Polemik Masa Jabatan Aktif Pimpinan KPK

 Muhammad Fachri Nurfaizi
Mahasiswa Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Desember 2023 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachri Nurfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia sudah berdiri selama 20 (dua puluh) tahun lamanya. Sebagai sebuah lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, MK menyandang julukan pengawal konstitusi atau the guardian of the constitution. Kewenangan MK tersebut tercantum didalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2011 jo. UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Atas dasar hal tersebut, maka MK berkewajiban untuk memastikan tidak ada satu pun undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar tertinggi dalam tata hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini telah terjadi proses saling mengawasi dan mengimbangi check and balances antara legislatif selaku pembentuk undang-undang dan yudikatif selaku penguji konstitusionalitas sebuah undang-undang.
ADVERTISEMENT
Perkara bermula ketika salah seorang wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan constitutional review kepada MK. Permohonan tersebut diajukan pada tanggal 10 November 2022 dan diterima oleh Kepaniteraan MK pada tanggal 12 Desember 2022 setelah sebelumnya mengalami perbaikan permohonan. Undang-undang yang diujikan ialah UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), tepatnya pada Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 yang dianggap oleh Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. selaku pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon merasa bahwa keberadaan kedua pasal yang diujikan tersebut telah melanggar hak-hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh konstitusi.
ADVERTISEMENT
Pemohon mendalilkan tidak terdapat sinkronisasi antara Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK. Pasal 34 UU KPK berbunyi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pemohon mengartikan pasal 34 ini memberi hak kepada pemohon sebagai pimpinan KPK incumbent untuk dapat mengajukan diri dan dipilih kembali sebagai pimpinan KPK pada periode selanjutnya. Permasalahan muncul ketika revisi UU KPK Tahun 2019 merubah ketentuan Pasal 29 huruf e yang mengatur tentang persyaratan untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK, dari segi usia mengalami perubahan dari yang semula mensyaratkan harus telah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun menjadi 50 (lima puluh) tahun. Kriteria usia ini lah yang tidak terpenuhi pada diri pemohon agar dapat mengajukan diri kembali sebagai pimpinan KPK. Untuk diketahui, pada saat nanti masa jabatan pemohon selaku pimpinan KPK periode 2019-2023 berakhir yaitu tepatnya pada tanggal 20 Desember 2023, usia pemohon baru menginjak 49 (empat puluh sembilan) tahun. Tentu saja hal tersebut menjadi penghalang. Pemohon merasa ketika dirinya yang saat ini sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, maka secara faktual maupun menurut hukum harus dipandang cakap dan layak kedewasaannya untuk menjabat sebagai pimpinan KPK. Akan tetapi dengan adanya perubahan Pasal 29 huruf e UU KPK, seakan-akan mengisyaratkan bahwa pemohon yang sudah pernah menjabat sebagai pimpinan KPK ternyata dalam periode selanjutnya dinyatakan tidak memenuhi syarat. Disini lah letak ketidaksinkronan antara Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.
ADVERTISEMENT
Namun perlu diketahui bersama, Pasal 34 UU KPK merupakan pasal yang tidak mengalami perubahan pada masa revisi UU KPK Tahun 2019. Artinya pasal 34 tersebut merupakan produk UU KPK pertama (UU No. 30 Tahun 2002) yang tetap dinyatakan konstitusional sebelum dikeluarkannya putusan MK dalam perkara yang menyangkut permohonan pemohon ini (Putusan MK Nomor: 112/PUU-XX/2022).
Pertanyaan kritisnya adalah apakah tepat pemohon membandingkan kedua pasal yang lahir pada rezim hukum yang berbeda dan kemudian dikaitkan dengan kepentingan individu pemohon dalam hal mencalonkan diri kembali sebagai pimpinan KPK, sehingga berakhir pada kesimpulan tidak terdapat sinkronisasi antara Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK ? Akan lebih baik jika kita mengacu pada metode penafsiran sistematis, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat lebih objektif tanpa terpaku pada kepentingan individu pemohon. Bagaimana jika dalam membandingkan kedua pasal tersebut, kita terlebih dahulu melihat keberadaan Pasal 29 huruf e, baru lah kita melihat Pasal 34 UU KPK ? Bukankah akan menjadi lebih runtut dan didapati maksud yang terkandung dalam undang-undang secara utuh dan menyeluruh. Dengan cara demikian, dan tentu berdasarkan pada hasil pencermatan secara seksama yang objektif, maka kedua pasal tersebut tidak lah bermasalah dan tetap sinkron karena memang dimaksudkan untuk diterapkan secara maju ke depan (tidak secara surut) berdasarkan pada asas hukum umum yang berlaku universal, yaitu hukum tidak boleh diberlakukan secara surut atau yang dikenal sebagai prinsip non retro active.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, penulis menilai tidak terdapat fokus dan konsistensi dalam permohonan constitutional review yang diajukan oleh pemohon. Hal ini menyebabkan kerancuan bagi masyarakat dalam melihat tujuan yang sebenarnya ada didalam proses permohonan tersebut. Ketidakfokusan yang penulis maksud ialah apakah pemohon dalam kapasitasnya sebagai pimpinan KPK incumbent berfokus pada “dapat mencalonkan diri dan dipilih kembali sebagai pimpinan KPK” atau juga menginginkan “masa jabatan KPK diperpanjang menjadi 5 (lima) tahun”. Ketika pemohon merasa hak konstitusionalnya dalam hal mencalonkan diri dan dipilih kembali sebagai pimpinan KPK telah dilanggar sebagaimana didalilkan dalam permohonan pemohon, maka tidakkah cukup jika permintaan atau petitum yang dimohonkan pemohon kepada MK ialah hanya pada menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan. Penulis tidak melihat relevansi kerugian konstitusional yang dialami pemohon kaitannya dengan penambahan 1 (satu) tahun masa jabatan aktif pimpinan KPK sekarang.
ADVERTISEMENT
Memang sudah dijelaskan dalam permohonan pemohon tepatnya pada bagian kerugian konstitusional 3 (tiga), bahwa pemohon juga mendalilkan telah terjadi pembedaan antara KPK dan lembaga-lembaga negara independen lainnya. Setidaknya terdapat 12 (dua belas) lembaga negara non kementerian yang dijadikan sample oleh pemohon untuk dibandingkan dengan KPK mengenai masa jabatan pimpinannya. Dari kesemua lembaga negara non kementerian tersebut, masa jabatan pimpinan untuk satu kali periode adalah selama 5 (lima) tahun, sedangkan KPK menurut Pasal 34 UU KPK hanya selama 4 (empat) tahun. Pembedaan ini yang didalilkan pemohon sebagai bentuk perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi rasanya sangat terburu-buru jika kita menyimpulkan hal tersebut merupakan bentuk perlakuan yang tidak adil. Bukankah adil itu tidak selalu berarti sama rata jumlah dan porsi, bukankah kita juga mengenal konsep keadilan proporsional yang membagi jumlah dan porsi berdasarkan pada penyesuaian kapasitas objek yang bersangkutan. Hal lain yang lebih krusial dalam pembahasan mengenai penambahan masa jabatan pimpinan KPK ini ialah bahwa pemohon mengajukan permohonan constitutional review dalam kualifikasinya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, bukan sebagai lembaga negara. Apakah dalil-dalil yang diajukan pemohon dalam permohonan tersebut lantas dianggap sebagai perwakilan suara dari lembaga negara yang bersangkutan (dalam hal ini KPK) ? Jika memang KPK menganggap penting penambahan 1 (satu) tahun masa jabatan pimpinan KPK, mengapa KPK secara kelembagaan tidak turut mengajukan permohonan constitutional review ? Hal-hal tersebut yang menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat tentang hal urgensi apakah yang melatarbelakangi ide penambahan 1 (satu) tahun masa jabatan pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang penulis soroti dalam perkara ini yaitu ketika hakim MK didalam pertimbangan putusannya, tepatnya pada halaman 117 salinan Putusan MK Nomor: 112/PUU-XX/2022 menyatakan Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. Pertimbangan tersebut memperlihatkan bahwa hakim MK sedikit banyaknya terpengaruh dengan kondisi konkret pemohon dan terbawa kedalam tataran implementatif. Sudah selayaknya MK lebih fokus dalam menggali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Mengingat putusan yang dikeluarkan oleh MK bersifat erga omnes, dengan kata lain putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi pemohon, akan tetapi berlaku juga bagi seluruh Warga Negara Indonesia. MK tidak dituntut untuk menyelesaikan kasus konkret pemohon seperti halnya dalam perkara perdata yang bersifat inter parties, melainkan MK dituntut untuk dapat lebih melihat kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan dalam cakupan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat. Untuk diketahui, dalam perkara ini MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Sehingga Pasal 29 huruf e UU KPK harus dimaknai Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan. Kemudian Pasal 34 UU KPK mengalami perubahan makna menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Kendati demikian, kita tetap berpegang pada asas res judicata pro veritate habetur (putusan pengadilan dianggap benar). Terlebih putusan MK ini bersifat final and binding, maka kebijaksanaan dalam menyikapi putusan tersebut yang akan menentukan ketertiban hukum dalam tataran pengaplikasian putusan.
ADVERTISEMENT
Penulis berpendapat, dalam perkara ini Presiden memegang peranan yang sentral dalam menyikapi putusan MK Nomor: 112/PUU-XX/2022 yang telah lahir dan harus dihormati tersebut. Presiden dihadapkan pada pilihan, apakah akan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang perpanjangan 1 (satu) tahun masa jabatan pimpinan KPK sekarang ataukah tidak. Penulis berpendapat jika Presiden tidak menerbitkan Keppres tersebut bukan berarti Presiden tidak patuh dan tunduk pada isi putusan MK. Jika kita cermati, pada amar putusan MK tersebut tidak terdapat keharusan dalam bentuk perintah yang memaksa Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres).
Dapat disimpulkan bahwa dalam rangka menghindari kekacauan dan ketidakpastian hukum, baiknya Presiden dapat lebih berhati-hati dalam menyikapi putusan MK tersebut dan kembali melihat ketentuan Pasal 58 UU MK mengenai sifat prospektif putusan MK.
ADVERTISEMENT