Konten dari Pengguna

Bahaya Budaya Amplop Bagi Citra Wartawan

Muhammad Fadlan Athariq
Pekerjaan saya sehari-hari adalah ke kampus. Saat ini saya adalah mahasiswa di Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak ada yang spesial, saya hanya suka menulis untuk membagikan ilmu yang saya dapat. Itu saja
29 Agustus 2024 10:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wartawan adalah orang yang bertugas untuk memberikan berita atau informasi kepada masyarakat luas. Mereka berusaha memberikan sebuah berita yang akurat dan mudah
Ilustrasi Wartawan yang hanya memikirkan amplop ketimbang isi beritanya (dok: pribadi)
dipahami, sehingga menerangi mata-mata publik yang buta terhadap informasi. Wartawan diibaratkan watchdog atau ‘anjing penjaga” yang bekerja untuk mengawasi kinerja pemerintah. Apabila ada yang salah atau keliru soal kebijakan pemerintah, maka Wartawan adalah orang pertama yang paling bertanggung jawab untuk memberitakan hal tersebut. Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia, Jimly Asshiddiqie, pernah mengatakan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Bagaikan matahari, pers menerangi masyarakat supaya tidak dibodohi oleh pihak tak terpuji.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pilar tersebut berusaha dihancurkan oleh oknum yang merasa terkekang gerak langkahnya. Wacthdog yang awalnya bertugas menjaga pemerintah, sekarang berusaha dijinakkan. Mereka dibuat patuh supaya hanya membuat berita baik untuk tuannya. Menuliskan berita-berita yang condong menguntungkan pihak tertentu. Banyak cara yang bisa dipakai untuk meruntuhkan pilar demokrasi ini. Salah satunya yaitu dengan menggunakan “budaya amplop”.
Apa itu budaya amplop? Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa budaya ini bersifat buruk dan berhubungan dengan benda bernama uang. Budaya amplop adalah sikap buruk Wartawan yang hanya menjalankan tugas, apabila dikasih uang. Mereka menjadikan duit sebagai prioritas utama ketika menjalankan tugas. Bahasa buruknya yakni “dielus duit, baru jalan”. Budaya ini dipraktekkan oleh banyak pihak, seperti perusahaan, penjabat, atau orang-orang yang ingin dikenal baik dengan membangun citra lewat media.
ADVERTISEMENT
Contohnya bisa kita lihat ketika sebuah perusahaan sedang terkendala konflik yang cukup parah. Nama perusahaannya bisa buruk karena kasus yang sedang mereka hadapi. Kasus yang memperlihatkan jahatnya prilaku mereka dan itu harus ditutupi. Siapa orang yang pertama kali harus ditutup mulutnya oleh perusahaan? Tentu saja mereka yang lihai dalam menulis berita, yakni Wartawan. Bagaimana cara membujuk Wartawan supaya patuh? Tentu saja dengan “amplop”. Mereka akan jinak jika dikasih duit, begitu buruknya citra Jurnalis yang suci dimata pihak tak bertanggung jawab.
Budaya amplop tidak bisa dianggap remeh oleh Jurnalis. Budaya ini mampu meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pers dan juga mengotori jiwa Jurnalis yang bekerja demi masyarakat. Disini, saya akan memaparkan beberapa pandangan buruk yang sudah melekat pada masyarakat sejak dulu kepada Wartawan:
ADVERTISEMENT
1. Wartawan sosok yang menakutkan.
Mendengar nama Wartawan, membuat telinga penjabat daerah merasa risih. Bagaimana tidak, Wartawan sudah dipandang dengan orang yang suka mencari masalah demi mendapatkan berita. Hal ini muncul karena Wartawan sering mengancam masyarakat yang tidak paham media, untuk memberikan mereka uang. Kalau menolak, oknum Wartawan ini akan menakut-nakuti masyarakat tersebut dengan dalih mampu membuat berita buruk tentang mereka sehingga bisa ditangkap oleh Polisi. Mereka juga sering menyertakan foto bersama penjabat penting atau mengaku kenal dengan pihak berwajib.
2. Wartawan kebal hukum.
Pandangan ini melekat pada Wartawan karena ulah oknum yang dengan jahatnya memayungi diri mereka dengan Undang-Undang. Wartawan berhati kotor ini sering menggunakan UU Pers pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, tentang larangan bagi orang yang berani menghalangi atau menghambat pekerjaan Jurnalis saat mencari berita.“Wartawan Abal-Abal” ini juga sering melindungi pekerjaan kotor mereka dengan UU Pers Pasal 4 Ayat (2) dan (3) UU No. 40 Tahun 1999, soal Wartawan tidak bisa dilarang saat menyiarkan berita dan memiliki hak dalam mencari dan memperoleh informasi dan gagasan. Undang-Undang yang awalnya dibuat untuk melindungi pekerjaan Wartawan, malah disalah-gunakan demi mendapatkan uang.
ADVERTISEMENT
3. Wartawan selalu membutuhkan berita
Presepsi bahwa Wartawan membutuhkan berita demi mencari nafkah, dengan jahatnya dimanfaatkan oleh orang tidak tahu malu. Mereka memperalat Wartawan untuk bisa menuliskan berita yang baik demi membangun citra, memperbaiki nama, sosialisasi kebijakan bodong, atau bahkan memperkenalkan produk mereka, lalu nantinya akan dikasih uang saku sebagai imbalan. Mata Wartawan yang condong terhadap uang akan dirusak oleh prilaku-prilaku tidak bertanggung jawab ini.
4. Wartawan selalu komersial.
Kata-kata setiap berita berujung pada permintaan amplop, berhasil memperburuk citra Wartawan. Perkataan tersebut bisa ditarik kesimpulannya oleh masyarakat bahwa, setiap sumber berita akan ditukar dengan rupiah. Padahal gaji dan kesejahteraan Wartawan bukanlah tanggung jawab si sumber berita, tapi itu adalah tanggung jawab pers tempat mereka bekerja. Idealis para Wartawan sudah dikalahkan dengan uang. Pupus sudah kepercayaan masyarakat, apabila berita saja bisa dibuat oleh mereka yang memiliki duit. Bukan lagi demi menyampaikan kebenaran, tapi demi harta dan kekayaan.
ADVERTISEMENT
Budaya amplop harus segera diberantas dalam tubuh Jurnalis. Presepsi masyarakat yang buruk terhadap Wartawan harus dihilangkan. Dengan begitu, kepercayaan publik akan kembali pada Jurnalis. Hentikan memberikan amplod kepada Wartawan. Sikap tersebut akan mengurangi jumlah “Wartawan bodong” atau “Wartawan Tanpa Suratkabar (WTS)” yang terus bermunculan dan menggerogoti jiwa Jurnalis yang suci. Kembalikan pilar keempat demokrasi pada tempatnya. Pilar yang mampu menerangi jalannya demokrasi sehingga berjalan seperti seharusnya. Kembalikan fungsi wacthdog yang dulu garang dan buas terhadap pemerintah. “Anjing penjaga” yang benar-benar menjaga masyarakat dari jahatnya prilaku penjabat-penjabat yang tidak amanah. Semoga jiwa Jurnalis selalu suci. Semoga mereka selalu melekat di hati masyarakat dan rasa kepercayaan itu tumbuh hingga tak tergoyahkan.
ADVERTISEMENT