Konten dari Pengguna

Fenomena Gelar Instan Merusak Dunia Akademis Indonesia

Fadilah Nur
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Februari 2025 8:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadilah Nur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
Pelanggaran kode etik akademis menjadi berita hangat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Baik bagi kalangan pelajar, guru, mahasiswa, dosen, cendekiawan dan para intelektual. Hal ini dianggap menjadi runtuhnya nilai akademik di negara Indonesia. Maraknya tokoh yang memaksakan dirinya untuk menjadi sosok yang mendapatkan gelar tinggi dengan cepat, mereka lebih memilih cara instan tanpa mengikuti kesesuaian standar untuk mendapatkan gelar tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini terjadi pada salah satu tokoh politik Sufmi Dasco Ahmad, politikus di DPR RI. Dasco dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum dari Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 1 Desember 2022. Dasco menyebutkan jabatan guru besar dari Universitas Pakuan diperolehnya dengan susah payah. Namun terdapat kejanggalan gelar akademik.
Riwayat mengajar Dasco menjadi sorotan para intelektual lainnya, dikarenakan belum sesuai dengan standar untuk mencapai gelar tersebut. Selain itu, banyaknya karya ilmiah yang Ia terbitkan terdeteksi bermasalah.
Sebagaimana artikel Dasco, artikel yang ditulis oleh Muhammad Afif Hasbullah, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2018 – 2023) untuk menjadi guru besar ditengarai bermasalah. Afif dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum Universitas Islam Darul Ulum, Lamongan Jawa Timur, pada Oktober 2023.Sebagaimana karya ilmiah yang dia tulis sebagai syarat untuk gelar yang diperoleh, memiliki kesamaan judul dengan karya tulis yang Dasco pakai.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, dia punya tulisan dengan judul yang sama seperti yang diterbitkan di Jerman sejak 1979.
Hal yang senada terjadi pada pejabat. Jaksa Agung Muda Intelijen Reda Manthovani dan Siti Nur Azizah, dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Azizah mendapat banyak protes dari dosen Unesa, diduga ketidakwajarannya atas pengukuhan gelar profesor yang dia miliki. Hal ini dinilai dari riwayat mengajarnya yang tidak sesuai serta kualitas artikel ilmiahnya yang diterbitkan IJCC dan IJCS.
Idhamsyah Eka Putra sebagai anggota Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik menyatakan “Jurnal predator diminati karena mudah menerbitkan artikel di sana. Sebab, penulis tak melewati proses penilaian sejawat alias peer review yang ketat”. Hal ini yang menyebabkan banyaknya oknum memilih jurnal predator untuk menjadikan jalan yang instan untuk mendapatkan gelar cepat demi kepentingan pribadi mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sedangkan ketentuan menjadi guru besar itu sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 46 Tahun 2013, diantaranya; Mempunyai ijazah doktor atau sederajat, dapat diperoleh setelah tiga tahun mendapatkan ijazah doktor, menjadi dosen minimal 10 tahun, memiliki karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama, dan mencapai angka kredit sedikitnya 850 poin.
Melihat dari banyaknya kesulitan dan jangka waktu yang lama dalam ketentuan tersebut tampaknya banyak dari mereka yang ingin lebih memilih dengan cara instan melalui jurnal predator.
Lebih lanjut lagi berdasarkan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Dosen 2019. Bagi seorang dosen yang belum memenuhi persyaratan reguler menjadi guru besar bisa menempuh syarat khusus atau dikenal dengan sebutan loncat jabatan, dengan syarat di antara lain seperti; Dosen yang berprestasi luar biasa dapat diangkat ke jenjang akademis dua tingkat lebih tinggi. Artinya, calon guru besar minimal wajib berstatus lektor. Dosen yang loncat jabatan dari lektor ke guru besar harus menulis empat artikel di jurnal ilmiah bereputasi.
ADVERTISEMENT
Melihat syarat khusus ini dianggap sebagai tahap yang cukup rumit dan memerlukan korespondensi antara penerbit dengan berbagai macam respon yang belum tentu sesuai dengan harapan, tentunya para oknum lebih memilih jalur jurnal predator yang dianggap cepat meskipun resikonya lebih tinggi daripada mengikuti sesuai prosedur akademis.
Hal seperti ini tentunya menjadi perkara yang serius dalam bidang akademis. Bagaimana dunia akademis di Indonesia dinilai akademis sementara kelompok yang berada dalam ranah akademik itu sendiri tidak mencerminkan jiwa dan pribadi yang akademis. Fenomena jurnal predator tidak hanya mempengaruhi dampak buruk dalam ranah domestik saja. Namun, dalam ranah diplomasi juga.
Hal ini menjadi sorotan bagi seluruh dunia. Fenomena jurnal predator menyebabkan negara Indonesia berada pada peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik. Peneliti dari Republik Cek, Vit Machacek dan Martin Srholec dalam infografis tempo, Indonesia pada jumlah 16,7% mendapati peringkat kedua setelah negara Kazakhstan yang memiliki jumlah 17% nilai ketidakjujuran dalam hal akademik.
ADVERTISEMENT
Dunia akademik yang seharusnya menjadi wadah untuk memperlihatkan wajah intelektual Indonesia ternyata menyimpan bahaya yang menghancurkan. Penyakit kanker yang tumbuh secara diam, perlahan dan menghancurkan, sama hal nya dengan jurnal predator yang secara perlahan merusak ranah domestik negara.
Titik temu antara kanker dengan jurnal predator nampak jelas seperti gejala awal yang memang tidak terlihat namun seiring waktu berjalan, kanker tersebut menyebar dan menghancurkan seluruh sistem. Melalui metafora ini merepresentasikan bahwa jurnal predator sangat merugikan baik bagi mereka sebagai oknum, terutama bagi negara yang dikambing hitamkan atas ulah mereka.
Demikian yang sudah terlihat dan nampak jelas. Seyogyanya kita jadikan fenomena ini sebagai bahan pengingat dan refleksi terhadap diri kita sebagai generasi intelektual dan pacuan untuk bangkitnya kembali kaum intelek Indonesia yang memiliki jiwa dan peran akademis yang sesungguhnya
ADVERTISEMENT