Representasi Etnisitas dalam Film Di Balik 98

Fadlan Fachri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahamd Dahlan
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 12:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadlan Fachri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
dibintangi oleh Chelsea Islan dan Boy William
Suatu keadaan yang digambarkan melalui media sehingga dapat memberikan penjelasan kepada pembaca karya setelah melalui penggabungan pikiran, bahasa, dan visual disebut sebagai konsep representasi (Ernawati & Sari, 2020). Penggunaan media merupakan suatu usaha mengkonstruksi realita dan sebagai jalan tengah pengarahan pandangan pada suatu kelompok yang terlebih telah menganut konseptual ideologi tertentu (Wahyuningsih, 2019). Dengan adanya konsep representasi memungkinkan sang pembaca karya dapat memberikan makna secara deskriptif dari pemaparan visual yang ditampilkan.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan dari suatu karya, dewasa ini sudah sangat umum dilakukan melalui media film. Pesan verbal dan non-verbal baik secara implisit dan eksplisit dapat secara bersamaan dihasilkan pada film berdasarkan visualisasi dan bunyi yang dipaparkan. Metode analisis dari representasi pada media film yang relevan adalah analisis semiotik, yaitu pendeskripsian dan pendekatan komunikasi menggunakan tanda atau gejala dari fungsi sistem tanda tersebut (Wahyuningsih, 2019).
Pada film “Di Balik 98” yang ditayangkan tahun 2015 dan disutradarai oleh Lukman Sardi secara garis besar merepresentasikan perjuangan orang-orang yang ingin kembali ke keluarganya setelah terdampak/ikut memperjuangkan kerusuhan 1998 karena krisis moneter. Film yang diberlatarbelakangi dari kejadian nyata ini juga tidak luput dari penggambaran etnisitas pada saat kerusuhan masa orde baru. Etnisitas merupakan identitas nilai budaya, norma, serta perilaku suatu kelompok yang membedakan dengan kelompok lain. Benang merah perbedaan ras dengan etnisitas adalah bahwa etnisitas lebih menonjolkan proses bersikap dan kebudayaan kelompok dari satu generasi ke generasi di bawahnya (Liliweri, 2018).
ADVERTISEMENT
Etnisitas yang terepresentasikan di film Di Balik 98 adalah etnis Jawa dan Tionghoa. Pada etnis Jawa, hal yang menonjol adalah penggunaan Bahasa Jawa sepanjang film pada tokoh seorang bapak yang bekerja sebagai pemulung bersama anaknya yang tuna rungu dan pelanggan cukur rambut di pinggir rel kereta api. Latar tempat pengambilan film ini adalah di daerah Ibukota yaitu Jakarta yang umumnya komunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan masyarakat dari suatu etnis untuk tetap mempertahankan identitasnya sangatlah tinggi meskipun mereka tidak lagi tinggal di daerah asalnya. Representasi ini didukung oleh penelitian Iriani (2018), bahwasannya masyarakat transmigran Jawa yang tinggal di daerah Luwu Timur, Sulawesi Selatan masih berusaha melestarikan identisas kejawaannya terutama bahasa. Namun tetap relevan dengan pribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, artinya masyarakat transmigran tersebut juga tetap berusaha membaur secara diri ataupun kebudayaan dengan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, representasi etnis Tionghoa pada film Di Balik 98 lebih banyak diambil dari latar belakang sejarah Indonesia yaitu konflik antara pribumi dengan non-pribumi sehingga menimbulkan sikap rasisme kepada etnis Tionghoa. Digambarkan bahwa terjadi penjarahan, perusakan toko, dan vandalisme bertuliskan “non pribumi” pada aset properti etnis Tionghoa. Dalam film, tokoh utama Diana dan Daniel yang merupakan keturunan Tionghoa dan masih berstatus mahasiswa ikut turun dalam aksi demo pada kerusuhan 98. Selepas kembalinya dari aksi demo, keluarga Daniel yaitu ayah dan adiknya sudah tidak ada di rumah dan tempat tinggal mereka telah habis dijarah. Bahkan sebelumnya, Daniel hampir terjebak dalam razia orang-orang non pribumi.
Kejadian buruk yang menimpa keluarga Daniel yang beretnis Tionghoa serta masyarakat Tionghoa lain pada saat itu dapat dikatakan sebagai sasaran empuk warga pribumi atas krisis moneter dan prasangka akan berkuasanya warga non-pribumi di Indonesia melalui niaga. Apabila diulas dari penelitian Titulanita dkk (2015), prasangka warga pribumi terhadap etnis Tionghoa tersebut karena naiknya dolar yang drastis menyebabkan para pedagang (mayoritas etnis Tionghoa) panik dan memborong kebutuhan pokok untuk ditimbun dan dijual kembali saat harga melambung tinggi. Prasangka tersebut berubah menjadi kebencian didukung dengan banyaknya PHK dan masalah politik setelah tertembaknya mahasiswa Trisakti saat melakukan aksi demo. Saat keadaan sudah sangat tak terkendali, muncul kerusuhan dan penjarahan pada warga etnis Tionghoa dan kejadian paling nyata adalah kerusuhan di Pasar Glodok dimana pusat perdagangan etnis Tionghoa berlangsung.
ADVERTISEMENT
Suatu kelompok etnis pada dasarnya cenderung untuk berusaha mempertahankan warisan budaya dan perilaku yang diturunkan dari satu generasi ke generasi agar tidak musnah. Namun sikap tersebut dapat menjadi berlebihan dan menimbulkan masalah jika tidak ada interaksi yang baik dari etnis mayoritas dengan etnis minoritas pada suatu daerah. Sehingga dapat menimbulkan prasangka buruk dan kebencian tak berdasar untuk waktu di masa depan.
Fadlan Fachri Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan