Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Alih Wahana Cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” dalam Podcast Budaya Kita
3 Juni 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fadhilah Ahlan Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerpen merupakan salah satu gendre sastra di samping novel, puisi dan drama (Al-Ma’ruf dalam Tarsinih, 2018: 70-81). Cerpen merupakan cerita rekaan yang memiliki panjang kurang dari 10.000 kata. Seiring berkembangnya teknologi cerpen tidak hanya dapat dinikmati secara visual dengan cara membaca. Cerpen kini dapat dinikmati dengan cara dengaran melalui podcast (siniar). Putri (2022) menjelaskan bahwa, siniar merupakan rekaman yang berisi obrolan dengan durasi setengah jam sampai dengan satu jam berisi topik yang menarik dan spesifik. Pemindahan media dari cerpen yang tekstual ke dalam bentuk podcast yang berupa dengaran disebut sebagai kegiatan Alih Wahana.
ADVERTISEMENT
Alih wahana adalah kegiatan mencakup penerjemahan, penyaduran dan pemindahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain (Damono, 2018: 9). Cepen “Seribu Kunang-Kunang di Mahattan” karya Umar Kayam dialih wahanakan ke bentuk lainya berupa podcast dengan judul yang sama. “Seribu Kunang-Kunang di Mahattan” dimuat kanal podcast Budaya Kita di aplikasi Spotify pada Agustus 2020 silam. Kanal podcast Budaya kita merupakan hasil kerjasama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Titimangsa Fundation. Di dalamnya memuat berbagai informasi berupa audio mengenai kebudayaan Nusantara seperti cerita rakyat, bedah budaya, dan cerpen atau cerita rekaan yang dibacakan.
“Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” berkisah tentang Jean yang sedang kasmaran dengan sorang pemuda bernama Marno. Jean merupakan seorang janda yang ditinggal oleh suaminya. Sedangkan Marno adalah seorang pemuda desa yang merantau dan masih memiliki keluarga di desa. Sembari mabuk Jean berusaha berbincang dan menggoda Marno, seraya menceritakan kisah hidupnya dengan bekas suaminya. Namun usaha Jean gagal, karena Marno teringat dengan istri dan keluarganya di desa.
ADVERTISEMENT
Baik dalam cerpen, ataupun podcast “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” tidak memiliki perbedaan dari segi jalan cerita. Cerpen dan podcast bisa dikatakan sudah selaras dan serasi. Namun, dengan adanya alih wahana dari cerpen ke podcast “Seribu Kuang-Kunang di Manhattan” terasa menjadi lebih hidup dan realistis. Penambahan back sound romantis menambah kesan intim, yang kemudian memengaruhi suasana percakapan antara Jean (Tara Basro) dengan Marno (Nino Kayam). Lalu penambahan sound effect seperti suara gelas yang berdenting, suara derap langkah, suara jet yang bergemuruh dan suara lainnya menambah kesan realistis dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”. Ditambah lagi dengan penarasian yang dibacakan oleh Narator (Maudy Koesnadi) membuat podcast semakin ‘dekat’ dengan pendengar.
Podcast “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” bisa terkesan lebih hidup dan realistis melalui penambahan suara dan perwujudan suara dari para pemeran. Namun, tetap terbatas secara imajinasi. Misalnya dengan ekspetasi pendengar terhadap Jean dan Marno. Dalam dunia cerpen pembaca dapat membayangkan seamerika mungkin sosok seorang Jean dan sejawa mungkin sosok Marno. Akan tetapi dalam podcast sosok Jean terbatas pada seamerika mungkin sosok seorang Tara Basro dan sejawa mungkin sosok seorang Nino Kayam.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya podcast yang memuat cerita sastra memberikan angin segar bagi dunia sastra dan kesusastraan. Sastra bisa merambah ke masyarakat yang lebih luas lagi. Namun, perlu digaris bawahi imajinasi yang dibawakan ke dalam podcast mulai dari pemeran, back sound, sound effect dan lain sebagainya merupakan imajinasi pengarah podcast. Mungkin imajinasi yang didapatkan dengan membaca bisa lebih liar dan lebih bervariatif tergantung representasi dan pengetahuan dari pembaca.