Konten dari Pengguna

Tren Garuda Biru dan Kemajuan Teknologi Sesuai Teori Wilhelm

Muhammad Fadlan Athariq
Pekerjaan saya sehari-hari adalah ke kampus. Saat ini saya adalah mahasiswa di Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak ada yang spesial, saya hanya suka menulis untuk membagikan ilmu yang saya dapat. Itu saja
26 Agustus 2024 7:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tren Garuda Biru pertama kali muncul pada Tanggal 21 Agustus 2024, yang dipopulerkan oleh Mata Najwa di akun media sosial X (Twitter) miliknya. Garuda Biru muncul sebagai simbol perlawanan kepada DPR RI, yang abai terhadap keputusan Mahkama Konstitusi (MK) persoalan syarat pencalonan kepala daerah (Pilkada) untuk 2024. MK tidak memiliki rencana untuk merevisi UU Pilkada, namun DPR RI tidak menghiraukan keputusan tersebut. Gambar Garuda Biru langsung berteger indah di trending topic media X pada masa itu dengan jumlah 25.000 tweet. Sedangkan tagar #kawalPutusanMK, berhasil mendominasi X dengan 490.000 tweet. Aksi Garuda Biru juga diramaikan oleh artis, musisi, influencer, hingga Pelawak terkenal, seperti Joko Anwar, Bintang Emon, Pandji Pragiwaksono, Baskara Putra (Vokalis Hindia), dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Akibat tweet tersebut, tanggal 22 Agustus 2024, massa memenuhi jalanan. Mereka bersatu dalam satu suara dan mengepung Gedung DPR RI. Semuanya turun ke jalan. Mulai dari buruh, mahasiswa, pelajar, guru, aktor, atau apapun profesi mereka, semuanya datang untuk menggunakan suara mereka, yakni suara rakyat. Massa melakukan orasi yang membakar semangat demonstran. Abdur Arsyad, Bintang Emon, hingga Reza Rahadian ikut mengeluarkan aspirasi mereka diatas mobil yang dibawa massa. Walaupun terjadi bentrok dengan pihak Kepolisian sehingga demo sempat berjalan tidak kondusif, pada akhirnya DPR sepakat membatalkan revisi UU Pilkada. Perjuangan rakyat tidak berakhir sia-sia.
Lalu, apa hubungannya dengan teori Anthony G. Wilhelm? Beliau adalah seorang pakar komunikasi. Salah satu teori Anthony G. Wilhelm adalah persoalan perkembangan teknologi informasi. Menurut Wilhelm, ada dua pandangan para pakar dan akademisi soal perkembangan teknologi. Yang pertama, mereka memandangnya sebagai ancaman. Teknologi yang semakin canggih mampu mengaburkan norma-norma yang sudah ada sejak dahulu. Namun mereka tidak melarang akan globalisasi atau kemajuan zaman, mereka hanya meminta masyarakat lebih hati-hati dalam penggunaan teknologi. Bagaimana tidak, dulu kita berkomunikasi secara tatap muka (offline). Sekarang, kita hanya butuh benda sebesar genggaman untuk bisa berkomunikasi dengan orang dari pulau seberang.
ADVERTISEMENT
Dunia online tidak ada hirarki, yang berarti disana semua orang setara tanpa pangkat dan jabatan. Bagus, namun tidak adanya aturan adalah sebuah masalah. Semua orang bebas pemakai akun anonim dan menghujat orang lain dengan buta. Tidak memandang mental atau siapa yang akan mereka rugikan. Kaburnya ruang pribadi juga menjadi salah-satu sumbu timbulnya komen negatif dan caci-maki dari akun-akun palsu. Belum lagi hoax atau berita palsu yang mampu merugikan pihak tertentu dan membuat rumit setiap konflik sekecil apapun itu.
Ilmu logika paling simpel adalah ilmu membandingkan. Setiap melihat suatu objek, jangan hanya memakai satu lensa. Pakailah dua lensa, sehingga kita dapat membandingkannya. Makruh hukumnya apabila kita hanya melihat hal yang buruk dari pekembangan teknologi. Faktanya, banyak hal positif yang kita dapatkan dari era globalisasi. Contohnya kecilnya seperti terbukanya ruang diskusi publik. Rakyat bisa terlibat dalam setiap diskusi dan bisa berpendapat disana. Kritik dan saran pada pemerintah juga lebih mudah, daripada melalui jalur birokrasi yang kita sama-sama tahu bahwa pesan tersebut belum tentu sampai pada pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Tren Garuda Biru ini. Mata Najwa dan kawan-kawan mengunakan ruang dunia maya untuk bisa mengajak sekaligus mengingatkan publik agar lebih peduli pada gentingnya situasi politik pada saat itu. Media sosial dengan kekuatan teknologi yang semakin canggih, pesan tersebut tersampaikan hampir ke seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa sengaja, konten tersebut lewat di media sosial saat mereka lagi rebahan. Pesan tersebutlah yang bertanggung jawab atas banyaknya umat manusia memenuhi Gedung DPR RI ataupun DPRD seluruh Provinsi di Indonesia pada Kamis itu. Hingga akhirnya revisi UU Pilkada batal terlaksanakan.
Nicolas Graham (1992) mengatakan bahwa hak-hak berekpresi tidak dapat dipisahkan dari demokrasi. Mereka menyatu dalam tubuh yang
media sosial dapat mengajak masyarakat untuk melakukan hal positif (Gambar diambil dari Pixabay)
sama. Kebebasan berekspresi yang ditekan terus-menerus, membuat kita hilang kesadaran soal kewajiban timbal balik yang wajib ada dalam satu ruang komunikasi. Ada dua hal wajib yang harus ada menurut Graham. Pertama yakni kewajiban untuk mendengarkan pandangan orang lain. Kedua yaitu partisipasi (keikutsertaan) dalam debat dan kewajiban untuk mengikuti hasilnya. Semoga dua kewajiban tersebut selalu dilaksanakan oleh mereka yang duduk “dikursi” dan juga untuk rakyat yang selalu memerhatikan gerak-gerik siapa yang memegang setir pemerintahan.
ADVERTISEMENT