Memahami Perbedaan Petty Corruption dan Grand Corruption beserta Implementasinya

 Muhammad Fachri Nurfaizi
Mahasiswa Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
31 Desember 2023 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachri Nurfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Stop Korupsi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stop Korupsi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
ADVERTISEMENT
Korupsi memiliki berbagai bentuk dan jenis, yang dilakukan dari mulai tataran rendah hingga para penyelenggara negara dan anggota legislatif. Jika dibagi berdasarkan skala dampak dan paparannya, maka korupsi yang umum dikenal ada dua jenis, yaitu petty corruption, grand corruption. Untuk mengetahui perbedaan petty coruption dan grand corruption, simak penjelasannya berikut ini.
Ilustrasi Uang Kertas dan Logam. Foto: pixabay
1. Petty Corruption
Sesuai dengan namanya, petty corruption merupakan korupsi skala kecil oleh pejabat publik yang berinteraksi dengan masyarakat. Jenis korupsinya seperti pungutan liar, gratifikasi, penyuapan, uang pelicin, atau pemerasan untuk memuluskan pelayanan publik atau birokrasi. Padahal, pelayanan tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk masyarakat. corruption dalam keseharian misalnya memberikan uang untuk mengurus surat-surat kependudukan atau uang damai kepada polisi ketika ditilang. Korupsi kecil-kecilan ini kadang terjadi terang-terangan, namun dianggap biasa dan penuh pemakluman dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Wuryono Prakoso, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, mengatakan sekecil apapun, korupsi tetaplah korupsi. Petty corruption, kata dia, tidak bisa dianggap sepele karena dapat membentuk kebiasaan buruk dalam birokrasi dan telah merenggut hak-hak rakyat. Jika dibiarkan, para pelaku korupsi kecil ini dapat berbuat lebih jauh dengan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.
"Pelaku petty corruption merasa nyaman melakukannya karena nilai korupsinya dianggap kecil dan tidak terdeteksi oleh pusat. Tapi walau kecil, telah merugikan masyarakat secara langsung," kata Wuryono.
Masyarakat permisif dengan jenis korupsi ini, karena sudah dianggap biasa. Padahal menurut Wuryono, masyarakat telah dicuri hak-haknya dengan memberikan uang pelicin atau suap tersebut.
"Masyarakat seharusnya menyadari bahwa hak-hak mereka telah dipotong dan dicuri. Seharusnya hak-hak dasar, seperti pengurusan kartu identitas, itu gratis. Cara melawannya adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa korupsi itu berbahaya dan menghancurkan," kata Wuryono.
ADVERTISEMENT
2. Grand Corruption
Grand corruption atau biasa disebut korupsi kelas kakap merupakan korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.
KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption. Pertama, melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi, kedua, melibatkan aparat penegak hukum, ketiga, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan keempat, kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.
Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan untuk melakukan state capture. State capture adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri.
Salah satu contoh grand corruption adalah korupsi proyek e-KTP yang dilakukan sejak 2011, membuat negara merugi hingga Rp2,3 triliun. Korupsi ini melibatkan tujuh orang yang kesemuanya telah divonis antara 6-15 tahun penjara. Salah satu tokoh prominen dalam kasus ini adalah Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis penjara 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut lembaga Transparency International, grand corruption tidak hanya merugikan orang banyak dan dilakukan oleh pejabat publik, tapi juga melanggar hak asasi manusia. Pernyataan ini diamini oleh Wuryono.
"Benar, korupsi bisa melanggar HAM. Korupsi e-KTP, misalnya, telah melanggar hak-hak asasi masyarakat untuk memiliki kartu identitas. Sementara kasus korupsi bantuan sosial (bansos) telah melanggar hak asasi masyarakat untuk dapat hidup di saat krisis. Belum lagi pelanggaran hak asasi pada tersedianya pendidikan yang layak, atau sarana kesehatan yang baik," ujar Wuryono.
Dapat disimpulkan bahwa petty corruption merupakan korupsi kecil-kecilan yang banyak terjadi di tengah masyarakat dan dianggap biasa, sedangkan grand corruption merupakan korupsi skala besar dengan kerugian negara yang masif dan merugikan masyarakat luas. Perbedaan petty corruption dan grand corruption dapat dilihat dari skala besar atau kecilnya dalam merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT