Konten dari Pengguna

Tutorial Menjaga Marwah Leluhur ala Kampung Naga

Fadhlan Rafi Syauqi
Mahasiswa S1 Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya
14 Desember 2022 21:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhlan Rafi Syauqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampung Naga. (Sumber : dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Naga. (Sumber : dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini kita hidup di era globalisasi yang dipengaruhi oleh cepatnya informasi, komunikasi dan teknologi. Rasanya hidup di era ini sangatlah menyenangkan, semuanya serba mudah dan cepat. Kini banyak tempat yang kian populer berkat pengaruh globalisasi, contohnya adalah Kampung Naga yang dikenal sebagai destinasi wisata budaya.
ADVERTISEMENT
Bak pedang bermata dua, pengaruh globalisasi di satu sisi menguntungkan masyarakat Kampung Naga namun di sisi lain juga membuat mereka berusaha keras agar budaya yang mereka miliki tidak luntur oleh pengaruh luar.
Mengenal Kampung Naga dan Ancaman yang Dihadapi
Kampung Naga dikenal sebagai tempat yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal dan nilai leluhur yang mereka miliki. Menurut Rahwati (2020) mengutip pendapat Naritoom bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh oleh masyarakat setempat melalui akumulasi pengalaman dalam percobaan dan terintegrasi dengan pemahaman tentang alam dan budaya sekitarnya.
Saking menjunjung tinggi kearifan lokal yang mereka miliki, masyarakat Kampung Naga bahkan masih memiliki gaya hidup yang sangat tradisional dan tanpa adanya aliran listrik, apalagi teknologi canggih lainnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu masyarakat Kampung Naga bukanlah masyarakat yang sepenuhnya tertutup, mereka banyak melakukan interaksi dengan masyarakat di luar kampung dan melakukan mobilitas. Hal itu bisa terjadi karena Kampung Naga terletak dekat dengan Jalan Raya Garut-Tasikmalaya, tepatnya berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Tak hanya itu, saat ini Kampung Naga juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya bagi mereka turis lokal maupun mancanegara. Bahkan menurut sesepuh Kampung Naga, Ucu Suherlan mengatakan bahwa jumlah turis mancanegara yang datang ke kampung naga rata-rata 300 orang per bulan dan turis lokal rata-rata 7000 orang per bulan.
Namun ramainya kunjungan ke Kampung Naga ditakutkan dapat mengancam kearifan lokal yang ada. Menurut Katrina dalam skripsinya yang menganalisis dampak pengembangan pariwisata budaya terhadap masyarakat lokal Kampung Adat Naga (2021), menjelaskan bahwa setelah ada kegiatan pariwisata di Kampung Naga, terdapat perubahan budaya pada kampung naga, contohnya seperti perubahan gaya hidup, dengan adanya dampak sosial budaya dari wisatawan luar kampung naga ada beberapa masyarakat yang merasa mereka tidak dapat menolak adanya modernisasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mau tidak mau ada kebudayaan dari luar yang masuk ke wilayah kampung naga melalui wisatawan yang berkunjung. Hasil analisis tersebut rasanya tidak mengherankan karena masyarakat kampung naga hidup sangat tradisional dan sangat menjaga kearifan lokal mereka, sedangkan wisatawan yang datang dari berbagai tempat yang berbeda tentunya membawa kebudayaan yang berbeda-beda pula.
Wisatawan yang datang juga secara tidak langsung membawa pengaruh dari globalisasi, yaitu nilai-nilai modern dan teknologi yang sangatlah bertolak belakang dengan nilai yang dijunjung oleh masyarakat Kampung Naga.
Upaya Mempertahankan Nilai-Nilai
Lalu, apakah budaya dan kearifan lokal yang mereka miliki luntur begitu saja tergerus oleh perkembangan yang masuk? Jawabannya tentu tidak. Faktanya kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat Kampung Naga masih eksis hingga sekarang dan tidak se-terancam itu.
ADVERTISEMENT
Buktinya jika kita berkunjung ke Kampung Naga saat ini (2022), mayoritas kondisinya masih sama dengan kondisi yang kita kenal. Hal ini karena aturan adat merupakan harga mati bagi penduduk Kampung Naga yang tidak boleh dilanggar, diubah, atau bahkan dicampuradukan dengan adat dan budaya luar.
Lantas bagaimana caranya mereka tetap bisa menjaga kebudayaan dan kearifan lokal di saat derasnya pengaruh luar dan globalisasi yang masuk?
Menurut salah satu tokoh masyarakat Kampung Naga, Hen Hen mengatakan bahwa sebenarnya mereka mengikuti perkembangan yang ada, tetapi mereka selalu memfilter mana yang bisa diterima oleh mereka. Salah satu contoh perkembangan yang masyarakat Kampung Naga terima adalah dalam sektor mata pencaharian.
Di sektor mata pencaharian, masyarakat Kampung Naga sebenarnya lebih banyak yang memiliki sumber mata pencaharian dari pertanian sawah dan ladang sebagaimana yang di tetapkan dalam aturan adat. Namun kini banyak yang menjual suvenir kerajinan tangan atau anyaman dari bambu dan kayu, kemudian dipasarkan ke wisatawan dan dijual ke kota-kota bahkan hingga ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu banyak juga yang kini membuka warung makanan dan minuman, menjadi pedagang asongan, dan menjadi pemandu wisata. Selain sektor mata pencaharian, masyarakat Kampung Naga juga menerima hadirnya pendidikan, karena bagi mereka pendidikan tidak bertentangan dengan aturan adat yang ada.
Jadi sebenarnya masyarakat Kampung Naga mau mengikuti perkembangan yang ada, selama perkembangan tersebut tidak melanggar dan mengganggu aturan adat maupun kearifan lokal mereka.
Masyarakat Kampung Naga juga menolak hal-hal yang dapat memengaruhi keberlangsungan adat dan budaya mereka. Sebagai contoh, mereka menolak masuknya jaringan listrik, kompor gas, dan teknologi lainnya.
Menurut penuturan Hen Hen selaku tokoh masyarakat di Kampung Naga, keberadaan listrik dikhwatirkan membuat perubahan gaya hidup, misalnya, rasa ingin memiliki kebutuhan hidup yang serba canggih. Menurutnya listrik juga bisa menimbulkan perubahan sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Mereka juga menolak penggunaan kompor gas dengan alasan agar generasi penerus tahu bahwa orang terdulu itu memasak dengan tungku. Teknologi lainnya seperti internet dan gawai sudah pasti mereka tolak juga penggunaannya.
Terakhir, Masyarakat Kampung Naga juga mengajak para wisatawan yang datang untuk mengikuti aturan adat dan dilarang melanggarnya selama berada di sana. Mereka juga memperkenalkan kearifan lokal yang mereka miliki kepada para wisatawan.
Bahkan mereka memperbolehkan wisatawan menginap apabila ingin mengenal lebih dalam kebudayaan mereka dalam keseharian. Semua hal ini rela mereka lakukan karena Masyarakat Kampung Naga sangat menjaga budaya dan kearifan lokal yang mereka miliki dari pengaruh luar serta ingin memperkenalkan budaya dan kearifan lokal mereka kepada masyarakat luar.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Bagi kita masyarakat yang sebagian besar sudah terpengaruh oleh globalisasi, terkadang menganggap enteng lunturnya nilai-nilai leluhur, kearifan lokal dan kebudayaan masing-masing.
Padahal perlu bagi kita untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai leluhur, kearifan lokal dan kebudayaan yang kita miliki karena hal itu bagian dari identitas kita. Lagi pula, hal baru atau budaya asing yang masuk tidak selalu sesuai dengan kebudayaan dan kondisi yang kita miliki.
Apa yang dilakukan masyarakat Kampung Naga dalam menghadapi perkembangan zaman sangatlah bijak, yaitu dengan memfilter perkembangan-perkembangan yang masuk agar bisa tetap menjaga keutuhan nilai-nilai leluhur dan kearifan lokal yang mereka miliki.
Selain itu mereka juga tidak sepenuhnya tertutup dan mau membuka diri bagi masyarakat luar yang ingin mengenal lebih dalam kebudayaan mereka. Inilah cara yang dilakukan masyarakat Kampung Naga agar tetap menjaga nilai-nilai dan marwah sang leluhur di tengah tantangan globalisasi.
ADVERTISEMENT