Timbunan Limbah Fast Fashion di Chile, Siapakah yang Peduli Lingkungan?

Ezra Yora
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia.
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2023 15:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ezra Yora tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Bendera Chila | Foto by : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Potret Bendera Chila | Foto by : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi membawa masyarakat terhadap alur dan selera yang berotasi setiap masanya, salah satunya dalam hal berpakaian (fashion). Masyarakat dunia secara sadar dan tidak sadar dituntut kepada poros fashion di beberapa brand yang memiliki “rasa bangga” yang berbeda dengan brand lainnya, dan beberapa brand tersebut disebut sebagai “fast fashion”.
ADVERTISEMENT
Fast fashion ialah industri tekstil yang memproduksi barang dalam jumlah banyak dan waktu yang cepat berganti (tergantung musim). Industri ini kerap kali memproduksi barang sesuai dengan tren maupun musim yang sedang terjadi, misalnya saat winter maka industri akan memproduksi sebanyak-banyaknya pakaian yang sesuai, dan setelah musim tersebut selesai maka barang hasil produksi akan dipindahkan ketempat pembuangan limbah.
Awal mula perkembangan fast fashion ialah pada peralihan revolusi industri, yang sebelumnya industri dengan harga produk yang mahal diproduksi secara berkualitas dan detail hingga ditemukannya mesin manufaktur yang dapat mempercepat proses produksi jangka cepat dengan jumlah yang banyak. Kemewahan yang mengampit produk fast fashion membuat semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk memakai nya, ditambah dengan melonjaknya konsumerisme dari tahun ketahun hingga saat ini laju produksi fast fashion yang sudah tidak terkontrol lagi.
ADVERTISEMENT
Fast fashion menjual ciri khas brand yang terkesan up to date, kekinian, dan lebih mahal hingga membuat semakin banyak konsumen tertarik, beberapa contoh brand fast fashion yang sangat familiar dengan masyarakat ialah zara, uniqlo, dan h&m. Lalu apakah yang terjadi dengan fast fashion hingga menarik untuk menjadi perhatian masyarakat hari ini?
Potret Produk Fast Fashion | Foto by : Pixabay.com
Fast fashion dinobatkan sebagai penyebab terbesar no.2 polusi yang sangat merusak lingkungan, lho. Produksi besar-besaran dengan jumlah yang besar ini membutuhkan air dan energi yang besar pula, dapat kita bayangkan jika satu produksi celana denim yang membutuhkan 10.000 liter air yang apabila diperhitungkan, volume air tersebut cukup untuk menghidupi satu orang selama sepuluh tahun, ditambah dengan pemakaian bahan kimia serta hasil pengolahan yang turut menambah kadar limbah bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Bahan baku yang digunakan dalam produksi fast fashion kebanyakan ialah polyester, yang mengandung serat plastik dan membutuhkan sekitar 200 tahun untuk menghancurkannya. Dampak yang tidak kalah besar ialah eksploitasi pekerja, yang mana para pekerja mengalami over working karena dituntut untuk kerja lebih dari 12 jam dengan upah yang sedikit. Industri fast fashion biasanya melakukan produksi di negara berkembang dengan tujuan harga sewa dan upah pekerja yang rendah, semakin parah dengan kenyataan bahwa para pekerja kebanyakan ialah wanita, khususnya anak dibawah 19 tahun dengan keadaan putus sekolah.
Salah satu dampak nyata dari produksi dan eksploitasi akibat industri fast fashion ialah gedung Rana Plaza yang beberapa bulan lalu roboh akibat proses industri pabrik. Melanjutkan tentang negara berkembang yang dipilih oleh perusahaan fast fashion sebagai pembuangan, salah satu negara di Amerika Latin dapat menjadi contoh untuk hal ini, yakni Gurun Chile. Gurun ini menjadi gurun terkering di dunia akibat limbah yang dibuangkan sekitar 59.000 ton pertahunnya, yang berisi pakaian bekas produksi fast fashion.
ADVERTISEMENT
Limbah pakaian yang dibiarkan menumpuk akan melepaskan polutannya ke udara dan mengotori lapisan ozon dengan waktu penguraian yang lebih dari 100 tahun. Gurun terkering semakin meluas dari tahun ketahun yang membuat sebagian lahan hutan disekitarnya tidak maksimal untuk menghasilkan udara dan air bersih. Hal ini membuat masyarakat sekitar mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih, sehingga mereka menghemat penggunaan air untuk tetap bertahan hidup, dan sebagai sumber pangan hewan peliharaan, serta masyarakat mencoba mengumpulkan air dari alternatif air hujan.
Potret Limbah yang melepaskan polutan | Foto by : Pixabay.com
Inisiatif yang dilakukan masyarakat adalah alternatif sederhana yang tidak menyeluruh manfaatnya, masyarakat memerlukan insentif dan upaya langsung dari pemerintah mengingat bahwa air merupakan kebutuhan primer manusia. Dari rangkaian peristiwa yang masih terjadi hingga hari ini dan segala upaya pemerintah untuk merancang Sustainable Development Goals, apakah hal tersebut akan efektif apabila dari lapisan masyarakat tidak membatasi dalam pemakaian hal yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan.
ADVERTISEMENT