Konten dari Pengguna

Polemik UU Cipta Kerja

 Muhammad Fachri Nurfaizi
Mahasiswa Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
31 Desember 2023 17:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachri Nurfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
ADVERTISEMENT
Perppu Cipta Kerja ditetapkan untuk menindaklanjuti putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sebagai tindak lanjut putusan MK a quo, penjelasan perppu a quo menguraikan sebagai berikut, yaitu membentuk Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang telah mengatur dan memuat metode omnibus law dalam penyusunan UU dan memperjelas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Demikian keterangan yang disampaikan Aidul Fitriciada Azhari dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Presiden/Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kesembilan untuk perkara pengujian formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini digelar pada Senin (14/8/2023).
Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan, yaitu yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang kesembilan ini yakni mendengarkan keterangan Ahli dan saksi Pemerintah.
Menurut Aidul, dengan UU 13/2022 tersebut maka UU dengan metode omnibus law telah memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar dalam penyusunan perundang-undangan. “Meningkatkan partisipasi yang bermakna melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, satgas UU Cipta Kerja yang melakukan sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap UU Nomor 11/2020,” terang Aidul di hadapan Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, Selasa (21/3/2023). Payung hukum dunia usaha itu dinanti-nanti para pebisnis setelah sempat kandas karena digugat di MK. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
Selanjutnya, sambung Aidul, perbaikan terhadap kesalahan teknis penulisan atas undang-undang 11/2020 antara lain huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik dan atau judul, nomor urut dan bab bagian paragrap, pasal dan ayat atau butir yang sesuai dengan substansial juga telah dilakukan. “Semua perbaikan atas UU 11/2020 tentang Cipta Kerja tersebut dilakukan dalam menindaklanjuti putusan MK yang mengharuskan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan tata cara sesuai dengan metode omnibus law dan keterpenuhan asas-asas pembentukan UU. Namun atas dasar penilaian Pemerintah terhadap situasi ekonomi global yang muncul setelah putusan MK Nomor 91/2020, Pemerintah mengambil putusan untuk menuangkan semua perbaikan yang disyaratkan oleh MK tersebut dalam bentuk penetapan Perppu Cipta Kerja,” tegas Aidul yang juga merupakan Guruh Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
ADVERTISEMENT
Menurut Aidul, penetapan Perppu Cipta Kerja tidak bertentangan dengan putusan MK Nomor 91/2020 dengan beberapa pertimbangan. Secara konstitusional kewenangan Presiden dalam perppu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 tidak pernah dicabut atau diubah sehingga Presiden tetap memiliki hak konstitusional untuk menetapkan perppu.
“Putusan MK tidak melarang secara tegas perbaikan UU Cipta Kerja untuk dituangkan dalam penetapan perppu yang merupakan kewenangan Presiden yang diatribusikan oleh UUD 1945. Pertimbangan presiden atas kegentingan memaksa tidak masuk ke dalam pertimbangan putusan Nomor 91/2020 karena perubahan perekonomian global terjadi setelah putusan MK dibacakan. Putusan MK ditindaklanjuti oleh pembentuk UU harus pula dihadapkan pada perubahan situasi perekonomian global yang dalam penilaian Presiden merupakan kegentingan yang memaksa yang harus ditindaklanjuti dengan tidak prosedur biasa melainkan dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja,” tegas Aidul.
ADVERTISEMENT
Aidul juga menerangkan, penetapan perppu itu pun tetap memuat perintah putusan MK yakni dengan melakukan beberapa perbaikan yang diperintahkan MK sekalipun disesuaikan dengan prosedur pembentukan perppu yang berbeda dengan pembentukan undang-undang biasa.
Ilustrasi Pasar Global. Muhammad Fachri Nurfaizi
Pasar Global
Pada persidangan kali ini, Pemerintah juga menghadirkan Mohamad Iksan sebagai ahli. Iksan menyebut pembuatan UU Cipta Kerja dengan cara omnibus law ini merupakan terobosan penting untuk mengatasi kompleksitas dari sejumlah undang-undang baik yang baru maupun yang lama dari suatu benang merah yang utuh dari suatu reformasi yang struktural.
Menurutnya, UU Cipta Kerja itu dapat memberikan game changer untuk membalikkan tren di industrisasi di Indonesia yang gejalanya terjadi sejak awal tahun 2000an. Kalau kita lihat sebelum tahun 2000 posisi Indonesia di pasar global di beberapa produk tertentu itu cukup dominan. Tetapi setelah UU Nomor 13 tahun 2022 diberlakukan, iklim investasi kita menjadi tidak kondusif dan peran kita di pasar global secara perlahan-lahan diambil alih oleh negara lain.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Penyediaan Lapangan Pekerjaan. Muhammad Fachri Nurfaizi
Penyediaan Lapangan Kerja
Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengarkan keterangan saksi Pemerintah yakni Tadjudin Noer dan Nurhayati. Tadjudin Noer mengatakan bahwa ia hadir dalam focus group discussion (FGD) sebanyak enam kali dan terlibat di dalam penyampaian materi yang berkaitan dengan pembangunan demografi, transformasi teknologi, dan lain sebagainya.
Menurut Tadjudin, UU Cipta Kerja adalah UU yang akan dapat membantu dalam penyediaan lapangan kerja yang selama ini belum dapat berkembang dengan baik termasuk pasar kerja belum berkembang.
Sebagai tambahan informasi, sidang ini digelar untuk empat perkara sekaligus. Pertama, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023. Kedua, Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023. Ketiga, Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023. Keempat, Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023.
Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk.
ADVERTISEMENT
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Selanjutnya, Permohonan Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Menurut KSBSI, pokok-pokok permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 berdasarkan delapan alasan. Di antaranya, persetujuan DPR atas Perppu 2/2022 menjadi undang-undang cacat formil atau cacat konstitusi; Sidang DPR mengambil keputusan atas persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang tidak memenuhi kuota forum (kuorum); bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020; tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan memaksa; tidak jelas pihak yang memprakarsai Perppu 2/2022; tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; tidak memenuhi asas kejelasan rumusan; dan tidak memenuhi asas keterbukaan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Permohonan Nomor 46/PUU-XXI/2023 diajukan oleh oleh 14 badan hukum yakni Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit/Perkumpulan Sawit Watch, Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS), Indonesia For Global Justice (Indonesia untuk Keadilan Global), Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), FIAN Indonesia, Perkumpulan Lembaga Kajian dan Pendidikan Hak Ekonomi Social Budaya, dan Konfederasi Kongres Serikat Buruh Indonesia.
Ilustrasi demo UU Cipta Kerja Partai Buruh. Foto: Muhammad Fachri Nurfaizi
Para Pemohon mendalilkan Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 saat DPR dalam masa reses masa persidangan untuk tahun sidang 2022/2023 yang dilaksanakan mulai 16 Desember 2022 hingga 9 Januari 2023. Lalu, DPR kembali menggelar masa persidangan yang dimulai sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023.
ADVERTISEMENT
Menurut para Pemohon, seharusnya, Perppu Cipta Kerja tersebut selambat-lambatnya harus disahkan dalam rapat paripurna pada 16 Februari 2023. Namun faktanya, Perppu tersebut baru mendapat persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 dalam masa sidang 14 Maret sampai 13 April 2023. Hal ini membuktikan Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang pertama yaitu selambat-lambatnya 16 Februari 2023.
Sedangkan permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Buruh mendalilkan penetapan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Menurut Partai Buruh, tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
ADVERTISEMENT