Dosa di Tengah Pandemi

Fadhel Yafie
Pemikir bebas, penulis lepas
Konten dari Pengguna
24 September 2020 12:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Yafie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi neraka versi Dante dalam karya epiknya, Inferno.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi neraka versi Dante dalam karya epiknya, Inferno.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ngomong-ngomong soal pandemi, ada satu dosa mematikan yang tidak termasuk dalam tujuh dosa mematikan tersebut, yaitu dosa tak tahu berterima kasih. Mengutip penyair besar dari Abad Pertengahan Akhir, Dante Alighieri, dosa ini akan membawa orang-orang ke dalam tingkat kesembilan neraka.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pandemi Covid-19, dosa tak tahu berterima kasih ini menyebabkan banyak orang sengsara merintih kesakitan hingga meregang nyawa dicekik oleh virus corona baru ini. Kita semua melakukan dosa ini dengan kadar masing-masing.
Pada siapa kita harus berterima kasih? Pada sains dan para pekerja di dalamnya, berkat metode dan cara kerjanya, saat ini kita bisa menikmati hidup yang lebih bebas dari penyakit. Untuk sebagian besar sejarah manusia, kekuatan maut terkuat adalah penyakit menular. Epidemi telah membunuh jutaan orang, memusnahkan peradaban dan mendatangkan kesengsaraan mendadak pada penduduk lokal.
Pernahkah kita berterima kasih pada Karl Landsteiner? Mungkin mendengar namanya saja belum pernah. Toh, dia hanya menyelamatkan satu miliar nyawa dengan penemuannya tentang golongan darah. Kenal dengan John Enders? Tentunya tidak, dia hanyalah seorang pria aneh yang bekerja di laboratorium dan menemukan vaksin campak yang diperkirakan menyelamatkan 120 juta nyawa.
ADVERTISEMENT
Penemuan antibiotik, antitoksin, vaksin dan kemajuan medis lainnya yang tak terhitung jumlahnya semakin memukul mundur serangan wabah penyakit. Coba cari di Wikipedia tentang penyakit smallpox (variola atau cacar) yang membunuh lebih dari 300 juta nyawa manusia. Kalimat pertamanya adalah:
Smallpox was an infectious disease caused by one of two virus variants, Variola major and Variola minor.
Ya. “smallpox was”. Itu adalah bentuk past tense dalam bahasa Inggris. Penyakit yang mendapatkan namanya dari pustula atau bintil menyakitkan yang menyelubungi kulit, mulut dan mata korbannya sudah tidak ada lagi. Kasus terakhir didiagnosa di Somalia pada tahun 1977.
Oke, yang terakhir dari sekian banyak penemu, tahu penyakit polio? Penyakit yang membuat kurang lebih 350 ribu orang cacat seumur hidup per tahun sebelum ditemukannya vaksin. Apa kita pernah dengar nama Jonas Salk? Ah, seharusnya saya tidak perlu bertanya lagi.
ADVERTISEMENT
Dia adalah penemu vaksin polio yang menolak temuannya untuk dipatenkan. Padahal, kalau dipatenkan, kira-kira nilainya mencapai 7 miliar US dolar pada tahun 1955! Bisa langsung kaya mendadak dia. Saat ia ditanya siapa yang memegang paten vaksin ini, Salk menjawab: “Semua orang. Tidak ada paten untuk barang yang bisa menyelematkan manusia. Sama seperti matahari, bisakah matahari dipatenkan?”
Menurut sejarah penemuan yang ditulis Richard Carter, pada hari vaksin polio ditemukan, tepatnya saat diumumkan pada 12 April 1955, orang-orang menikmati momen-momen keheningan, membunyikan lonceng, membunyikan klakson, meniup peluit pabrik, melepaskan tembakan penghormatan, meliburkan sekolah dan kantor, minum-minum bersama, memeluk anak-anak, tersenyum pada orang asing dan memaafkan musuh. Kota New York memberikan penghormatan pada Jonas Salk yang telah menemukan amunisi untuk mengalahkan polio.
ADVERTISEMENT
Hari ini, di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang telah menginfeksi lebih dari 32 juta manusia dan membunuh hampir satu juta di antaranya (sampai tulisan ini dibuat), pemerintah dan masyarakat malah acuh dan cuek oleh imbauan sains dan para pekerjanya.
Padahal, yang diminta dari masyarakat hanya 3 M: Menjaga jarak, Memakai masker dan Mencuci tangan. Tetapi entah kenapa masyarakat sulit sekali menerapkannya. Malah banyak yang tidak percaya dengan keberadaan penyakit ini. Pemerintah juga tampaknya lebih mendengarkan para pembisiknya di istana daripada mendengarkan pendapat para pakar kesehatan.
Kemajuan yang sudah dihasilkan oleh kerja kolektif pekerja sains selama ratusan tahun sekonyong-konyong dibalik oleh ide-ide buruk seperti teori konspirasi bahwa virus ini dibuat oleh segelintir orang untuk mengejar keuntungan. Kalau kita mau melihat sedikit ke sejarah, penyakit menular bahkan sudah ada sejak manusia belum menemukan teknologi yang memungkinkan adanya rekayasa makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Seandainya saja kita sedikit berterima kasih pada sains, rasa-rasanya sangat kurang ajar kalau kita tidak mendengarkan nasihatnya. Sudah miliaran nyawa diselamatkan oleh sains, sekarang suara sains berteriak mati-matian untuk kebaikan kita sendiri malah tidak didengar. Ratusan dokter dan tenaga medis lainnya sudah menjadi korban keganasan pandemi Covid-19. Tetapi, kok bisa kita dengan teganya masih keluar rumah tanpa jaga jarak, tanpa masker dan protokol kesehatan lainnya.
Mari lah kita sedikit mengekspresikan rasa berterima kasih kita pada sains. Turuti imbauan-imbauannya, berikan penghargaan bagi penemu-penemu obat yang menyelamatkan banyak nyawa manusia, dan curahkan sedikit simpati bagi para ilmuwan yang saat ini berjibaku berlomba-lomba menemukan obat untuk mengentaskan pandemi ini. Oh iya, jangan lupa juga bersimpati pada para tenaga medis yang berjuang di garis depan menyembuhkan kita dari serangan pandemi.
ADVERTISEMENT
Dunia sedang dalam fase kritis. Tidak hanya di bidang sains dan kesehatan, keterpurukan juga memeluk aspek ekonomi dan membawanya terperosok ke dalam jurang. Banyak sekali usaha gulung tikar, orang-orang di-PHK, angka pengangguran dan kemiskinan naik dan lain sebagainya. Oleh karena itu, rasa berterima kasih pada sains harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau memang tidak penting-penting amat, mbok jangan keluar rumah dulu. Kalau memang terpaksa dan sangat urgent, jangan lupa menjaga jarak, menghindari kerumunan, memakai masker dan rajin cuci tangan. Jangan sampai kita melakukan dosa tak tahu berterima kasih dan menyebabkan orang terdekat dan tersayang kita terjangkit virus ini, amit-amit.
Data-data dalam tulisan ini banyak disalin dari buku Enlightenment Now karya Steven Pinker.
ADVERTISEMENT