Konten dari Pengguna
Sengketa Laut China Selatan: Mampukah Indonesia Jadi Penjaga Perdamaian Kawasan?
6 Juni 2025 14:11 WIB
·
waktu baca 4 menitKiriman Pengguna
Sengketa Laut China Selatan: Mampukah Indonesia Jadi Penjaga Perdamaian Kawasan?
Tulisan ini membahas sengketa Laut China Selatan, dinamika aktor internasional, serta upaya Indonesia dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan kawasan.Muhammad Fathi Aldrin

Tulisan dari Muhammad Fathi Aldrin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sengketa Laut China Selatan telah menjadi salah satu isu keamanan terpenting di kawasan Asia-Pasifik. Persoalan ini bermula dari tumpang tindih klaim wilayah maritim oleh beberapa negara Asia Tenggara seperti Filipina, Brunei, Malaysia, dan Vietnam yang berhadapan dengan klaim sepihak China melalui garis sembilan putus-putus (nine-dash line) yang dimasukkan dalam peta resmi Republik Rakyat Tiongkok pada 1947.
ADVERTISEMENT
China berdalih klaimnya didasarkan pada aktivitas bersejarah seperti survei, patroli, dan penangkapan ikan sejak abad ke-15. Sementara itu, klaim negara lain seperti Filipina dan Vietnam memiliki dasar sejarah dan geografisnya sendiri. Filipina menganggap Kepulauan Spratly sebagai res nullius dan berada dalam batas kepulauan nasional, sedangkan Vietnam mendasarkan klaimnya pada warisan Dinasti Nguyen dan penerus kolonial Prancis.
Sejak akhir 1990-an, China sempat menerapkan pendekatan “good neighbour policy” yang menekankan dialog bilateral untuk meredam kekhawatiran tentang kebangkitan China dan potensi ancaman yang ditimbulkan. Namun, dalam dekade terakhir, China beralih ke pendekatan yang lebih tegas dengan meningkatkan aktivitas eksplorasi energi dan patroli militer.
Hal ini memicu kekhawatiran di beberapa negara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengenai “creeping assertiveness” China yang pada akhirnya mendorong keterlibatan negara besar lainnya seperti Amerika Serikat. Rivalitas kekuatan besar inilah yang kini memperumit dinamika sengketa ini. Meskipun sebagian besar negara pengklaim di wilayah tersebut merupakan negara anggota ASEAN, China cenderung menolak penyelesaian multilateral melalui ASEAN dan lebih memilih jalur bilateral.
ADVERTISEMENT
Konflik ini menjadi semakin kompleks ketika ditemukan potensi cadangan minyak dan gas di kawasan ini yang mulai menarik perhatian banyak pihak pada awal 1970-an. Penemuan potensi hidrokarbon dan kekayaan sumber daya perikanan menjadi pemicu utama sengketa yang semakin memanas. Penandatanganan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) pada 1982 dan pemberlakuannya pada 1994 menjadi tonggak yang memperkuat posisi hukum negara-negara pengklaim.
Kepentingan strategis dan ekonomi inilah yang menjadi akar konflik yang sulit diselesaikan. Laut China Selatan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi sehingga menjadi jalur utama perdagangan dunia yang menopang perekonomian global dengan lebih dari 64 persen perdagangan barang dunia melewati kawasan ini setiap tahunnya.
Keinginan untuk mengamankan sumber daya ini didorong oleh kepentingan nasional dan ambisi pertumbuhan ekonomi masing-masing negara pengklaim yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa sengketa ini terus memanas.
ADVERTISEMENT
Di tengah sengketa yang memanas dan melibatkan banyak aktor internasional, peran negara tetangga seperti Indonesia yang meskipun tidak mengklaim wilayah tersebut, tetapi berperan sangat penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia memiliki keterkaitan erat dengan negara-negara pengklaim Laut China Selatan yang juga merupakan anggota ASEAN.
Upaya Indonesia dalam Menangani Sengketa Laut China Selatan
Salah satu upaya Indonesia dalam menangani sengketa di kawasan Laut China Selatan adalah dengan mengedepankan pendekatan damai dan diplomasi. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan bahwa pemerintahannya memprioritaskan langkah-langkah diplomatik untuk meredakan ketegangan yang terjadi antara China dan negara-negara ASEAN.
Dalam forum diplomasi internasional di Antalya, Turki, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pendekatan “soft diplomacy” tersebut diwujudkan melalui dialog langsung dengan Presiden China, Xi Jinping.
ADVERTISEMENT
Salah satu inisiatif penting yang diajukan Presiden Prabowo adalah mengajak China untuk bersama-sama mengelola wilayah sengketa. Prabowo menawarkan gagasan “co-development” atau pengelolaan bersama yang dapat menjadi solusi kompromi untuk menghindari konflik. Gagasan tersebut disambut baik oleh Presiden Xi Jinping.
Presiden Prabowo juga mengingatkan bahwa sebagian besar konflik di Laut China Selatan adalah warisan dari campur tangan kekuatan kolonial di masa lalu yang meninggalkan kompleksitas wilayah di Asia Tenggara. Oleh karena itu, dia mengajak seluruh negara untuk bekerja sama demi kemakmuran bersama dengan mengedepankan perdamaian sebagai landasan utama.
Selain mengedepankan dialog damai dan kerjasama langsung dengan China, Indonesia juga menempuh langkah strategis lain untuk menjaga kestabilan kawasan. Salah satunya adalah memperkuat hubungan militer dan diplomasi dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Upaya ini merupakan bagian dari strategi ‘hedging’ yang diadopsi Indonesia dan beberapa negara ASEAN guna menyeimbangkan pengaruh China di Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
Kedua upaya yang ditempuh Indonesia tersebut mencerminkan langkah keseimbangan untuk menjaga hubungan baik dengan semua pihak melalui dialog dan kerja sama damai dengan China serta negara-negara tetangga, sekaligus memperkuat kemitraan strategis dengan Amerika Serikat sebagai penyeimbang pengaruh regional. Pendekatan ini bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan dan stabilitas kawasan tanpa harus memihak secara eksklusif, sehingga Indonesia tetap dapat berperan sebagai penengah dalam menjaga perdamaian kawasan.