air panas.
Hewan pelihara mereka adalah babi dan anjing, dan bagi mereka, babi memiliki nilai sosial dan biasanya dibunuh saat ritual atau acara-acara khusus.
Sedangkan anjing mereka gunakan sebagai hewan berburu.
Dan yang paling menarik dari Suku Korowai adalah rumah pohon, Suku Korowai tinggal di rumah pohon yang tingginya tak main-main bisa sampai 50 meter.
ADVERTISEMENT
Alasan mereka tinggal di atas pohon agar terhindar dari ancaman makhluk buas juga roh - roh jahat yang bernama Laleo atau iblis yang kejam.
Laleo adalah makhluk yang berjalan seperti mayat hidup dan berkeliaran pada malam hari.
Mereka membangun rumah di ketinggian agar tidak terkena gigitan nyamuk.
Terlepas dari semua alasan tersebut, Suku Korowai begitu menghargai nenek moyangnya.
Oleh karena itu, mereka juga menganggap bahwa rumah tinggi merupakan warisan leluhur, sehingga mereka merasa nyaman bagi mereka, meski mereka harus berupayah memanjat pohon yang begitu tinggi.
Rumah pohon yang begitu tinggi secara logika tentu tidak normal. Suatu saat angin bisa saja berhembus kencang dan dengan cepat dapat menghancurkan rumah tersebut, karena itulah, Suku Korowai tidak sembarangan dalam memilih pohon, Mereka memilih pohon - pohon yang besar sebagai pondasi rumahnya.
ADVERTISEMENT
Pucuk pohon tersebut untuk membangun rumah mereka.
Bahan yang mereka mengunakan dari alam dan juga proses pembuatan rumah pohon menggunakan tangan, tanpa bantuan alat modern apapun, dan rangka rumah pohon dari batang - batang kayu kecil, dan lantainya menggunakan cabang pohon.
Sedangkan untuk dinding dan atap rumah, mereka menggunakan kulit pohon sagu dan daun-daun di hutan.
Rata - rata rumah pohon Suku Korawai memiliki ukuran sekitar tujuh kali sepuluh meter.
Rumah pohon dengan ukuran lebih besar memiliki sekat ruangan dan pintu berbentuk runcing di masing - masing ujung sekat.
Ada satu pintu untuk penghuni pria, dan pintu lainnya untuk wanita, i rumah pohon Suku Korawai juga terdapat sebuah perapian yang terbuat dari tanah liat yang digantungkan di atas ruang terbuka, sehingga perapian tersebut mudah dipotong dan dibuang jika api tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Biasanya, bangunan rumah pohon dapat memakan waktu hingga tujuh hari lamanya.
Suku Korawai masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya, sehingga mereka mendirikan sebuah rumah, untuk mereka akan melakukan ritual malam untuk mengusir roh jahat.
Karena hanya menggunakan bahan alami, konstruksi rumah pohon Suku Korawai hanya bertahan hingga tiga tahun lamanya.
Selain itu, mereka juga menjaga baik hubungannya dengan dunia roh, karena mereka percaya bahwa semesta ini dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya bagi hidup mereka.
Seorang akademisi dari Kampus Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua, Rhidian Yasminta, melakukan riset tentang Suku Korowai sejak 2016.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Suku Korowai begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dalam sebuah hubungan sesama manusia.
Begitu setaranya, menjadikan mereka hidup tanpa ada strata sosial seperti kepala suku atau panglima perang.
Dalam kehidupan sehari - hari seorang laki-laki dan perempuan sama saja.
Misalnya di sebuah rumah tangga, mereka hampir tidak membagi pekerjaan berdasarkan gender jadi, semua kegiatan mereka lakukan secara bersama - sama.
Namun beberapa hal yang tidak bisa diubah - ubah dan harus dilakukan sesuai gender, yaitu mengandung atau melahirkan, atau menyusui yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan.
Suku Korowai melihat dari bagaimana posisi seorang wanita, terutama jika ibu mertua dari garis perempuan yang sangat dihormati.
Sehingga, seorang anak menantu laki - laki harus menjaga tata karma, yaitu tidak boleh menatap wajah mertua perempuannya secara langsung.
Walaupun Suku Korowai berada di pedalaman dan terasing, namun rumah pohon yang mereka bangun menjadi bukti kecerdasan mereka.
ADVERTISEMENT
Suku Korowai juga memiliki kebudayaan yang begitu murni, sehingga dapat diteladani tentang hubungan mereka sesama manusia, maupun dengan alam, yang begitu seimbang.
Yang lebih menarik atau menyeramkan dari Suku korowai adalah prilaku kanibalismenya.
Suku Korowai tidak tahu apa - apa soal kuman atau penyakit, meskipun khusus untuk batuk mereka menjadikan larva semut sebagai obat, namun mereka tidak tahu akan penyakit lainnya seperti malaria yang menyerang mereka.
Jika ada yang meninggal karena penyakit yang mereka tidak tahu, mereka percaya kalau itu ulah Khakua (penyihir) dan si Khakua sedang menyamar menjadi salah satu dari mereka.
Karena itulah akan ditentukan siapa terduga atas kematian tersebut di antara mereka, kemudian dengan pengadilan yang mereka adakan, jika terbukti bersalah mereka akan membunuh orang tersebut karena dianggap sebagai penyihir.
ADVERTISEMENT
Kemudian menyantap dagingnya untuk benar - benar memusnahkan si Khakua, dan untuk ibu hamil dan anak - anak tidak ikut serta dalam hal itu.
Setelah memakan habis tubuh Khakua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu sambil bernyanyi semalaman.
Orang Suku Korowai yang melanggar peraturan mereka juga akan diberikan hukuman yang sama, menjadi santapan Suku Korowai.
Jadi, kanibalisme bagi mereka adalah sebuah sistem peradilan layaknya penjara di kehidupan kita.
Selain orang yang diduga sebagai Khakua dan yang melanggar peraturan, orang yang sakit keras dan tak kunjung sembuh juga jadi korban kanibalisme suku ini.
Tujuannya mungkin agar si penderita penyakit tidak menderita lebih lama lagi di dunia, maka orang yang sakit dalam waktu lama lebih baik mati.
ADVERTISEMENT
Pada bulan Mei tahun 2006, pemandu wisata dan jurnalis, Paul Raffaele memimpin kru dalam ekspedisi ke hutan Papua.
Tujuannya untuk membuat film dokumenter tentang suku Korowai.
Dia ingin memahami mereka dan alasan mereka melakukan beberapa ritual yang mengerikan.
Paul menulis dalam artikelnya, "Kanibalisme dipraktikkan di antara manusia prasejarah, dan itu bertahan hingga abad ke-19 di beberapa kebudayaan Pasifik Selatan yang terisolasi, terutama di Fiji.
Dia melanjutkan dengan detail penulisannya, “Mereka tinggal sekitar 100 mil dari Laut Arafura, dimana Michael Rockefeller, putra gubernur New York, Nelson Rockefeller, menghilang pada tahun 1961 saat mengumpulkan artefak dari suku Papua lainnya.
Tubuhnya tidak pernah ditemukan.
Pria ini juga menegaskan bahwa sebagian besar suku Korowai hidup dengan mengabaikan dunia di luar suku mereka.
ADVERTISEMENT
Korowai tidak memiliki pengetahuan tentang kuman mematikan yang menduduki hutan mereka, dan begitu percaya bahwa kematian misterius disebabkan oleh Khakua, atau penyihir yang mengambil bentuk laki-laki.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Paul dengan pemimpin suku, dia menjelaskan alasan orang Korowai mempraktikkan kanibalisme, "Bagi Korowai, jika seseorang jatuh dari rumah pohon atau terbunuh dalam pertempuran maka alasan kematian mereka cukup jelas.
Tetapi mereka tidak memahami mikroba dan kuman, jadi ketika seseorang mati secara misterius, mereka percaya itu adalah karena seorang Khakua, atau penyihir lelaki yang datang dari akhirat.
Seorang Khakua harus dibunuh dengan cara dimakan. Sebab Khakua sebenarnya adalah orang mati yang memakan mereka dianggap sebagai sistem keadilan terbaik.
Namun saat ini sudah banyak warga suku Korowai yang mulai membuka diri dan hidup membaur dengan masyarakat modern lainnya di Papua.
ADVERTISEMENT