Solusi Krisis di Tengah Pandemi Corona: Uang untuk Semua Orang

Fadhel Yafie
Pemikir bebas, penulis lepas
Konten dari Pengguna
27 April 2020 20:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Yafie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 memukul telak perekonomian. Kemiskinan dan angka pengangguran diprediksi akan melonjak tajam akibat krisis ini. Dalam kondisi krisis, kita tidak bisa berpikir seperti biasa. Butuh langkah cepat dan tepat. Malah kalau perlu, out of the box.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan adalah masalah utama yang harus diselesaikan. Sebab, bisa dibilang kemiskinan adalah akar dari segala masalah. Karena miskin, tidak dapat cukup nutrisi sehingga jadi kurang gizi. Kalau kurang gizi jadi rentan sakit. Karena miskin, tidak mampu menyekolahkan anaknya, jadinya bodoh. Karena miskin dan bodoh dan sakit-sakitan jadi tidak bisa kerja. Tidak punya uang. Ujung-ujungnya jadi kriminal.
Kemiskinan adalah lingkaran setan yang hanya sedikit orang saja mampu keluar dari lingkaran setan itu. Kalau masalah ini dibiarkan, ya berputar-putar saja terus masalahnya.
Wacana UBI semakin mengemuka dalam kondisi krisis seperti saat ini. Konsep UBI dianggap bisa menjadi solusi yang baik untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang hancur digebuk COVID-19.
Apa sih UBI itu?
ADVERTISEMENT
UBI atau Universal Basic Income merupakan konsep bantuan kesejahteraan yang sederhana, yaitu negara memberikan UANG TUNAI pada seluruh warga negara tanpa syarat dan ketentuan apapun, asal punya KTP. Kaya, miskin, pengusaha, pekerja, pengangguran atau apapun itu, semua dapat. Tanpa perbedaan nominal.
Semua warga negara akan mendapatkan gaji dari negara. Uang cuma-cuma ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Berbeda dari program kesejahteraan lainnya yang menyasar kaum miskin. UBI, sesuai namanya: universal menyasar semua orang. Tanpa terkecuali.
Penerapan UBI ini menjadi penting kalau melihat prospek pasar kerja di masa depan. Otomasi, artificial intelligence, machine learning, dan berbagai teknologi lain akan mendisrupsi dunia kerja besar-besaran. Contoh kecil: mobil tanpa sopir. Ketika teknologi ini sudah diproduksi massal, sopir truk, taksi dan lain sebagainya nyaris pasti tergantikan. Termasuk mungkin, ojek online.
ADVERTISEMENT
Bayangkan seandainya sudah ada mobil tanpa sopir, perusahaan ekspedisi pasti mengganti armada manusianya. Dalam kondisi pandemi seperti ini, perusahaan itu bisa berjalan seperti biasa tanpa terdampak virus.
Banyak sekali contoh pekerjaan yang akan tergantikan teknologi. Kalau dulu revolusi industri menghasilkan kelas buruh, revolusi teknologi diprediksi menghasilkan kelas tidak berguna. Ya, benar-benar tidak berguna dalam konteks pekerjaan. Karena mereka tidak sanggup bersaing dengan robot.
Mari kita menyebut kelas tidak berguna ini sebagai kaum rebahan, agar tidak terlalu kasar seperti istilah Yuval Harari. Agar kaum rebahan ini punya kegunaan, lebih baik mereka dikasih uang untuk belanja. Agar produksi jalan dan kompetisi bisnis terus ada. Apa gunanya teknologi super canggih kalau tidak ada yang jadi konsumen? Bagaimana pun, roda ekonomi mesti berputar. Prediksi para ahli, UBI mungkin diterapkan saat masa itu datang.
ADVERTISEMENT
Ternyata, pandemi ini mendorong perubahan lebih cepat. Anjloknya ekonomi dikhawatirkan menyebabkan banyak orang tidak bisa survive dan bangkit menghadapi masalah ini. Beberapa ekonom, termasuk mantan menteri Keuangan, Chatib Basri mewacanakan UBI sebagai solusi dalam diskusinya di Asumsi Bersuara.
Menurut pendiri Basic Income Lab, Sonny Mumbunan, di Universitas Indonesia, dalam pandemi ini negara bisa melakukan percobaan di DKI Jakarta dengan memberikan uang tunai langsung sebesar Rp 4 juta untuk warga yang berusia 20 sampai 40 tahun.
Pertanyaan yang paling sering muncul adalah: Apakah mungkin memberikan gaji pada semua orang? Jawabannya mungkin. Beberapa negara sudah melakukan eksperimen soal penerapan UBI ini. Memang terlihat utopis, tapi mungkin diterapkan. Bahkan, 2017 silam, menteri keuangan Sri Mulyani pernah mewacanakan soal penerapan UBI ini.
ADVERTISEMENT

Terus, berapa jumlah uang tunai yang akan diberikan?

Tergantung dari kebutuhan dan kemampuan satu daerah. Yang jelas, jumlahnya harus cukup untuk beli makanan bergizi dan enak, kalau bisa seminggu sekali makan daging. Sebuah kemewahan bagi kalangan miskin.
Kekhawatiran berikutnya adalah bagaimana kalau uangnya itu digunakan buat beli rokok dan mabuk-mabukan? Orang miskin aja masih banyak yang lebih mementingkan beli rokok daripada beli beras! Penelitian tahun 2014 dari World Bank justru menunjukkan hasil sebaliknya. Tidak ada peningkatan penggunaan uang untuk rokok atau alkohol.
Laporan yang berjudul Sounthern Ontario’s Basic Income Experience menemukan bahwa penerapan UBI menemukan bahwa 80% dari partisipan yang mendapat upah dasar ini melaporkan peningkatan kesehatan. Lebih dari setengah dari mereka mengurangi konsumsi rokok dan 48% lagi mengatakan konsumsi alkoholnya juga menurun.
ADVERTISEMENT

Bagaimana kalau kaum rebahan ini jadi makin males hidupnya?

Literally cuma foya-foya saja! Ya, mungkin saja sih. Toh tidak bekerja juga tetap bisa makan. Tapi, jangan salah kebutuhan manusia itu bukan cuma makan. Menurut teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, manusia pada akhirnya butuh mentidaktualisasikan dirinya.
Nah, dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. Orang-orang bisa bekerja sesuai dengan passion, aktualisasi diri. Saya suka mumet mendengar keluhan teman-teman saya soal pekerjaannya. Kalau tidak nyaman ya resign aja, pikir saya. Tapi tidak semudah itu, kalau resign terus makan apa? Kalau sudah tidak mikir soal bertahan hidup, mereka bisa menemukan pekerjaan yang lebih cocok untuk dirinya.
Pekerjaan yang cocok meningkatkan kesehatan mental. Kesehatan mental yang baik membawa kebahagiaan. Sebuah studi dari University of Warwick menemukan pegawai yang bahagia 20% lebih produktif. Bahkan, salesman yang bahagia bisa meningkatkan penjualan sampai 37%. Penjualan naik, gaji naik, bisnis lancar, lapangan terbuka semakin lebar, dan segala hal-hal baik lainnya.
ADVERTISEMENT
Orang-orang juga berani untuk memulai usaha, toh hidupnya aman. Akhirnya muncul kompetisi bisnis yang lebih baik. Banyak sekali teman-teman saya yang punya ide brilian tapi ujung-ujungnya kepentok urusan perut.
Daripada berjudi dengan menguras tabungan untuk bisnis, mendingan kerja sama orang saja, biarpun tidak enak. Tapi tetep lebih tidak enak kalau tidak makan!

Bagaimana nasib industri lain kalau orang-orang bisa tetap makan walaupun tidak bekerja?

Jangan kira manusia itu pandai bersyukur. Manusia itu tidak ada puasnya. Di dunia, justru orang-orang kaya itu lebih rajin bekerja daripada orang miskin. Lihat saja instagram Hotman Paris yang sudah bangun dari jam empat pagi. Belum lagi miliarder-miliarder lain.
Uang itu candu. Makin punya banyak, makin semangat lagi untuk terus menimbunnya. Hal ini dikisahkan dengan baik dalam serial The Hobbits dalam tokoh Thorin Oakenshield. Begitu melihat emas, matanya hijau dan langsung takut untuk kehilangan. Raffi Ahmad juga saban hari masih bekerja melanglang buana di semua stasiun TV.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, hidup ini kan bukan cuma soal makan. Ada keperluan beli baju baru, jalan-jalan, beli makeup, main game, dan segala hal hedon lainnya. Jangan meragukan manusia kalau soal itu, dikasih uang buat kebutuhan dasar tidak bakal bikin manusia puas untuk mengejar harta.
Kalau memang sebaik itu, kenapa kebijakan ini belum diterapkan? Memang ada beberapa kekhawatiran yang diperdebatkan soal UBI ini. Seperti potensi inflasi, peningkatan tarif pajak, sumber pendanaan, geger sosial dan lain sebagainya. Tapi, seperti yang saya tulis di awal paragraf, krisis butuh aksi cepat dan out of the box. Mungkin saja UBI ini adalah jalan keluar.