Konten dari Pengguna
Tambang Nikel di Raja Ampat, Ancaman bagi Ekonomi Berkelanjut Raja Ampat?
9 Juni 2025 11:33 WIB
·
waktu baca 4 menitKiriman Pengguna
Tambang Nikel di Raja Ampat, Ancaman bagi Ekonomi Berkelanjut Raja Ampat?
Tambang nikel di Raja Ampat menjadi ancaman bagi ekonomi berkelanjutan Raja Ampat yang di sebabkan masuknya industri pertambangan nikel di wilayah-wilayah yang berdekatan, bahkan potensial.Faadhilatu Rahmatillah

Tulisan dari Faadhilatu Rahmatillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tambang nikel di Raja Ampat menjadi ancaman bagi ekonomi berkelanjutan Raja Ampat yang di sebabkan masuknya industri pertambangan nikel di wilayah-wilayah yang berdekatan, bahkan potensial yang menyentuh kawasan konservasi dan pemukiman masyarakat adat. Dalih pembangunan ekonomi dan hilirisasi industri logam kerap dijadikan pembenaran, padahal pendekatan ini berpotensi mengorbankan masa depan ekonomi berkelanjutan di Raja Ampat.
ADVERTISEMENT
Raja Ampat menjadi sebuah gugusan pulau di Provinsi Papua Barat Daya, yang salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Berdasarkan laporan Conservation International, wilayah ini menyimpan lebih dari 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.300 spesies ikan. Tak heran jika Raja Ampat dinobatkan sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle). Dengan kekayaan ekologis tersebut, wilayah ini telah menjadi laboratorium alam, sumber penghidupan masyarakat adat, dan magnet pariwisata ekowisata kelas dunia.

Ekonomi Publik dan Ketimpangan Distribusi Manfaat
Ekonomi publik menjadi tujuan utama pembangunan dengan menjamin kesejahteraan bersama (public welfare) dengan memanfaatkan sumber daya secara efisien, adil, dan berkelanjutan. Namun, praktik pembangunan berbasis tambang di banyak wilayah Indonesia menunjukkan pola yang berulang, manfaat ekonomi terpusat pada elit, kerusakan ditanggung oleh masyarakat lokal. Sebagai contoh, laporan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) tahun 2022 menunjukkan bahwa di berbagai wilayah tambang nikel seperti Morowali dan Halmahera, kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi. Bahkan, tingkat kemiskinan dan kerusakan ekosistem meningkat, meskipun investasi tambang terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Raja Ampat, yang selama ini bergantung pada pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism), memiliki struktur ekonomi mikro yang unik. Homestay lokal, jasa perahu, pemandu wisata, hingga usaha kerajinan tangan menjadi penggerak ekonomi yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga inklusif dan ramah lingkungan. Memasukkan industri ekstraktif seperti pertambangan nikel berarti mencabut sumber ekonomi masyarakat yang lebih berkelanjutan dan resilien.
Dampak ekologis pertambangan nikel bukan hanya bersifat jangka pendek. Penebangan hutan untuk membuka jalan tambang dan pembangunan smelter akan menyebabkan deforestasi, pencemaran air laut akibat tailing, hingga kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi. Penelitian oleh Universitas Papua (2021) menunjukkan bahwa bahkan aktivitas industri di luar kawasan konservasi inti memiliki efek lintas batas, terutama terhadap kualitas perairan dan populasi biota laut.
ADVERTISEMENT
Jika kerusakan ekosistem ini terus berlangsung, maka nilai ekonomi dari jasa ekosistem Raja Ampat yang selama ini menopang pariwisata mulai dari keindahan visual, keanekaragaman hayati, hingga fungsi perlindungan pantai akan hilang. Sebagai ilustrasi, WWF memperkirakan potensi ekonomi berkelanjutan dari sektor kelautan dan pariwisata di Raja Ampat mencapai Rp1,7 triliun per tahun, jika dikelola dengan prinsip konservasi. Ini angka yang jauh lebih besar dan tahan lama dibanding kontribusi jangka pendek pertambangan nikel.
Pertambangan juga berisiko merusak struktur sosial masyarakat adat. Tanah ulayat yang menjadi identitas dan ruang hidup bisa hilang, konflik horizontal meningkat, dan kearifan lokal dalam menjaga alam berpotensi terpinggirkan. Di banyak kasus, masyarakat hanya dilibatkan secara simbolik dalam proses perizinan tambang, tanpa pemahaman penuh terhadap dampak jangka panjangnya. Padahal, masyarakat adat Raja Ampat telah lama menerapkan sistem konservasi tradisional seperti sasi laut, yaitu larangan menangkap ikan di wilayah tertentu dalam waktu tertentu, untuk menjaga keseimbangan alam. Sistem seperti ini sejalan dengan prinsip ekonomi berkelanjutan dan seharusnya didukung dalam kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu mempertimbangkan alternatif pembangunan yang tidak destruktif. Hilirisasi nikel nasional bisa diarahkan ke wilayah yang memang sudah terdampak atau rusak secara ekologis, bukan wilayah konservasi prioritas seperti Raja Ampat.
Beberapa langkah konkret yang direkomendasikan:
1. Moratorium pertambangan di wilayah Raja Ampat dan sekitarnya, serta peninjauan ulang izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah terbit.
2. Transparansi dalam proses perizinan tambang, dengan pelibatan penuh masyarakat lokal dan akademisi independen.
3. Peningkatan investasi publik pada pariwisata berkelanjutan, konservasi laut, dan riset kelautan.
4. Revitalisasi ekonomi lokal berbasis budaya dan sumber daya alam terbarukan, seperti perikanan berkelanjutan, ekowisata, dan pendidikan lingkungan.
Raja Ampat bukan sekadar ikon pariwisata. Ia adalah simbol dari kekayaan alam, pengetahuan lokal, dan potensi ekonomi berkelanjutan yang dimiliki Indonesia. Mendorong pertambangan nikel di wilayah ini bukan hanya salah arah secara ekologis, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar ekonomi publik dan pembangunan berkelanjutan. Jika Indonesia serius ingin membangun masa depan hijau dan inklusif, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga Raja Ampat, bukan menggali isi perutnya.
ADVERTISEMENT