Potret Moral dalam Film Pengkhianatan G 30 S PKI

Fadhel Yafie
Pemikir bebas, penulis lepas
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2020 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Yafie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Poster film G 30 S PKI pada tahun 1984
Saya baru saja menyaksikan film legendaris Indonesia: “Pengkhianatan G30S/PKI” yang kemarin malam diputar ulang oleh salah satu TV Nasional. Sebagai generasi 90an, memori masa kecil saya gak ingat tentang film yang saban tahun selalu disiarkan dan “katanya” wajib ditonton itu. Maklum, saya masih sangat kecil saat film itu berhenti tayang pada tahun 1998, bersamaan dengan turunnya Presiden Suharto.
ADVERTISEMENT
Gak perlu capek-capek berdebat soal sahih-nggaknya fakta dalam film yang menceritakan tragedi naas tahun 1965 itu. Mau bagaimana pun, sebuah film gak mungkin bisa memotret peristiwa sejarah dengan lengkap. Namanya juga film, pasti ditambah bumbu-bumbu drama yang bertujuan membuat penonton terhibur. Lain cerita kalau dokumenter.
Sebut saja film populer besutan Holywood yang berlatar sejarah seperti “Kingdom of Heaven” dan “The Last Samurai”. Yang pertama, memiliki latar sejarah perang salib antara pasukan Islam dan Kristen yang berebut kota Jerusalem.
Yang kedua, mengambil kisah pemberontakan Satsuma (1877) yang mengisahkan seputar konflik kepentingan antar pembantu-pembantu kaisar dari golongan yang ingin Jepang membuka diri, melawan golongan yang hendak mempertahankan tradisi lama
Apakah kedua film tersebut sesuai dengan fakta sejarah? Nggak juga. Film toh masih produk komersil yang harus mendatangkan keuntungan. Jadi, jangan terlalu ngurusi kebenaran sejarahnya. Nikmati saja.
ADVERTISEMENT
Eits, tapi kan film “Pengkhianatan G30S/PKI” bukan produk komersil. Film ini diproduksi oleh Perum Perusahaan Perusahaan Film Negara pada 1984 pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Film
yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini disponsori oleh pemerintah dengan budget kurang lebih 800 juta rupiah pada saat itu.
Nah, dengan latar belakang seperti itu, kalau boleh saya memberi nasihat, lagi-lagi jangan terlalu ngurusi kebenaran sejarahnya. Malah, kalau memang terlanjur menyaksikan, perlu disaksikan dengan nalar kritis.
Tayangan TV Nasional Harus Mendidik!
Melihat bangsa Indonesia yang memeluk kompas moral dengan erat, aneh sekali kalau film yang penuh kebrutalan seperti film “Pengkhianatan G30S/PKI” ditayangkan lagi lewat frekuensi publik yang berkemungkinan besar ditonton anak-anak.
Lihat saja tayangan televisi kita yang gemar menyensor bagian tubuh perempuan seperti paha dan belahan dada. Bahkan, rokok yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari di real life ¬saja harus disensor. Begitu juga dengan kata-kata umpatan seperti (maaf) anjing, taik dan lain sebagainya. Frekuensi publik itu harus mendidik! Titik.
ADVERTISEMENT
Film ini diawali dengan teks kata-kata yang diketik dengan latar suara mencekam dan suara ketikan dari mesin tik jadul. Adegan yang muncul pertama kali adalah penyerangan orang-orang yang sedang salat berjamaah di masjid. Ada pula scene perobekan kitab suci Al-Qur’an. Aura suram dan mencekam sudah diperlihatkan sejak awal tayangan. Menontonnya jadi sedikit tegang.
Diperlihatkan pula secara singkat bagaimana kondisi masyarakat Indonesia di saat itu. Kemiskinan di mana-mana. Banyak gembel yang tidur di emperan toko, antrean saat ada pembagian makanan dan lain sebagainya. Pokoknya, masyarakat Indonesia itu sangat tertinggal. Yang paling membuat saya heran sekaligus jijik adalah: “Kenapa borok dan koreng di kaki gembel-gembel dalam film itu perlu di zoom-in?” Betul-betul gak estetis dan membuat malas untuk melanjutkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, saya tetap melanjutkan karena penasaran dengan film legendaris dengan budget produksi yang besar ini.
Kemudian secara bergantian ada adegan Presiden Sukarno yang sedang sakit keras dan para pemimpin CC PKI yang berhari-hari melakukan rapat persiapan dalam rangka meluncurkan aksi yang ditetapkan pada 1 Oktober dini hari.
Tepat di tanggal 1 Oktober, aksi brutal dalam film ini terlihat jelas. Mulai dari penjemputan paksa para Jenderal dari rumahnya masing-masing. Ah, saya malas meneruskannya. Intinya pada malam itu banyak sekali adegan yang penuh darah. Dari para jenderal sampai anggota keluarganya yang melawan.
Para jenderal yang diculik kemudian dibawa ke lubang buaya, pusat kegiatan dari kelompok G30S. Di sana sudah menunggu para pemuda-pemudi yang menyambut korban penculikan dengan ceria. Mereka bernyanyi, menarik dan berpesta dengan riang gembira. Lalu, para jenderal yang masih hidup diinterogasi dan disiksa habis-habisan. Disundut rokok, dipukuli, disilet dan siksaan-siksaan keji lainnya.
ADVERTISEMENT
Aksi brutal itu ditayangkan dengan sangat nyata. Bahkan, jenazah jenderal yang sudah mati pun gak lepas dari sasaran penyiksaan. Matanya dicungkil, alat kelaminnya diamputasi sampai kemudian dibuang ke dalam lubang bagai sampah.
Saya betul-betul heran, bagaimana mungkin film dengan adegan penuh kekerasan semacam ini bisa menjadi tontonan wajib di era order baru? Kalau ditayangkan di TV Lokal sih saya masih bisa paham logikanya: komersil. Selama masih ada yang menyaksikan, besar kemungkinannya mendatangkan keuntungan.
Saya masih ingat betul sensor gila-gilaan pada acara Miss Universe yang menampilkan tubuh indah perempuan cantik dari seluruh penjuru dunia. Bagaimana mungkin bangsa yang beradab dan penuh keluhuran seperti Indonesia membiarkan film seperti ini bisa disaksikan secara luas?
ADVERTISEMENT
Apakah bangsa kita lebih menyukai aksi kekerasan yang brutal daripada keindahan secara estetis?