Konten dari Pengguna

Instagram Duluan, Makan Belakangan

Fadil Setia Gunawan
Copywriter asal Lombok. Saat ini bekerja sebagai Communication Staff di Seeds for a Child (SFAC), sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada pemberdayaan anak melalui Art Therapy.
8 Desember 2024 15:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadil Setia Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, posisi media sosial setara dengan kebutuhan pokok sehari-hari, terutama bagi generasi millennial dan Z. Mengabadikan momen adalah fenomena biasa yang sering terjadi di tempat makan atau cafe. Pandangan mereka hanya tertuju pada ponsel. Makanan dan minuman di depan mereka kurang mendapatkan perhatian lebih. Apa sebenarnya yang mendorong anak-anak muda lebih mendahulukan Instagram daripada menikmati makanan mereka? Mari simak lebih dalam.
Ilustrasi anak muda yang memprioritaskan Instagram daripada menikmati makanan. Foto: ready made/pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak muda yang memprioritaskan Instagram daripada menikmati makanan. Foto: ready made/pexels
Dari sekian jumlah teman nongkrong, setidaknya pasti ada salah satu dari mereka ketika di tongkrongan lebih memilih foto makanan terlebih dahulu. Masalah rasa yang masuk ke mulut, urusan nanti. Pokoknya, angel makanan harus terlihat bagus di kamera. Apapun topik pembahasannya, tampilan di Instagram Story jadi hal nomor satu saat itu juga. Kalau upload setelah makan, sepertinya viewers akan sangat peduli dengan foto makanan yang baru beberapa detik diterima dari pelayan.
ADVERTISEMENT
Sekarang, berdoa bukan lagi hal pertama yang dilakukan sebelum makan. Juara umum tingkat 1 dipersembahkan kepada Instagram Story. Bagi beberapa orang, bisa dibilang kebiasaan ini adalah ajang kompetisi, sehingga perlu memposisikan sopan santun dalam komunikasi di urutan kesekian.
Jangan heran. Laporan terbaru We Are Social pada Januari 2024, penggunaan Instagram menempati posisi kedua dengan tingkat 85,3% setelah WhatsApp. Kelompok remaja adalah pengguna yang paling banyak dan aktif di aplikasi ini. Fitur-fitur estetik di Instagram bisa mempengaruhi prioritas dan tata krama ketika bersosialisasi di kehidupan nyata.
Amburadulnya pola komunikasi disebabkan oleh FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa cemas ketinggalan momen ter-hits di media sosial. Efeknya, overthinking berujung tidak fokus pada percakapan dunia nyata. Kalau profesinya sebagai fotografer, content creator atau influencer, sepertinya sah-sah saja. Tapi kalau sudah duduk berhadapan dengan tujuan utama “ngobrol”, perilaku ini tergolong kurang etis.
ADVERTISEMENT
Jurnal milik Annisa Dwi Kurniawati menjelaskan bahwa alasan utama seseorang membagikan sesuatu di media sosial karena keinginan untuk diperhatikan dan dianggap ada oleh orang lain. Perhatian apa lagi yang perlu dicari ketika berbincang panjang lebar dengan orang-orang yang ada di depan mata. Kemungkinan besar netizen di layar handphone sedang mencari perhatian juga. Timbal balik yang benar-benar kosong.
Selain tidak menghargai makanan dan orang yang ada di depan mata, ketergantungan pada media sosial bisa mempengaruhi kualitas mental. Salah satu penelitian berjudul Mengurai Fenomena FOMO di Kalangan Remaja memberikan bukti kepada generasi muda. Mengakses media sosial media tanpa jeda bisa memunculkan rasa iri, minder dan bahkan merasa bersaing dengan postingan orang lain.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang perlu dikorbankan hanya gara-gara sepenggal foto atau video. Konten yang akan hilang dalam waktu 24 jam kadang mampu menghilangkan rasa empati seseorang terhadap manusia lain dan unsur penting di sekitarnya. Respon di dunia maya dianggap jauh lebih menarik dan mampu memberi rasa bahagia karena likes dan comments. Pernyataan tadi sesuai dengan jurnal Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora di Institut Agama Islam Negeri Ponorogo berjudul Perubahan Sosial Dalam Perkembangan Instagram Di Kalangan Mahasiswa.
Makanya tidak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan reaksi sebanyak-banyaknya di Instagram dan media sosial lainnya. Beberapa juga mengakui kebahagiaan dan percaya diri tergantung jumlah followers. Padahal pada dasarnya, segala bentuk tanggapan tersebut bukan penentu hidup.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat dampak Instagram Story tidak selamanya seburuk pendapat-pendapat di atas. Adanya foto makanan pada pemilik akun bisa sekaligus mempromosikan produk pelaku usaha kuliner. Semakin banyak interaksi tentang makanan yang diunggah maka semakin besar potensi pengunjung baru yang akan datang ke tempat makan tersebut. Secara tidak langsung, eksisnya pengguna media sosial meningkatkan profit bisnis dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian negara.
Di sisi lain, kalau makanannya bagus, pemilik akun hanya akan dapat komentar “Spill tempat makannya dong”. Sangat jarang ada yang akan melontarkan pertanyaan “Perasaanmu sudah membaik setelah makan di tempat tadi?”. Begitu kira-kira sedikit gambaran di dunia maya.
Sebagian besar viewers atau followers tidak benar-benar peduli dengan diri si pemilik akun. Mereka hanya bersikap reaktif terhadap apa yang ditulis. Itulah sebabnya postingan galau di Indonesia mudah sekali naik daun. Penulis merasa nyaman setelah mencurahkan isi hatinya, apalagi ketika menerima perhatian
ADVERTISEMENT
Dari fenomena yang terjadi, ternyata tidak ada batas dan privasi. Mulai keadaan hati hingga apa saja yang dimakan perlu diperlihatkan di Instagram Story. Fungsi media sosial sebagai perantara untuk berinteraksi dengan manusia lain tanpa batas jarak dan waktu seketika berubah menjadi alat pembeda antara si paling terkenal dan si paling pecundang.
Kita tidak sedang mengikuti lomba. Melainkan, kita sedang bersosialisasi menggunakan media dari aplikasi yang bernama Instagram. Mari nikmati makanan yang sudah disajikan sambil quality time bersama orang-orang terdekat. Kebersamaan saat bertatap muka dapat memperkuat hubungan sosial dalam jangka waktu panjang. Memakan makanan yang masih hangat lebih enak daripada difoto terlebih dahulu dan menunggunya dingin.