Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Multikulturalisme: Sebuah Anugerah atau Malapetaka?
29 September 2024 8:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara yang tepat untuk dijadikan bahan kajian pembahasan kita kali ini. Bagaimana tidak, kurang multikultural apa Bumi Nusantara ini? Data dari sensus BPS tahun 2010 mengatakan bahwa Indonesia tercatat memiliki 1.340 suku. Penduduknya juga tumbuh dari berbagai macam ras yang membuat rakyat kita berbeda mulai dari warna kulit, rambut, dan juga ukuran tubuh. Pemerintah Indonesia juga mengakui adanya enam macam kepercayaan yang boleh dipeluk oleh tiap individu. Segala perbedaan tersebut sudah cukup membuat Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang multikultur.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud dengan negara multikulturalisme? Secara singkatnya, negara multikultur adalah negara yang penduduknya memiliki banyak macam perbedaan budaya. Akibat dari perbedaan tersebut, masyarakat di dalamnya membentuk kelompok-kelompok sosial sesuai kesamaan budayanya. Seperti Indonesia yang tiap individunya membuat kelompok berdasarkan kesamaan budayanya. Contoh kelompok budaya Minang, Melayu, Sunda, Jawa, batak, dan lain sebagainya.
Suatu keajaiban apabila semua kelompok tersebut, baik terbentuk oleh perbedaan suku, ras, dan agama, mau menurunkan ego mereka untuk bersatu dalam satu negara yang padu. Bersatu dalam negara yang bernama Indonesia. Tapi keajaiban tersebut benar-benar terjadi di Bumi Pertiwi ini. persatuan tersebut diikat dalam satu ikatan khusus yang tertulis di lambang negara kita, yakni “Bhineka Tunggal Ika”.
ADVERTISEMENT
Perbedaan akan menimbulkan konflik. Itu adalah suatu kebenaran yang mutlak dalam ilmu sosiologi. ketika banyaknya kelompok di suatu negara, akan ada kecenderungan dari masing-masing kelompok untuk memiliki sifat etnosentrisme (merasa bangga akan kelompoknya dan meremehkan kelompok lain). Ditambah lagi dengan adanya kelompok yang dominan dan yang tidak dominan. Tidak ada jaminan bagi kelompok yang banyak untuk memiliki keinginan menguasai budaya-budaya lemah disekitarnya. Hal tersebut mungkin saja terjadi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi kita, Indonesia yang sudah berumur 79 tahun ini sudah melewati begitu banyak konflik yang didasari oleh kemajemukan masyarakatnya. Dikutip dari media Tempo.co, pada tahun 2001, Indonesia pernah mencatat sejarah berdarah di Kota Sampit, Kalimantan. konflik tersebut terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura. ketegangan antara dua suku tersebut mengakibatkan puluhan rumah terbakar, 500 orang meninggal tanpa kepala dan berserakan di jalanan. Sungguh sangat besar pertikaian tersebut sehingga 100.000 penduduk Madura harus mengungsi untuk menghindari serangan balas dendam Suku Dayak yang mengerikan pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya konflik antar suku, pada tahun 1999, terjadi sebuah konflik yang berlatar agama di Kepulauan Maluku. Kejadian ini dinamakan dengan Maluku Berdarah. dilansir dari Kompas.com, konflik Maluku Berdarah memakan korban yang diperkirakan sebanyak 8.000 hingga 9000 jiwa. terhitung 29.000 rumah terbakar, 7.046 mengalami kerusakan. juga termasuk masjid, gereja, toko, dan juga gedung pemerintahan. Akibat dari konflik tersebut, 70.000 orang terpaksa mengungsi untuk menghindari pertikaian.
Tidak ada yang bisa memastikan apa yang mengakibatkan benturan antar dua agama sebesar itu bisa terjadi. Tapi ada yang mengatakan bahwa awal pertikaian ini muncul akibat pertengkaran kecil antara individu di Kota Ambon. Namun, hal yang awalnya dianggap sepele tersebut ternyata bisa menjadi sumbu yang melahirkan perkelahian antar kelompok agama di Maluku. Konflik tersebut akhirnya bisa diredakan dengan sebuah perjanjian damai yang ditandatangani oleh kedua pihak umat islam dan kristen. lambat laun, masyarakat Maluku akhirnya bisa berdamai dengan perbedaan tersebut. Bahkan menurut BPS 2021, Maluku Utara menempati posisi pertama pada provinsi dengan rakyat paling bahagia di Indonesia. Seakan tinta berdarah tersebut sudah hilang tanpa bekas karena sikap mau menghargai perbedaan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan budaya memang akan menghasilkan konflik. Sikap tidak mau open minded kepada budaya yang berbeda dengannya, akan mengakibatkan kesalahpahaman atau lebih parah, diskriminasi terhadap budaya lain. Menurut Van de Berghe yang dikutip dari buku “Ilmu Sosial Budaya Dasar” karangan Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, dan Ridwan Effendi, faktor masalah yang terjadi kepada masyarakat majemuk ada 6:
● Terjadi segmentasi ke kelompok yang memiliki budaya berbeda
● Memiliki stuktur sosial yang terbagi dalam lembaga yang bersifat nonkomplementer (tidak saling mengisi)
● Kurang mengembangkan konsensus pada masyarakat soal nilai sosial dasar
● Sering terjadi masalah antar kelompok karena perbedaan
● Integrasi sosial muncul hanya karena paksaan dan masalah ekonomi
● Adanya dominasi politik antara satu kelompok ke kelompok yang lain
ADVERTISEMENT
Perbedaan anugerah atau malapetaka? Itu adalah pertanyaan yang tepat ditanyakan kepada Rakyat Indonesia. Tapi menurut saya yang sebagai Rakyat Indonesia juga, perbedaan bagaikan “pisau bermata dua”. Perbedaan bisa saja menjadi kekuatan atau anugerah. Ketika perbedaan dijadikan sebagai alat untuk saling memahami, mengerti, dan menghargai orang yang berbeda dengan kita, juga perbedaan suku, ras, dan agama dianggap hal yang biasa oleh masyarakatnya, tentu perbedaan tersebut akan menjadi sebuah kekuatan bagi Indonesia untuk maju.
Namun, perbedaan juga bisa berujung malapetaka. Sebagaimana dengan contoh yang saya paparkan tadi. Perbedaan bisa menimbulkan konflik, pertikaian, bahkan perang kebudayaan. Sikap-Sikap etnosentrisme dan menolak pluralisme, menjadi buah diskriminasi dan tidak mau mengerti dengan budaya diluar kelompok mereka. Kalau terus dibiarkan, perbedaan akan mampu memecahkan suatu negara karena faktor perang budaya yang tidak jua berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Tapi menurut pengamatan pribadi
saya, Indonesia akan sampai pada waktu dimana perbedaan akan menjadi hal yang biasa dan mampu untuk dihargai. terlihat dari banyaknya konten-konten di media sosial yang bertujuan untuk menghargai perbedaan. Acara-Acara yang menampilkan tari, makanan, dan permainan dari budaya yang berbeda, hingga sosialisasi budaya-budaya yang ada di Indonesia pada sekolah-sekolah. Semua itu bertujuan untuk menanamkan nilai sosial dasar, yakni perbedaan sosial pasti akan dan itu adalah hal yang biasa pada sistem sosial di masyarakat.