Konten dari Pengguna

Apakah Kerja Pers di Indonesia Sudah Bebas?

Muhammad Fadlan Athariq
Pekerjaan saya sehari-hari adalah ke kampus. Saat ini saya adalah mahasiswa di Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak ada yang spesial, saya hanya suka menulis untuk membagikan ilmu yang saya dapat. Itu saja
26 Oktober 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengadil yang dikekang ketika ingin mengungkapkan kebenaran (by: canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengadil yang dikekang ketika ingin mengungkapkan kebenaran (by: canva)
ADVERTISEMENT
Apabila dilihat secara awam, pertanyaan diatas terlihat sangat simpel bagi yang membacanya. Layaknya pertanyaan-pertanyaan seperti “sudah makan apa belum?”, “Kota Padang luasnya berapa”, “jarak antara kos dengan Kampus UNAND seberapa jauh?”, dan bentuk pertanyaan sederhana lainnya. Namun, bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berfokus pada kajian jurnalistik, pertanyaan tadi memerlukan waktu yang sangat lama untuk menjawabannya. Perlu riset dan penelitian yang akurat supaya kita bisa melihat sejauh mana kebebasan pers di Indonesia pada saat ini.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, pers dianggap sebagai the fourth estate (pilar demokrasi keempat) dalam negara demokrasi. Kenapa? Karena dengan pers, kinerja pemerintah mampu dibatasi supaya tidak melanggar hak-hak rakyatnya. Pers juga diibaratkan wacth dog (anjing pengawas) bagi penjabat negara. Setiap gerak-gerik pemerintah tidak boleh lepas dari mata pekerja jurnalistik. Maka dari itu, perlu bagi pers untuk dapat kebebasan yang luas supaya bisa mendapat informasi yang akurat dalam menyampaikan berita.
Bagi pemerintah yang otokrat (gaya kepemimpinan yang condong mendominasi rakyatnya), keberadaan pers tentu sangat menganggu. Gerak pemerintah yang mencoba menipu, melanggar, dan mengesampingkan kebutuhan rakyat, tentu akan tercium jejaknya oleh pekerja jurnalistik. Gaya pemerintahan ini biasanya berusaha untuk menjinakkan wactg dog tadi supaya tunduk pada pemerintah. Bentuknya bisa dengan membuat peraturan-peraturan baru yang menekan kerja pers, menetapkan “pasal karet”, mengurangi sifat kompetitif pemilu, mereduksi norma pertanggung jawaban hukum bagi penjabat publik, atau bahkan sampai menggunakan kekerasan. Semua hal tadi sangat mengancam kebebasan pers dalam mengungkap kebenaran. Apabila praktek tersebut dibiarkan terus berjalan, lama-lama fungsi pers akan hilang dan negara demokrasi yang diimpikan akan sirna.
ADVERTISEMENT
Contoh nyata kebebasan pers yang dikekang, bisa kita lihat pada masa pemerintahan orde baru. Pada saat itu, pers benar-benar takut dalam hal memberitakan kinerja pemerintah. Berita-berita yang ingin dipublikasikan harus disetujui oleh pemerintahan Soeharto. Apabila dinilai mengkritik pemerintah, berita tersebut tidak boleh dimuat. Jikalau ada pers yang masih ngotot ingin memberitakan, maka hak pers tersebut akan dicabut dan tidak boleh lagi beroperasi oleh pemerintah. Kenapa pada masa itu kekuatan pemerintah begitu dominan? Karena Soeharto membangun gaya pemerintahan yang otokrat dengan cara membungkam pers dengan menerapkan Surat Izin Terbit (SIT) bagi setiap media yang ada di Indonesia pada waktu itu. Bagi media yang terindeksi menyerang pemerintah, maka SIT mereka akan dicabut dan perusahaan pers tersebut tidak lagi boleh beroperasi.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran pada zaman itu memberitakan hal-hal terkait bisnis anak presiden, bisnis penjabat publik, pelanggaran hak asasi oleh TNI, kinerja polri, adalah sesuatu yang sensitif. Petinggi pemerintahan pada masa itu bisa disebut untouchable oleh tangan-tangan pers. Namun setelah Pemerintahan Soeharto lengser, pers menjadi merdeka. Mantan Presiden BJ. Habibie yang pada saat itu naik sementara menggantikan Soeharto, langsung menekan kekuasaan militer dan merilis Undang-Undang untuk membebaskan kerja pers (UU No. 40 Tahun 1999).
Pada masa reformasi ini, seharusnya pers mendapatkan kebebasan kerja yang sangat-sangat luas. Tidak ada lagi bayang-bayang pemerintahan orde baru dan kekuatan militer. Jurnalis dengan leluasa mendapatkan izin untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baik perihal kinerja pemerintah, maksud peraturan baru, kebijakan yang dinilai tidak objektif, bisnis anak presiden, dan hal-hal sensitif lainnya. Apabila ada yang berani menghalangi kerja pers seperti mencari informasi, maka akan dikenakan sanksi penjara maksimal 2 Tahun atau denda paling banyak 500 Juta (UU No. 40 Tahun 1999).
ADVERTISEMENT
Kembali ke pertanyaan awal, apakah kinerja pers di Indonesia sudah bebas? Sayangnya jawabannya belum. Merujuk pada data Freedom House yang berfokus pada aspek kebebasan pers pada negara, mengemukakan Negara Indonesia mengalami kemunduran pada kebebasan pers dalam 5 tahun terakhir (2017-2021). Skor kebebasan pers di Indonesia menunjukan 65/100 pada tahun 2017. Namun bukannya meningkat, skor kebebasan Pers Indonesia malah menurun hingga menyentuh angka 59/100.
Faktor Freedom House memberikan skor yang begitu rendah pada Negara Indonesia tentu memiliki alasan yang jelas. Dikutip dari Artikel M. Fajri Shodiq Ramadlan (2021) yang berjudul “Kemunduran Demokrasi dan Kebebasan Pers di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara”, mengatakan bahwa indeks kebebasan pers di Indonesia terus menurun sejak Tahun 2013 dari status free (bebas) menjadi partly free (sebagian bebas). Freedom House menyatakan menurunan tersebut karena kekhawatiran pada menajamnya polarisasi pada pemilu Tahun 2014 hingga 2019, baik dalam pemilihan presiden ataupun pemilihan kepada daerah (Warburton, 2020). Juga bertambah ketatnya pengawasan pemerintah pada aktivis media sosial, pembubaran organisasi, intimidasi terhadap NGO (Non-Governmental Organization), menjadi alasan turunnya indeks kebebasan pers di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Laporan Freedom House pada Tahun 2014 juga mencatat kualitas Demokrasi Indonesia menurun sebab terbitnya regulasi yang samar, multi-tafsir, atau pasal karet yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran berujung pidana. Hal ini merujuk pada pelanggaran pidana yang tersembunyi dalam istilah “ujaran kebencian”, “anti-pancasila”, atau “anti pemerintah”, yang dijadikan alat untuk menipulasi politik, menganggu kerja pers, dan rawan untuk menutup mulut para aktivis.
Menarik dari alasan-alasan yang ditulis oleh Freedom House, maka bisa saja kita setuju bahwa indeks kebebasan pers di Negara Indonesia masih lemah. Fakta-fakta yang diangkat oleh badan yang fokus pada kebebasan pers di dunia ini juga sangat relevan dengan realita di lapangan. Mungkin tidak perlu bagi saya menyebutkan “pasal karet” yang Freedom House maksud, organisasi yang dibubarkan oleh pemerintah, atau ancaman yang didapatkan oleh NGO di Indonesia. Saya rasa pembaca sudah paham kasus-kasus diatas pernah terjadi kepada siapa. Banyak sekali berita yang memuat hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya berharap kebebasan pers di Indonesia kembali naik menyentuh status bebas (free). Supaya kerja pers makin maksimal dalam hal mengungkapkan kebenaran. Saya juga berharap masyarakat semakin peka terhadap pelanggaran kebebasan pers di Indonesia. Setidaknya pada yang membaca artikel saya pada saat ini. Pahamilah bahwa pers sangat penting bagi bagusnya Demokrasi Indonesia. Biarkanlah the fourth estate tetap berfungsi dan wacth dog tetap mengawasi. Semoga dengan itu Rakyat Indonesia menjadi merdeka dari sifat-sifat penjajah.