Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Polemik Sengketa Pilkada
31 Desember 2023 12:30 WIB
Tulisan dari Muhammad Fachri Nurfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kini bersifat permanen. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis (29/9/2022). Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
“Menyatakan dalam Provisi, mengabulkan permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irma Lidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem.
Bersifat Permanen
ADVERTISEMENT
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada. Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada mengatur tentang lembaga yang untuk sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk.
Enny menambahkan inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) Pilkada, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
ADVERTISEMENT
“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ucap Enny.
Tafsir Pemilihan dalam UUD 1945
Kemudian Enny mengatakan, tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
“Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan MK, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh MK terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota,” terang Enny.