Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Melepas Galau di Puncak Gunung Slamet
26 November 2017 18:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Foto : Penulis Ketika Berada Di Puncak Gunung Slamet, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
5-8 November 2015, menjadi salah satu momen perjalanan yang paling luar biasa dan berbekas dalam pengalaman hidupku ini. Ya, dalam 3 hari tersebut kami bertiga berhasil mendaki puncak tertinggi di Jawa Tengah yaitu Gunung Slamet atau Gunung Agung. Sungguh merupakan pengalaman menakjubkan. Kini, aku kembali mempunyai tambahan cerita menarik yang kelak bisa aku ceritakan kepada anak dan cucuku bahwa aku pernah berada di puncak tertinggi Jawa Tengah.
Hari itu, sudah sekitar 2 bulan berlalu sejak perjalananku ke Semeru. Aku sama sekali tidak memiliki rencana atau pikiran akan mendaki sebuah gunung lagi. Maklum, situasi keuanganku saat itu begitu mengkhawatirkan dan serba pas-pasan semenjak pulang dari Semeru. Selain itu, perlengkapan outdoorku tergolong masih sangat minim. Sejujurnya pada saat itu aku bisa dikatakan termasuk pendaki pemula. Baru 3 gunung saja yang pernah aku cicipi bagaimana nikmatnya berada di puncak yaitu Ciremai, Prau, dan Mahameru.
ADVERTISEMENT
Ketika aku pulang dari kampus, teman satu kosanku, Julfri, tiba-tiba mengajakku untuk naik gunung, rencananya, mau ke gunung Sumbing atau Sindoro. Mendengar ajakan dari Julfri tersebut sontak sempat membuat hati ini kembali tergoda untuk melakukan petualangan kembali ke gunung. Maklum, sepulang dari Semeru, banyak sekali hal-hal yang sangat aku rindukan akan petualangan mendaki gunung seperti sensasinya, rasa lelahnya, susahnya, senangnya, dan yang terpenting adalah adrenalinnya. Saat itu aku tak langsung mengiyakan ajakan Julfri karena kondisi keuanganku yang masih belum stabil.
Sudah 3 hari berlalu sejak ajakan Julfri untuk kembali naik gunung. Pada akhirnya, aku putuskan untuk menerima ajakanya, meskipun saat itu kondisi keuangan sedang tidak memungkinkan. Tapi ah, masa bodo masalah uang itu bisa diurus belakangan, yang terpenting niat, terlebih lagi pada saat itu aku sedang berada dalam kondisi galau berat, penyebabnya adalah wanita yang aku suka, tidak pernah memberikan sinyal positif selama hampir 3 tahun lamanya. Setiap aku dekati, selalu saja gagal, rasanya aku butuh pelampiasan yang sehat agar bisa menghilangkan perasaan galau yang menggangu kehidupanku selama beberapa minggu terakhir ini.
ADVERTISEMENT
Kebetulan pada saat itu intensitas hujan yang tinggi hampir melanda secara merata diseluruh pulau Jawa. Hal tersebut membuat kami rajin memeriksa bagaimana perkiraan keadaan cuaca nanti, apakah memungkinkan untuk melakukan pendakian atau tidak, selain itu kami juga memantau bagaimana situasi dari gunung Sumbing dan juga Sindoro karena sudah beberapa bulan marak terjadi kebakaran hebat pada seluruh gunung yang ada di pulau Jawa hingga mengakibatkan sebagaian besar jalur pendakian ditutup sampai batas waktu yang tidak ditetapkan.
Setelah kami mencari info kesana kemari, hasilnya adalah gunung Sumbing Sindoro masih ditutup untuk pendakian. Sontak kabar tersebut berhasil membuat keinginan kami pupus. Ditengah-tengah kekecewaan kami, secara tiba-tiba Julfri mengajukan alternative lain, bagaimana kalau ke gunung Slamet ?
ADVERTISEMENT
Mendengar awal kata gunung Slamet, mental dan perasaan ini langsung terguncang, bagaimana tidak ? Aku telah banyak mendengar dan membaca bagaimana keadaan dan kondisi gunung Slamet yang terkenal angker banyak hal-hal mistisnya. Awalnya aku sempat ragu, tetapi apa mau dikata, pada akhirnya keinginan hati yang sudah teguh untuk melakukan pendakian membuat rasa takut ini sedikit terhilangkan. Akhirnya kami mencari informasi apakah pendakian Slamet dibuka atau tidak. Bak Gayung Besambut, Kata Berjawab, ternyata pendakian gunung Slamet dibuka, tanpa pikir panjang kami langsung menyusun plan untuk mempersiapkam keberangkatan dan pendakian.
Awal keberangkatan kami hanya beranggotakan 2 orang. Saat itu aku benar-benar binggung dan tidak yakin akan melakukan pendakian ke Slamet hanya dengan 2 orang ? Ini benar-benar gila, kalau terjadi sesuatu disana bisa, bisa repot kita, kemudian untuk mengakali masalah kekurangan orang tersebut, aku putuskan untuk mengajak minimal 1 orang lagi agar perjalanan ini tidak terlalu mengkhawatirkan.
Kebetulan pada saat itu saudaraku Heru, sedang berada di Yogyakarta, aku langsung menghubungi dia bagaimana kalau ikut kami ke gunung Slamet ? Tanpa pikir panjang Heru pun mengiyakan ajakan kami (Heru, saudaraku belum pernah naik gunung, sebenarnya riskan juga mengajak pendaki amatir ke gunung Slamet, tetapi karena situasi yang mendesak mau tidak mau kami memutuskan untuk mengajak si Heru).
Perjalanan akhirnya dimulai pada 5 November 2015. Aku dan Julfri tiba di Stasiun Lempuyangan Yogyakrata pada pukul 05.00 WIB. Sembari menunggu saudaraku tiba di Stasiun, kami masih memikirkan bagaimana agar bisa menuju ke Purwokoerto sesegera mungkin. Maklum, kami semua belum pernah pergi ke gunung Slamet dan juga tidak tahu mengenai transportasi yang akan mengentar kita menuju kesana.
Sekitar pukul 06.00 WIB akhirnya Heru tiba di Stasiun Lempuyangan, dengan bermodalkan peralatan seadanya yaitu tas, jaket 2 setel, sepatu lari, beberapa obat-obatan dan juga makanan. Aku dan Julfri sempat terdiam sejenak melihat perlangkapan yang dibawa oleh saudaraku ini. Gila, bener-bener gila ini, naik gunung dengan setelan seadanya ? Kalau ini anak kenapa-napa, bisa berabe kita nanti. Namun, Heru sempat meyakinkan kami bahwa dia kuat dan sanggup untuk melakukan pendakian ke gunung Slamet. Karena dikejar oleh waktu, akhirnya kami bertiga langsung menuju Purwokerto dengan menggunakan kereta api Joglokerto.
Kami tiba di Purwokerto sekitar pukul 10.00 WIB. Setibanya di Stasiun, kami langsung mencari kendaraan yang bisa mengantar kami menuju ke basecamp Bambangan, Slamet, Jawa Tengah.
Pada pukul 12.00 WIB, akhirnya kami tiba di pertigaan Serayu tepatnya di sebuah gang masuk menuju basecamp Bambangan. Kami bertiga sempat kebinggungan dikarenakan menurut informasi warga, jalan menuju basecamp Bambangan masih sangat jauh kurang lebih masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam bila jalan kaki. Keadaan tersebut diperparah dengan tidak adanya ojek ataupun kendaraan yang bisa kami tumpangi untuk menuju basecamp Bambangan. Penyebabnya 1 hal, karena saat itu merupkan hari Jumat, dimana aktivitas warga di daerah Bambangan cukup lenggang.
Setelah kami menunggu beberapa saat tepatnya setelah Shalat Jumat, tiba-tiba ada seorang calo mendekati kami, beliau menawarkan kepada kami untuk menggunakan jasanya mengantar sampai ke Bambangan dengan biaya 600 ribu rupiah. Gila ! 3 orang 600 ribu untuk sampai Bambangan ? Sakit ini orang, akhirnya kami memutuskan berdiskusi terlebih dahulu untuk membahas mengenai masalah ini.
Setelah mementau keadaan dan jam sudah menunjukan hampir pukul 14.00 WIB, kami memutuskan untuk mengiyakan tawaran si calo tersebut, karena memang sudah tidak ada ojek dan juga orang yang bersedia untuk mengatar kami menuju Bambangan. Daripada kita sudah jauh-jauh kesini tapi gak jadi naik, lebih baik keluar sedikit banyak uang daripada tidak sama sekali.
Terkadang perjuangan itu benar-benar menyakitkan !
Jam 15.00 WIB akhirnya kami sampai di basecamp Bambangan. Setibanya disana kami disugguhkan dengan pemandangan yang begitu luar biasa, cuaca sepertinya sedang sedikit galau pada saat itu, kadang cerah kadang juga mendung. Dari basecamp terlihat jelas bagaimana begitu menggodanya gunung Slamet ini. Di basecamp kami melakukan persiapan ulang dan pengecheckan barang takut-takut ada yang lupa atau tertinggal, karena bisa gawat jadinya nanti.
Kebetulan karena ada 3 orang yang naik, akhirnya barang bawaan aku bagi berdasarkan kemampuan dan pengalaman. Julfri yang sedikit berpengalaman, membawa carrier 80 liter yang didalamnya terdapat tenda, nesting, dan barang bawaan pribadinya, sementara aku yang belum begitu berpengalaman, membawa 60 liter yang berisikan kompor, konsumsi, air 4 liter, pakaian pribadiku dan saudaraku. Kemudian yang terakhir Heru, hanya membawa backpack 30 liter dengan berisikan konsumsi dan trashbag.
Setelah sekitar 15 menit beristirahat di basecamp dan sudah melakukan pebgecheckan ulang perlengkapan, aku sempat memantau terlebih dahulu kadaan sekitar. Saat itu tidak begitu banyak pendaki yang melakukan pendakian ke gunung Slamet. Dalam hati aku sampai berkata,
“Anjir, bener-bener apes kayaknya pendakian ini, kayaknya dijalan nanti kami cuman berpapasan dengan beberapa pendaki saja, benar-benar gawat ini,".
Kemudian tidak lama berselang, muncul beberapa pendaki yang berjumlah 7 orang. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka baru saja turun gunung. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampiri mereka untuk menanyakan bagaimana kondisi gunung Slamet. Salah satu dari mereka berkata bahwa kondisi gunung Slamet terbilang lumayan.
“Aman kok bang, cuman yang naik enggak begitu banyak, kemudian jangan lupa hati-hati soalnya sudah 3 hari kebelakang hujan deras terus pas malam harinya di sekitaran gunung Slamet,” tuturnya.
Mendengar kata hujan, seketika aku langsung melontarkan senyum manis bercampur masam. "Edan men, hujan ? Bisa mati ini," ujarku dalam hati.
ADVERTISEMENT

Foto : Pendakian Dimulai!
Jam 15.40 WIB kami melakukan start pendakian dari basecamp Bambangan menuju ke pos 1 Slamet. Sebelum menuju pos 1, kami ke basecamp kontrol terlebih dahulu untuk menanyakan kembali bagaimana kondisi di gunung Slamet ini, aku kembali menanyakan bagaimana kondisi cuaca dan flora fauna di gunung Slamet ini. Kemudian salah satu ranger tersebut berkata flora fauna aman, cuman untuk perkiraan cuaca tidak bisa memberikan jawaban pasti karena cuaca sering berubah-ubah dengan cepat. Tapi yang pasti, ia menyarankan kami untuk menggunakan ponco atau jas hujan, karena akhir-akhir ini intensitas hujan di sekitaran Slamet sedang tinggi-tingginya.
Usai dari basecamp kontrol kami kembali melanjutkan perjalanan. Bila melihat cuaca yang sedikit gelap namun cerah pada sore itu, membuat kami bertiga optimis bahwa tidak akan terjadi hujan dalam pendakian ini. Tapi naas, baru sekitar 20 menit kami berjalan, tiba-tiba hujan turun dengan begitu derasnya disertai angin kencang. Gila ini, padahal tadi kelihatanya gak bakalan hujan, dan kalaupun hujan harusnya gerimis kecil atau hujan dengan intensitas kecil, tapi ini tiba-tiba langsung hujan deras disertai dengan angin kencang. Akibatnya, kami memutuskan untuk berlindung sejenak di gubuk kecil milik warga yang berada ditengah-tengah sawah.
Belum sampai pos 1, ujian pertama sudah menyambut kami dengan datangnua hujan deras disertai dengan angin kencang. Seketika aku mendadak lemas dan kedinginan, ternyata ponco yang aku kenakan berlubang dan hampir membasahi sebagian besar tubuhku ini, begitu pula dengan Julfri, malahan dia lebih tragis lagi, selain ponconya yang sobek, ia lupa membawa rain cover untuk carriernya, bener-bener apes sekali sepertinya perjalanan hari ini.
Setelah 15 menit beristirahat, hujan mulai berangsur reda tetapi masalah baru muncul yaitu kabut ! Kabut yang tiba-tiba muncul ini tebal sekali dan mengurangi jarak pandang kami bertiga, jarak pandang yang asalnya 100-150 meter akhirnya hanya bisa melihat 1-3 meter dikarenakan kabut yang benar-benar tebal. Aku dan Julfri terdiam seketika, Heru juga tak kalah panik, dia cuman bisa benggong melihat kabut yang menurutku benar-benar tidak wajar ini. Setelah beberapa lama kami terdiam akirnya kami berdiskusi apakah kami akan melanjutkan pendaikan atau tidak, karena kondisi lapangan yang benar-benar tidak logis ini. Akhirnya Julfri memutuskan untuk tetap jalan dan aku pun mengiyakan dengan catatan kami tidak boleh berjauhan, maximal jarak kami adalah 1 meter, tidak boleh lebih dari itu, dan apabila ada yang kelelahan wajib istirahat. Perjalanan kami lanjutkan dengan diiringi hujan gerimis, saat itu kondisi badanku sudah terlanjur basah kuyup bercampur dengan keringat yang terus bercucuran dari kepala.
1 jam perjalanan pertama kami dari gubuk tersebut, kami belum mendapatkan hambatan yang berarti selain masalah lapangan yang basah dan hujan, stamina kami masih relatif baik, aku sempat melihat peta perjalanan yang tadi diberikan oleh ranger di pos kontrol. Untuk menuju pos 1, masih membutuhkan waktu sekitar 1 jam lagi. Sial, ternyata masih lumayan jauh sementara medan yang kami tempuh ternyata begitu ekstrem, nanjak terus tanpa ada jalan landai yang kadang membuat otot-otot kaki kini sedikit ngilu dan juga teggang. Tidak lama setelah itu, akhirnya masalah menimpa pendakian kami, seperti yang sudah aku prediksi sebelumnya ternyata Heru gak kuat lagi untuk jalan, maklum pola hidup yang tidak sehat dan kebanyakan merokok selama diperjalanan membuat pernafasan dan stamina Heru terkuras dengan drastis, akirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak.

Foto : Ketika Diterjang Hujan dan Kabut.
Aku dan Julfri sempat memberikan semangat kepada si Heru bahwa sembentar lagi kita sampai ke pos 1 jangan nyerah, dan kurangin merokok biar paru-paru gak sesak ketika jalan, akhirnya Heru bangkit dan memulai kembali perjalanan. Kami tiba di Pos 1 sekitar pukul 17.15 WIB, walau masih diiringi oleh hujan kecil ternyata di pos 1 lumayan ramai dengan adanya pedagang yang berjualan disekitaran pos 1 ini. Mulai dari tukang gorengan sampai minuman ada disini.
15 menit kami beristirahat di pos 1 setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Sebelumnya kami sudah sepakat akan mendirikan tenda di pos 7 tepatnya sebelum Plawangan, dengan prediksi kami akan tiba di pos 7 sekitar pukul 23.00-24.00 WIB. Sepanjang perjalanan, seperti biasa kami banyak berhenti karena Heru yang nampak kelelahan, maklum baru pertama naik gunung dan tak ada persiapan jadinya seperti ini. Pemandangan yang disugguhkan selama pendakian begitu luar biasa, benar-benar memanjakan mata dan menenangkan hati, sampai-sampai rasa galau ini hilang terobati dengan keindahan alam di sekitaran gunung Slamet.
Kami sampai di pos 2, di pos 2 kami bertemu dengan 2 orang penduduk lokal, aku sempat berbincang-bincang dengan beliau ternyata beliau merupakan pedagang yang biasa berjualan di pos 7 gunung Slamet, kebetulan beliau berdua adalah sepasang saudara dan baru dari bawah untuk membawa bahan-bahan guna berjualan di di pos 7 nanti. Aku sempat menanyakan berapa total berat beban yang mereka bawa tersebut, mereka tidak bisa menjawab secara pasti namun mungkin kira-kira sekitar 70 Kilo karena dalam karung besar tersebut terdapat beberapa semangka yang berukura. cukup besar dan beberapa peralatan memasak seperti minyak. katel, dsb. Selesai berbincang dengan 2 penduduk lokal tersebut, mereka memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan mereka, dan akupun tidak mau kalah untuk bisa bareng mendaki dengan mereka, tapi karena kondisi Heru yang tidak memungkinkan akhirnya aku beristirahat sedikit lama di pos 2.
Hari mulai gelap dan kami mulai menggunakan headlamp untuk melanjutkan pendakian kembali. Aku berada diposisi paling depan sebagai pembuka jalan, Heru di tengah dan Julfri paling belakang sebagai sweeper. Selama perjalanan kami tak banyak berbicara karena fokus untuk mengikuti jalur sebab banyak desas-desus beredar, banyak sekali pendaki yang tersasar dikarenakan mereka salah memilih jalur, dan aku memang mengakui banyak sekali jalur percabangan di gunung Slamet ini, salah-salah pilih jalur bisa kesasar entah kemana kita nanti. Untuk memecah suasana agar tidak terlalu hening aku memutuskan untuk menyakalan lagu dari HP agar kami tidak sampai melamun saking terlalu fokusnya, bisa-bisa kesurupan nanti, kan repot juga kalau gitu.
Pukul 20.00 WIB kami sampai di pos 3, disana kami kembali bertemu dengan 2 penduduk lokal tersebut, aku kembali bertanya mengenai rencana pendakian mereka akan sampai pos berapa ? Dan bingo ternyata pos 7, sama seperti kami, dalam hati aku senang akhirnya kami menemukan teman pendakian, terlebih lagi mereka sudah sangat berpengalaman dalam medan di gunung Slamet yang membuat hati ini sedikit lega. Namun, 2 orang tersebut pergi untuk duluan karena sama seperti kita dikejar waktu, Julfri yang melihat hal tersebut mengajak kami untuk segera bergegas untuk mengikuti mereka. Tanpa diduga-duga, perjalananku kali ini seperti ada yang megganjal dan menggangu, ternyata perut ini sakit sekali, aku sempat curiga jangan-jangan maagku kambuh, wah bisa mampus kalau sampai kambuh, belum ada kita setengah jalan masa sudah harus berhenti ? Aku berdiam diri sebentar dan menceritakan keluhanku ini kepada Julfri dan Heru, Julfri nampak sedikit kecewa karena kami akhirnya terpisah dari 2 orang penduduk lokal dan membuat perjalanan kami menjadi sunyi dengan beranggotakan 3 orang saja. Aku meminta maaf dan memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil memakan beberapa butir obat maag. Setelah 15 menit berlalu, maagku ini berangsur membaik, namun masalah baru muncul, tiba-tiba perutku ini mules tak tertahankan, mau tidak mau aku harus buang hajat, aku meminta Heru dan Julfri untuk sedikit bersabar karena aku memutuskan untuk buang hajat terlebih dahulu. Sebelumnya aku belum pernah buang hajat diluar apalagi di gunung, sempat aku kepikiran yang aneh-aneh tentang hal mistis, karena saking paniknya aku baru pertama kali buang hajat, terlebih lagi di gunung sakral di Jawa Tengah ini, yang konon katanya memiliki daya magis yang lumayan kuat dan kental. 10 menit aku buang hajat aku mendengar beberapa orang bercengkrama diiringi oleh cahaya senter yang kemana-mana, aku pun panik karena aku belum selesai buang hajat ada beberapa orang datang, wah bisa gawat iki ! Apalagi kalau ada cewek dalam rombongan tersebu, bisa hancur citraku nanti. Akhirnya aku dengan cepat menuntaskan masalah perut ini dan segera bergegas menuju ketempat Julfri dan Heru lalu kami pun bergegas melanjutkan perjalanan.
Kami tiba di pos 4 sekitar pukul 21.40 WB. Ternyata kami kembali bertemu dengan 2 penduduk lokal tersebut akhirnya kami berbincang dan mengajak mereka untuk melakukan pendakian bersama sampai ke pos 7 nanti. Selama beristirahat di pos 4 ini, perasaanku benar-benar tidak nyaman, dikarenakan aku seperti merasakan ada yang aneh disekitar pos 4 ini, ditambah dengan keadaan yang begitu hening dan gelap semakin membuat aku tidak nyaman di pos 4 dan ingin cepat-cepat untuk meninggalkan pos 4. Untungnya 2 teman kami yaitu penduduk lokal tersebut mengerti akan kode-kode yang aku berikan untuk segera melanjutkan perjalanan, akhirnya kami berlima melanjutkan kembali perjalanan menuju ke pos 4. Perlu diketahui, medan track dari pos 4 keatas begitu gila dan exteme, sempat beberapa kali 2 teman kami hampir terpeleset jatuh karena mendan yang licin dan menanjak tajam, benar-benar menguji mental dan menguras stamina, ditambah malam hari yang dimana membuat kami berebut oksigen dengan tanaman, memaksa kita untuk cermat dalam mengatur semua aspek, mulai dari stamina, penafasan, mental dan juga kosentrasi.
Setelah 1 jam berlalu akirnya kami sampai di pos 5. Perlu diketahui, pos 5 lumayan cukum luas dan terdapat shelter yang cukup besar. Dari pos 5 kami disuguhkan dengan pemandangan yang begitu luar biasa seolah pemandangan di sekitaran Jawa Tengah terlihat jelas dan juga dengan bonus milky way diangkasa yang begitu cantik nan indah. Sayang, aku tidak sempat mengabadikan moment tersebut dikarenakan kelelahan yang begitu luar biasa. Di pos 5 kami beristirahat lumayan lama sekitar 25 menitan, dikarenakan kami menemukan pendaki yang bermukim di shelter pos 5.mereka rombongan dari Jakarta berjumlah 5 orang, mereka sepertinya ketakutan seakan-akan baru saja mengalamj kejadian yang menyeramkan yang menghampiri mereka. Salah satu dari mereka bercerita kepada kami bahwa tadinya mereka mendirikan tenda diluar, akan tetapi mereka merasa ada yang mengawasi mereka dari jauh akhirnya karena takut, mereka memutuskan untuk memindahkan tenda kedalam shelter, dan katanya mereka habis bertemu dengan macan gunung ! Mereka dihampiri oleh macan dan nyaris diterkam oleh macan tersebut, mereka menunjukan bukti disekitaran pintu shelter pos 5 terdapat bekas telapak kaki macan. Aku pun sontak terdiam dan terhenyak sesaat ketika melihat hal tersebut, lantas aku menanyakan kemana macan tersebut ? Mereka menjawab sepertinya macan tersebut pergi ke atas untuk mencari makan !
Aku kembali terdiam membisu dan menatap Heru dan Julfri, namun Julfri malah menanggapi dengan bercanda, “Hahahaha mana ada macan, salah liat kali masnya, bisa jadi juga itu babi hutan yang pake kostum macan,” kelakarnya.
Aku benar-benar shock dan kaget, gila nih anak, masih bisa aja bercanda padahal bukntinya udah ada jelas dan nyata, ada bekas telapak kaki macan ini ! Aku kemudian berunding dengan Heru dan Julfri bagaimana ini ? Apa kita lanjut apa ngecamp aja disini ? Jujur mentalku turun drastis setelah melihat dan mendengar cerita dari si mas orang Jakarta tersebut, kemudian datang temannya seorang perempuan dan berkata.
“Jangan maksain mas, mendingan temenin kita disini nanti takut kenapa-napa,”.
Aku benar-benar memikirkan dengan cermat masukan dari kedua orang ini, lantas aku menyarankan agar kita mendirikan camp disini saja, lagian kalau kita mau summit nanti, jaranya sudah tidak terlalu jauh mungkin sekitar 3-4 jam saja. Tetapi dengan tegas Julfri menolak dan mau tidak-mau kita harus camp di pos 7 sesuai dengan kesepakatan dibawah. Karena aku sudah tidak punya pilihan daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan Julfri, akhirnya aku mengalah dan memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Sialnya bagiku, ketika mental ini terguncang setelah insiden macan, saat dalam perjalanan menuju ke pos 6 lutut kaki kiriku ini sedikit tergeser dikarenakan jalan yang terus menanjak serta posisi penempatan kaki yang salah membuat aku sempat meringis kesakitan memegangi lutut kiri ini, aku menempelkan beberapa koyo di lutut dan jantung agar meredakan rasa sakit dan juga tidak kedinginan. Melihat kondisiku yang menyedihkan kini akhirnya kami berlima kembali beristirahat sejenak, namun diatara kami berlima cuman aku saja yang memiliki penerangan cahaya yang cukup baik akhirnya aku diminta untuk berada didepan untuk membuka jalan.
Pendakian kali ini sedikit berbeda dari beberapa jam sebelumnya, aku jadi lebih banyak berdiam dan fokus untuk kedapan, ditambah lagi aku sudah menyediakan tongkat pangjang takut-takut nanti macan muncul. Setelah beberapa jam perjalanan yang begitu melelakhan dan menguras tenaga kami akhirnya sampai di pos 7 tepat pukul 00.30 WIB. Rasa sakit kaki ini sudah mulai reda berkat koyo dan juga tongkat yang aku temukan di jalan. Sebelum mendirikan tenda, 2 teman kami mengajak kami untuk istirahat di dalam shelter, tetapi aku dan Julfri menolak karena kami sudah membawa tenda pribadi dan kami langsung mendirikan tenda. Ketika mendirikan tenda, kami sempat kesulitan karena ternyata tenda yang kami sewa memiliki masalah dalam besi penyangga, sehingga butuh waktu 1 jam bagi kami untuk menyeselesaikan tenda ini. Akhirnya tepat pukul 01.30 WIB kami selesai mendirikan tenda dan kami langsung beristirahat untuk mengejar summit nanti pagi.
Aku, Heru, dan Julfri tertidur dengan lelap karena rasa lelah yang begitu dahsyat. Ketika terlelap, aku merasakan ada yang aneh dan rasa dingin yang begitu luar biasa. Aku mencoba untuk menganti posisi tetapi rasa dingin semakin menjadi, rasa-rasnya ada yang basah diseparuh tubuhku ini. Aku pun terbangun dan melihat jam ternyata masih menunjukan pukul 04.10 WIB dan ketika aku melihat kebawah tenda, ternyata tenda ini bocor ! What the hell ?! Aku langsung membangunkan Julfri dan Heru dan akhrinya mereka ikut terbangun dan sama-sama basah akibat tenda yang bocor ini, aku melihat keluar dari jendela tenda ternyata diluar terjadi hujan yang begitu deras. Lantas aku lemas dan lesu mendapati kejadian menyedihkan seperti ini, kami pun akhirnya terdiam di tenda dengan hujan yang begitu deras dan juga kedinginan. Jam sudah menunjukan pukul 06.00 WIB tetapi hujan belum juga reda aku bertanya kepada Julfri apakah kita akan melakukan summit ? Julfri terdiam dan Heru pun sama akhirnya aku memberi masukan “Kita tunggu sampai jam 07.00 WIB, kalau masih belum reda, kita hajar aja kepuncak, nanggung kita udah jauh-jauh sampai sini kita udah mau sampai puncak 1 jam lagi masa kita mau nyerah aja ?,” ucapku.
Akhirnya Julfri mengiyakan masukan dariku ini. Dan sepertinya Tuhan benar-benar mendukung kami untuk menuju puncak tepat pukul 06.35 WIB, hujan mulai reda akupun langsung bergegas menyiapkan saparan dan perlengkapan untuk summit nanti.

Foto : Penulis, Julfri, dan Heru.
ADVERTISEMENT
Pukul 07.10 WIB setelah selesai sarapan kami melakukan pendakian kembali menuju puncak Slamet, walau diiringi oleh hujan kecil tetap tidak mematahkan semangat kami untuk menginjakan kaki dipuncak tertinggi di Jawa Tengah, selepas di Plawangan kami berfoto-foto terlebih dahulu mengabadikan moment yang ada. Pemandangan bawah terlihat dengan begitu eloknya dari Plawangan ini, namun 1 hal yang kami takutkan akhirnya kembilai datang ya, yaitu kabut !
Lepas dari Plawangan kami jalan terpisah menuju puncak, aku dikejar oleh rasa penasaran bagaimana berada di puncak tertinggi Jawa Tengah dan juga bagaimana pemandangan di sekitaran puncak Slamet membuat aku jalan terlebih dahulu jauh meninggalkan Julfri dan Heru, hanya bermodal membawa SLR dan HP membuat badan ini terasa lebih baik dan ringan karena konsumsi dibawa seluruhnya oleh Heru. Setelah 2 jam perjalanan summit dengan track bebatuan yang ganas dan mengerikan, akhirnya aku sampai di puncak gunung Slamet. Tidak lupa mengucap syukur kepada Sang Pencipta karena telah diberi keselamatan dan kesempatan sehingga bisa berada di puncak tertinggi di Jawa Tengah ini terlepas dari beberapa insiden selama pendakian kemarin sore hingga malam. Aku berbegas mencari palang puncak Slamet dan memotret keadaan sekitar. Pada jam 09.30 WIB, Heru dan Julfri sampai juga dipuncak, namun kebahagiaan kami berada dipuncak seakan sirnah ketika kabut akhirnya menutupi seluruh pemandangan di puncak Slamet ini, kedaan kini menjadi seba putih dan suram, aku terdiam, Julfri terdiam dan Heru yang baru pertama kali naik gunung jelas terdiam melihat pemandangan yang kurang baik ini. Akhirnya kami tidak ingin terlalu kecewa dalam penyesalan dan kami memutuskan untuk foto-foto selama berada di puncak ini sebagai bukti bahwa kami pernah menginjakan kaki di puncak tertinngi ke dua di Jawa tan tertinggi di Jawa Tengah.
Aku sempat berbincang dengan Julfri ketika ada dipuncak dia sempat kecewa dan berkata.
“Anjir, bener-bener nyesel urang dikasih kabut gini, udah capek, keluar duit banyak pemandangan gak dapet, trauma urang ini,” ujarnya.

Foto : Groupfie di Puncak.
Jujur aku juga merasakan hal yang sama terlebih lagi bisa dibilang selama dalam perjalanan puncak ini aku yang paling banyak menderita mulai dari maag kabuh, buang hajat, lutut kiri sempet kegeser, togsis ilang, sarung tangan ilang, kehujanan lagi, tapi tetep ambil positifnya aja mungkin ini pelajaran bagi kami, agar lebih bijak ketika akan mengambil keputusan, jangan terburu-buru dan tetap sabar. Mungkin dilain kesempatan kita akan mendapatkan yang lebih baik dari ini setidaknya sudah syukur kita bisa dengan selamat dan di puncak Slamet ini :)

Foto : Inggit Fadillah.
Terlepas dari itu semua perasaan Galau ini, akhirnya hilang bahkan aku sempat membuat beberapa tulisan yang memang sering aku buat ketika ada di gunung untuk Inggit Fadillah agar kelak dia mau membuka hatinya dan melihat bahwa sebenarnya aku memang niat untuk menjalin hubungan yang serius dengannya. Tetapi apa daya, hingga aku menulis kisah ini, Inggit Fadillah masih saja seperti itu, cuek dan tidak peduli bahkan kini kita sudah tidak pernah berbincang lagi seperti dahulu kala.
Aku benar-benar tidak tahu akan seperti apa kisahku dengan Inggit ini. Apakah akan happy tapi bad ending seperti di puncak Slamet ini ? Aku rasa hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Kemudian, kalau Inggit Fadillah suatu saat nanti membaca tulisanku ini, aku cuman mau bilang :

Foto : Inggit, dan Inggit Lagi.
ADVERTISEMENT
"Inggit, I love you so much, seandainya kamu tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya, aku harap kamu bisa memberi kesepatan kepadaku agar bisa lebih dekat dengan dirimu. Mungkin aku bukan orang yang baik, tapi aku aku selalu berusaha untuk menjadi orang yang selalu ada disampingmu saat kamu merasa sedih, senang maupun sulit, seandainya saja kamu bisa memberiku sebuah kesempatan. Ah seandainya ya..