Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 Ā© PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Patriarki : Penyakit Lama Yang Sulit Diobati
27 Oktober 2024 1:58 WIB
Ā·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fadia Azzahra Salsabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan data jumlah statistik Indonesia, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada Februari 2024. Menyatakan bahwa jumlah masyarakat berjenis kelamin perempuan di Indonesia mencapai 136,3 juta jiwa. Selisih tiga juta dengan masyarakat berjenis kelamin laki-laki yang mencapai 139,3 juta jiwa. Angka tersebut menandakan bahwa jumlah laki-laki lebih mendominasi dibandingkan dengan jumlah perempuan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berbanding lurus dengan banyaknya fakta di lapangan yang menyatakan bahwa laki-laki masih mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tentu berkaitan erat dengan budaya patriarki yang ada di Indonesia.
Patriarki dapat diartikan sebagai sistem, di mana laki-laki dianggap lebih superior dan memiliki hak-hak yang lebih banyak dibandingkan perempuan. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama dalam keluarga, masyarakat, politik, dan ekonomi.
Sistem patriarki di Negara Indonesia terbilang masih mengakar kuat, fakta ini dapat kita lihat dan rasakan dalam semua lini aspek kehidupan. Laki-laki umumnya lebih banyak mendapatkan kekuasaan, privilese, dan otoritas dibandingkan perempuan. Perempuan seringkali dianggap lemah dan tak punya keahlian dalam menjalankan berbagai peran untuk keluarga atau bahkan untuk negara.
ADVERTISEMENT
Contoh beberapa suku di Indonesia yang masih terkenal dengan budaya patriarki yang kental ialah suku Batak, Minang, dan suku Jawa.
Suku Batak
1) Di suku Batak sendiri, khususnya Batak Toba, ada sebuah sistem sosial di mana laki-laki memiliki kekuasaan dominasi yang lebih besar dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan pembawa marga. Mereka diharapkan menjadi sosok yang kuat, bijaksana, dan mampu memimpin keluarga.
2) Perempuan sangat dihargai apabila dapat melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga sebaliknya, apabila perempuan tersebut tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka perempuan tersebut dipandang rendah karena mereka dianggap tidak dapat mempertahankan marga dari pihak suami.
3) Perempuan hanya dianggap penting dalam menjaga rumah tangga dan merawat anak-anak. Namun, dalam ruang publik dan pengambilan keputusan penting, suara mereka kerap kali tidak didengar.
ADVERTISEMENT
4) Banyak nilai-nilai adat yang memperkuat posisi laki-laki sebagai pemimpin. Misalnya konsep Hata (kata) yang sangat dihormati dalam masyarakat Batak, hal ini juga sering kali dikaitkan dengan laki-laki.
Suku Minang
1) Status sosial sebuah keluarga diukur berdasarkan prestasi laki-laki, seperti pendidikan, pekerjaan, dan jabatan.
2) Konsep Urang Samando (menantu laki-laki) sering dianggap tamu di rumah mertua. Hal ini dapat membuat perempuan merasa tidak dapat memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam keluarga.
3) Konsep Hata (kata) yang sangat dihormati dalam masyarakat minang, yang juga sering kali dikaitkan dengan laki-laki. Perempuan yang terlalu banyak bicara atau mengemukakan pendapat, dapat dianggap kurang sopan.
Suku Jawa
ADVERTISEMENT
1) Ayah atau kakek menjadi figur otoriter dalam keluarga. Pendapat mereka sangat dihormati dan jarang dipertanyakan.
2) Anak laki-laki sering mendapatkan perhatian dan peluang yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Laki-laki diharapkan melanjutkan nama keluarga dan meneruskan tradisi.
3) Istilah yang merendahkan, terdapat banyak istilah dan ungkapan dalam bahasa Jawa yang secara tidak langsung merendahkan perempuan atau menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rendah.
Contohnya : "Wong wadon kuwi ora cocok karo kanggo karyo abot" (Perempuan itu tidak cocok dengan pekerjaan berat.
"Wong wadon kuwi mung kanggo ngurus omah" (Perempuan itu hanya untuk mengurus rumah).
Entah sejak kapan stigma bahwa perempuan hanya bertugas untuk mengurus rumah tangga dan harus tunduk pada laki-laki itu bermula, tapi dapat dipastikan bahwa seiring dengan berkembangnya zaman. Stigma tersebut masih belum bisa sepenuhnya terhapus atau tergerus, tetapi justru kini makin mengakar kuat secara terus menerus.
ADVERTISEMENT
Perempuan dianggap sebagai kaum marginal adalah hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Konstruksi ini seringkali tertanam dalam norma, nilai, dan institusi sosial yang memberikan privilese lebih kepada laki-laki. Dalam sistem ini, perempuan seringkali dianggap sebagai properti atau pelengkap laki-laki, bukan sebagai individu yang setara.
Beberapa alasan mengapa budaya patriarki masih langgeng hingga saat ini adalahĀ :
Akar Sejarah yang Mendalam: Sistem patriarki telah ada sejak lama dan tertanam kuat dalam nilai-nilai tradisional dan adat istiadat masyarakat Indonesia.
Pandangan Agama: Beberapa interpretasi agama yang masih patriarkal memperkuat pandangan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Struktur Sosial: Struktur sosial yang hierarkis dan menempatkan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat masih dominan.
ADVERTISEMENT
Norma Sosial: Norma sosial yang telah ada sejak lama dan diwariskan dari generasi ke generasi turut memperkuat budaya patriarki.
Kurangnya Pendidikan tentang Gender: Kurangnya pemahaman tentang isu gender dan kesetaraan gender menyebabkan banyak orang tidak menyadari adanya ketidakadilan gender dan menganggap patriarki sebagai hal yang wajar.
Rendahnya pendidikan: semakin rendah status pendidikan seseorang tersebut, semakin minim pula pengetahuan yang mereka dapatkan mengenai patriarki. Hal ini dapat dilihat dari sebagian masyarakat kalangan desa yang masih kurang terbuka mengenai pentingnya pendidikan tinggi.
Namun, tahukah anda bahwa kalangan perempuan juga berperan penting dalam melanggengkan budaya patriarki di Indonesia?
Hal ini mungkin sering kita jumpai dalam sebuah keluarga. Seorang ibu yang membebani segala pekerjaan dan urusan rumah tangga hanya kepada anak perempuannya, sedangkan anak laki-laki dibebaskan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Anak perempuan, mereka didik dan latih bak seorang pelayan di masa depan. Sedangkan seorang anak laki-laki hanya diajarkan bagaimana caranya memperoleh uang agar mendapatkan kepuasan bak seorang raja.
Mereka juga hanya terfokus untuk menasihati bagaimana cara anak perempuan berpakaian dan harus menjaga diri, sehingga mereka lupa bahwa mereka juga harus mendidik dan mengedukasi para anak laki-laki, bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.
Tentu jika dilihat dari sudut pandang seorang feminisme, hal tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak adil. Pekerjaan rumah seharusnya menjadi basic skill yang wajib dimiliki oleh semua orang, tanpa memandang apa jenis kelamin orang tersebut.
Pembatasan potensi terhadap perempuan, menyebabkan terhambatnya kemajuan sosial. Hal ini dapat memicu kesenjangan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mendapatkan kekuasaan, kekayaan, serta kekuatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu dampak yang sering dirasakan oleh kaum perempuan, imbas dari budaya patriarki yang masih kental adalah :
1) Kekerasan rumah tangga
2) Pelecehan seksual
3) Penilaian terhadap Perempuan: Perempuan seringkali dinilai berdasarkan penampilan fisik dan kemampuan reproduksinya.
4) Beban Ganda: Perempuan seringkali harus memikul beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja.
Dengan majunya teknologi informasi saat ini, mulai banyak para perempuan yang dapat menyuarakan aspirasi dan juga keresahan yang mereka alami di berbagai macam platform di media sosial. Mereka melakukan perlawanan kesenjangan genderĀ dengan memanfaatkan platform digital sebagai panggung yang dinilai efektif untuk membagikan edukasi dan juga kampanye tentang pentingnya kesetaraan gender.
Membasmi budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia memang membutuhkan upaya yang besar dan berkelanjutan. Namun, bukan berarti hal ini tidak mungkin dilakukan.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat kita ambil:
1. Menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender sejak usia dini melalui kurikulum sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.
2. Melakukan kampanye secara masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari budaya patriarki dan pentingnya kesetaraan gender.
3. Menegakkan hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan berbasis gender.
4. Melibatkan laki-laki dalam upaya mencapai kesetaraan gender, karena mereka juga memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan.
5. Memanfaatkan media massa untuk mempromosikan citra perempuan yang positif dan mendorong representasi yang lebih seimbang.
6. Membuka ruang dialog antar agama untuk menemukan interpretasi yang lebih inklusif terhadap perempuan.
7. Membangun jaringan pendukung bagi perempuan yang mengalami kekerasan atau diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingat bahwa perubahan menuju kesetaraan gender adalah proses yang panjang dan kompleks. Dibutuhkan komitmen dari semua pihak untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Mari bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama tanpa memandang gender.