Perjuangan Anak Broken Home Menghadapi Kestabilan Mental

Fadhlan Hz
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
22 November 2022 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhlan Hz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto menggambarkan narasumber  ((10/11/22))
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto menggambarkan narasumber ((10/11/22))
ADVERTISEMENT
Memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia merupakan impian semua orang, karena dengan adanya kasih sayang dari keluarga kita dapat merasa nyaman dan di cintai. Namun, keharmonisan di dalam sebuah keluarga tidak bisa dirasakan oleh beberapa anak karena adanya sebuah perceraian di antara kedua orang tuanya. Broken home menjadi istilah yang sering kita jumpai pada kasus ini. Pihak yang paling dirugikan adalah anak, mereka harus menanggung akibat yang terjadi dari adanya perceraian orang tuanya, mulai dari kesehatan mental hingga fisik anak tersebut, terlebih ketika salah satu dari orang tuanya sudah menikah lagi. Hal ini di alami oleh seorang anak perempuan yang harus berjuang melawan kestabilan mental disaat salah satu orang tuanya memiliki keluarga baru.
ADVERTISEMENT
AN, seorang anak perempuan yang namanya minta disamarkan membagikan sebagian kisah hidupnya saat menghadapi mental breakdown ketika salah satu orang tuanya memiliki keluarga baru akibat dari perceraian sebelumnya. Saat usia 4 tahun, AN harus tinggal bersama eyangnya karena perceraian tersebut. Sejak kelas 2 SD ia harus menanggung beban psikis disaat anak lain menerima banyak kasih sayang dari kedua orang tua namun tidak dengan AN.
Saat naik ke kelas 3 SD, psikisnya semakin terguncang karena mendengar kabar bahwa salah satu orang tuanya harus menikah lagi, "Waktu kelas 3 SD, aku udah mulai sedikit stress. Penyebabnya ya, karena harus nerima kenyataan kalau aku punya ayah baru dan aku harus ikut mama dan ninggalin eyangku," ujar AN.
ADVERTISEMENT
AN juga menambahkan saat ikut mama dan keluarga baru nya, ia merasa sedikit tertekan karena tuntutan yang diberikan oleh mamanya. Saat ia menginjak kelas 1 SMP, AN mengatakan bahwa titik terendah psikisnya dihadapi saat itu. Hal tersebut dikarenakan ia menerima banyak tuntutan dan kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya.
AN mengatakan bahwa saat itu ia ingin mengakhiri hidupnya karena merasa tidak kuat dengan kenyataan pahit dan tekanan yang dihadapi. Namun, dengan merenungkan segala hal yang akan terjadi ia memilih untuk melanjutkan hidupnya karena bagaimanapun juga mengakhiri hidup tidak dapat menyelesaikan permasalahan di hidupnya. Dengan melakukan banyak kegiatan positif, ia dapat men-distract pikiran-pikiran yang mengganggunya meskipun dengan rentang waktu yang cukup lama. Ada banyak kegiatan yang ia ikuti, mulai dari organisasi hingga kegiatan non-akademik lainnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini AN sudah mulai menerima masa lalunya meskipun terkadang ia teringat dengan masa kelam dihidupnya, "Aku merasa lebih tenang aja sih sama aku yang sekarang, dengan nerima takdir yang udah terjadi dan semakin dewasa, aku merasa semakin banyak bersyukur karena ketemu banyak orang dan secara nggak langsung aku belajar dari mereka juga," ujar AN.
Melakukan banyak kegiatan hingga mendapatkan banyak pengalaman dapat membantu AN melalui masa sulit di hidupnya. Selain itu, psikolog juga dapat dikunjungi jika kalian mengalami hal yang serupa dengan kisah di atas, kalian bisa melakukan konsultasi ke psikolog atau orang yang ahli dalam bidangnya untuk membantu menyelesaikan permasalahan psikis yang kalian alami.