Konten dari Pengguna

Kesalahan Berita, Hak Jawab dan Koreksi adalah Kunci

Muhammad Fadlan Athariq
Pekerjaan saya sehari-hari adalah ke kampus. Saat ini saya adalah mahasiswa di Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak ada yang spesial, saya hanya suka menulis untuk membagikan ilmu yang saya dapat. Itu saja
8 September 2024 8:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pers diibaratkan sebuah lampu yang berguna untuk menerangi jalan publik supaya pasti langkah mereka menuju tujuan masing-masing. Begitulah kata para pakar jurnalistik atas fungsi kerja Pers di dunia. Sebagai penerang, tentu mereka bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat. Apabila tidak ada Pers, bumi ini penuh dengan kegelapan dan kebodohan. Masyarakat buta terhadap informasi dan pembaruan. Apabila matahari adalah sumber cahaya di langit, maka Pers adalah cahaya untuk bumi.
ADVERTISEMENT
Selama menjalankan tugas, apakah Pers tidak pernah salah? Apakah semua berita yang berikan Pers sudah pasti faktual dan akurat? Sebagaimana perkataan masyarakat umum, tidak ada manusia yang sempurna. Mereka pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Begitu juga Pers, mereka tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan. Lalu, bagaimana jika Pers memberitakan informasi yang kurang akurat atau menimbulkan kesalahpahaman? Hak jawab dan hak koreksi adalah jawabannya.
Apa itu hak jawab? Dalam Pasal 1 Nomor 11 Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dijelaskan bahwa,
"Hak jawab adalah hak seseorang atau kelompok untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya."
Jadi, hak jawab bisa digunakan apabila kita merasa dirugikan oleh berita yang dibuat media. Bentuk dirugikan tersebut bisa berbentuk personal yang jelek, membangun citra yang buruk, atau pencemaran nama baik. Misalnya, ketika suatu media mengeluarkan berita tentang kita, namun isi beritanya dirasa memojokkan personal yang mampu mencemarkan nama baik kita. Maka hak jawab bisa dikirimkan kepada Dewan Pers untuk melaporkan media tersebut. Kenapa Dewan Pers? Karena mereka adalah badan yang bertugas untuk mengurus media-media di seluruh Indonesia dan mereka memiliki hak untuk menghukum media yang bersalah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan hak koreksi? Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 Nomor 12 UU Pers No. 40 Tahun 1999). Sederhananya, hak koreksi digunakan apabila kita melihat ada kekeliruan informasi atau ketidaksesuaian fakta dalam berita. Kita bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada Pers yang bersangkutan (biasanya mereka menaruh email atau nomor kontak pemimpin redakasi) dan apabila terbukti ada kekeliruan, wajib untuk diperbaiki.
Tidak hanya disinggung oleh UU Pers no. 40 tahun 1999, hak tolak dan hak koreksi juga ikut dirangkum dalam Kode Etik Jurnalistik. Hal itu terdapat pada Pasal 11 yang berbunyi,
“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”.
ADVERTISEMENT
Banyaknya pasal yang membahas kedua hak ini, secara tidak langsung mewajibkan para pekerja jurnalistik untuk paham dan melayani hak jawab dan hak koreksi ini. kewajiban tersebut juga tertera pada Pasal 1 Nomor 13 UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Timbul pertanyaan selanjutnya, bagaimana kalau hak jawab atau hak koreksi ini tidak dihiraukan oleh Pers atau media massa? Ternyata, bagi mereka yang tidak menghiraukan dua hak ini bisa terkena pidana. Hal tersebut dicantumkan pada Pasal 18 ayat (2) UU Pers dan bisa terkena denda paling besar sebanyak 500 juta rupiah.
Contoh kasus hak jawab bisa kita lihat pada konflik Mayjen TNI Chairawan dengan Majalah Tempo. Mayjen Chairawan memberikan hak jawab kepada Media Tempo dikarenakan dia merasa tersinggung terhadap judul yang dibuat Tempo, yakni “Tim Mawar dan Rusuh Sarinah”. Chairawan mengatakan judul tersebut mengandung unsur opini dan keberpihakan. Hak jawab ini dikirimkan kepada Dewan Pers dan setelah diperiksa, terbukti ada unsur opini Majalah Tempo. Dewan Pers meminta pihak Tempo untuk menyampaikan permintaan maaf di Majalah Tempo dan media siber selambat-lambatnya 7 hari setelah menerima rekomendasi dari Dewan Pers.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan mekanisme penggunaan hak koreksi? Hal ini bisa kita lihat dari kasus nyata yang dikutip dari buku karangan Bill Kovach & Tom Rosenstiel yang berjudul “Sembilan Elemen Jurnalisme”, mungkin bisa membuat kita paham akan hak koreksi ini. Diceritakan ada seorang pembaca media Slate (Media Amerika) yang menemukan ketidakakuratan data dari sebuah berita yang ditulis oleh A.O Scott. Takut bahwa informasi tersebut bisa menimbulkan kekeliruan, pembaca tersebut langsung melayangkan sebuah email kepada Slate dan meminta mereka mengkoreksi berita tersebut. Media Slate merespon hak koreksi dari pembaca dan mengubah isi berita mereka dengan informasi yang lebih akurat. Setelah kejadian itu, setiap pembaca
Gambar Wartawan lagi mewawancarai seorang tokoh publik (by: Canva)
tidak akan lagi menemukan tulisan A.O, Scott sebelum dikoreksi.
ADVERTISEMENT
Seeley Brown mengatakan, “Anda/kita bergerak menuju jurnalisme dua arah”. Saat ini, semua bisa menjadi reporter dan mengomentari suatu berita. Terbangunnya jurnalistik dua arah ini membuat publik tidak hanya menjadi pembaca pasif, tapi bisa merespon berita tersebut dengan dukungan atau kirtikan. Maka dari itu, fungsi hak jawab dan hak koreksi ini bisa mendukung komunikasi dua arah tersebut. Pers tidak hanya menjadi sumber kebenaran tunggal, fungsi mereka terbantu oleh partisipasi publik yang aktfi dan peduli terhadap kebenaran.