Konten dari Pengguna

Cerita dari Blora: Sudut Pandang Tak Biasa dalam Kisah Pasca-Kemerdekaan

Fadlan Khatami Ahmad
Mahasiswa Bahasa Indonesia UIN Jakarta. 19 tahun. Hobi membaca cerita, menonton film, mendengarkan musik sambil bernyanyi dengan suara sumbang, dan bermotoran ria sambil taat aturan. Wibu pintar, walau tampang di bawah standar
25 November 2021 12:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadlan Khatami Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Judul : Cerita dari Blora
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
ADVERTISEMENT
Penerbit : Hasta Mitra
Terbit : 2002 (cetakan keempat)
Tebal : 322 halaman
Sinopsis Buku
Cerita dari Blora merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sekitar pasca-kemerdekaan. Pram menulis cerpen-cerpennya semasa ia ditahan dalam penjara Belanda. Pada tahun 1952, Cerita dari Blora pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan semenjak itu buku ini semakin digemari. Cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini menceritakan kisah-kisah pada awal kemerdekaan di kota Blora.
Pram menggunakan teknik bercerita yang sedemikian kuat dengan menempatkan pembaca sebagai tokoh utama dengan sudut pandang orang pertama, sehingga pembaca merasa menghadapi suatu kejadian yang nyata. Bahkan orang-orang sampai bertanya-tanya apakah ini pengalaman penulis sendiri atau bukan? Namun yang jelas, walaupun kisah-kisah pada buku ini telah berumur 40 tahun lebih, tetap saja memiliki kisah-kisah yang cukup berelasi dengan kehidupan sekarang dan membawa nilai-nilai yang kuat dalam setiap ceritanya.
ADVERTISEMENT
Apresiasi Kumpulan Cerpen Cerita dari Blora
Cerita dari Blora lebih dari sekadar kumpulan cerpen biasa. Hal itu yang saya rasakan ketika membaca bagian demi bagian dalam buku ini. Kalau boleh dikatakan, pada saat itu saya masih kelas satu SMA, cerita-cerita dalam buku ini membuat saya tertarik masuk ke dunia sastra. Gaya penceritaan Pram pada tiap cerpennya benar-benar membawa saya kepada kisah-kisah yang berusaha disampaikan pada tiap bagian buku ini.
Pada setiap bagian, akan disajikan kisah setiap keluarga dengan masalahnya masing-masing. Cerita juga tak selalu dinarasikan dari sudut pandang satu pelaku cerita, ada pula yang ada dari sudut pandang seorang anak, seorang ibu, seorang ayah, seorang istri, dan seorang suami.
ADVERTISEMENT
Berikut akan saya jabarkan impresi-impresi saya pada setiap bagian cerita dari buku ini. Silakan disimak!
A. Yang Sudah Hilang
Pertama-tama ada cerpen yang berjudul Yang Sudah Hilang, mengisahkan tentang sebuah keluarga yang tinggal di pinggiran kota Blora. Bukan keluarga yang kaya, namun juga bukan keluarga yang miskin. Mereka hidup berkecukupan, lalu di sana ada seorang anak, anak itu dijadikan sebagai sudut pandang bagi pembaca. Kita akan menyimak cerita-cerita yang anak itu alami mulai dari ia kecil sampai beranjak seusia anak SD.
Pengalaman yang diutarakan kebanyakan mengenai sesuatu yang berharga baginya seperti asisten rumah tangga yang selalu menemaninya saat kecil, ayahnya yang perhatian walau terkadang sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang guru. Terkadang hal manis dan berharga seperti itu diharapkan untuk selalu bersama dirinya, selamanya, namun segala sesuatu pasti memiliki akhir. Ia perlahan kehilangan segala yang berharga baginya.
ADVERTISEMENT
Sang ART yang sakit-sakitan, lalu tiba-tiba hilang dari rumah, ibunya mengatakan ia berhenti untuk menghibur anak itu, tapi bukan itu kebenarannya. Sang ayah yang semakin hari semakin sibuk dalam pekerjaannya sehingga jarang pulang. Sekali lagi anak itu bertanya kepada ibunya, namun sang ibu hanya menjawab, “bersabarlah, ayahmu pasti akan pulang”. Benar, ia pulang setiap seminggu sekali, atau bisa dikatakan ia berkunjung seminggu sekali. Ayah sang anak ternyata berselingkuh, ia dan sang ibu sudah berencana akan bercerai. Sang anak yang polos tak tahu apa pun, namun perlahan-lahan ia kehilangan segala sesuatu yang berharga baginya.
B. Yang Menyewakan Diri
Masuk ke bagian kedua pada buku ini. Yang Menyewakan Diri memulai kisahnya dari percakapan antara seorang anak muda dengan seorang kakek-nenek di teras rumah mereka. Pada awal tak tampak apa pun yang aneh, namun ketika anak itu kembali ke rumahnya, orang tuanya melarang ia kembali ke rumah kakek-nenek itu.
ADVERTISEMENT
Orang tua anak itu bercerita kalau keluarga kakek-nenek itu bukanlah keluarga yang baik. Semakin bercerita, semakin diutarakan bahwa mereka adalah keluarga yang hanya ingin uang tanpa bekerja. Jika pada titik ini Anda mengira mereka melakukan hal mistis untuk mendapat uang, Anda keliru. Keluarga tersebut memiliki tiga orang anak, satu anaknya hanya menganggur di rumah, satu anak lagi bekerja pada perusahaan gelap yang tidak jelas apa yang diperdagangkan, dan satu lagi dinikah-kontrakkan. Ya, nikah-kontrak, mereka tega menjual anak mereka demi mendapat uang.
Suatu ketika uang mereka mulai menipis dan sang kakek semakin menjadi kelakuannya. Ia mencuri di sana-sini, bahkan sampai memeras orang dan menipu orang ketika ingin menjual barangnya dengan mengatakan barang yang ia miliki merupakan sebuah benda berharga dari zaman dahulu atau apa pun itu, yang jelas ia hanya membual.
ADVERTISEMENT
Sang anak yang awalnya tidak percaya kemudian melihat dengan mata kepalanya sendiri sang kakek yang hampir diamuk massa ketika kedapatan ingin membunuh seseorang. Rupanya sang kakek dibayar untuk membunuh saingan bisnis seseorang yang membayarnya, hingga dia dipenjara. Sang anak semakin yakin dan mulai menjaga jarak dengan keluarga itu.
C. Inem
Berlanjut ke bagian selanjutnya. Kita pasti tahu kalau pada zaman dulu derajat wanita belum dianggap sama layaknya pria seperti masa sekarang. Inilah yang menjadi topik pada kisah kali ini. Inem, kisah pendek yang menceritakan tentang hidup seorang gadis kecil yang berubah seratus delapan puluh derajat pada usianya yang amat belia.
Inem adalah seorang gadis kecil ceria, senang membantu, dan juga baik hati. Ia tinggal bersama keluarga karakter “aku”, anak yang sebaya dengannya. Keluarga Inem bukanlah keluarga yang baik. Ayahnya seorang penjudi berat yang setiap hari kerjanya hanya berjudi, ibunya bukanlah wanita terhormat yang memiliki pola pikir yang berbeda mengenai derajat pria-wanita, saudara-saudara Inem pun bukanlah saudara yang baik. Mereka mengikuti kebiasaan ayah dan ibunya.
ADVERTISEMENT
Inem dititipkan kepada keluarga “aku” karena keluarganya memiliki krisis keuangan. Pada usia delapan tahun ibunya mendatangi rumah “aku” dan ingin mengambil Inem guna dinikahkan kepada lelaki kaya raya. Sang ibu karakter “aku” yang merupakan wanita terhormat dan paham tentang derajat antara wanita dengan pria, tidak menyukai hal itu. Ia berulang kali meminta agar Inem tak dinikahkan karena ia masih amat belia, namun ibu Inem tetap yakin ingin menikahkan anaknya kepada lelaki kaya itu agar hidup keluarga mereka makmur.
Betul saja, tidak sampai satu tahun pernikahan mereka gadis kecil itu berulang kali disiksa oleh suami barunya. Apa pun yang ia kerjakan selalu salah di mata suaminya. Ia menjadi tak tahan dan akhirnya suaminya menceraikannya.
ADVERTISEMENT
Inem kembali kepada ibu karakter “aku”. Inem memohon kepada sang ibu agar diterima kembali ke keluarga “aku”, namun sang ibu menolak. Ibunya tidak ingin derajat keluarga “aku” jatuh karena menerima seorang janda belia yang merupakan anak seorang yang tidak menghargai wanita. Inem pun mau tidak mau kembali kepada keluarganya. Karakter aku sering kali mendengar teriakan Inem ketika ia disiksa oleh ayah, ibu, mau pun oleh saudara-saudaranya.
Sebuah akhir yang menyedihkan bagi seorang gadis belia yang seharusnya memiliki masa depan lebih baik, namun memiliki keluarga seperti itu. Jujur saja bagian ini cukup mengingatkan saya ke bagian sebelumnya karena memiliki premis yang agak mirip, di mana terdapat keluarga yang tidak benar jalan hidupnya, hanya mementingkan harta, dan memilih jalan mudah untuk mendapat harta, namun kali ini terdapat korban seorang gadis belia yang tidak sepantasnya memiliki nasib yang seperti ini.
ADVERTISEMENT
D. Sunat
Sunat menurut saya merupakan bagian yang cukup simpel dan ringan. Cerita dimulai dari seorang anak yang mendengar dari guru/kiainya mengenai sunat agar menjadi orang Islam sejati. Layaknya seorang anak kecil biasa, ia merasa takut untuk disunat. Pada malam hari ayahnya bertanya kepada dirinya dan adiknya apakah berani untuk disunat. Anak tersebut masih merasa takut namun ia teringat ucapan kiainya yang berkata sunat berguna agar menjadi orang Islam sejati, maka ia berani untuk disunat.
Berselang beberapa hari kemudian keluarga mereka berencana untuk mengadakan panggung sandiwara di kampung mereka guna merayakan penyunatan anak tersebut dan adiknya. Diceritakan kalau sandiwara pada saat itu merupakan hiburan yang amat jarang ditemui di kota kecil seperti Blora, maka ketika ada perayaan yang mengadakan acara cukup besar seperti itu merupakan hiburan yang dinanti-nantikan oleh para warganya.
ADVERTISEMENT
Sampailah pada hari mereka akan disunat. Sang anak dan adiknya bersiap-siap. Setelah melalui berbagai acara perayaan dan syukuran mereka akhirnya akan disunat, lalu sang anak merasa takut kembali, namun ia teringat bahwa dengan disunat ia akan menjadi orang Islam sejati. Selepas disunat ia tak merasa perbedaan apa pun. Beberapa hari kemudian ibunya pun bertanya kepada sang anak “Apakah kamu sudah merasa seperti orang Islam sejati?”, lantas ia menjawab “Aku merasa sama seperti kemarin dan kemarin lagi”, sang ibu membalas “Mungkin kamu harus naik haji seperti kakekmu. Naik kapal”, Anak itu bertanya “Bisakah aku seperti itu, Bu?”, ibunya menjawab sambil menenangkan anaknya “Tidak, Muk. Ayahmu miskin”. Melalui jawaban itu pupuslah harapan anak itu menjadi orang Islam sejati. Pada ujung cerita, ia dikatakan tumbuh layaknya laki-laki lain di kampungnya, kemiskinan perlahan merenggut semua yang ia miliki.
ADVERTISEMENT
Ada poin yang amat ditekankan pada bagian cerita ini, terutama tentang kemiskinan. Kita bisa melihat pada bagian para warga yang jarang mendapati hiburan seperti sandiwara, itu karena kehidupan mereka sendiri saja tidak terlalu mencukupi, maka dari itu perayaan-perayaan seperti itu amat menjadi hiburan yang menarik sekaligus jarang bagi mereka. Ada juga bagian saat sang anak diberitahu oleh ibunya bahwa mereka miskin dan tidak mungkin bisa naik kapal untuk pergi haji. Hilanglah harapan anak itu untuk memenuhi rukun Islam guna membuatnya menjadi orang Islam sejati, bahkan pada akhir cerita sedikit diceritakan bahwa semua hal yang ia miliki perlahan-lahan direnggut oleh kemiskinan, walau belum terlalu jelas hal apa yang direnggut itu.
ADVERTISEMENT
E. Kemudian Lahirlah dia
Pada bagian ini kita dihadapkan oleh sudut pandang seorang anak polos yang serba ingin tahu, mungkin lebih ke tidak sengaja mendengar, lalu ingin tahu apa yang ia dengar. Anak itu bercerita bahwa kehidupan di kota kecilnya berjalan damai dan biasa saja setiap harinya. Sampai pada suatu malam salah satu kakak tertuanya yang bernama Hurip mengeluarkan pendapatnya di ruang tengah. Hurip menyinggung perihal masa depan bangsa, para karyawan yang hanya mengabdi pada Belanda yang saat itu kembali ke Indonesia, dan lainnya, segala hal yang tak dimengerti oleh anak kecil polos.
Semakin lama semakin bahwa kata-kata Hurip memengaruhi banyak orang. Kota Blora yang biasanya damai dan tenang, semakin ramai dan gaduh. Sering kali karakter utama menemukan bentrokan antara warga dengan polisi, terlebih keluarga mereka pada saat itu memang sangat anti terhadap polisi.
ADVERTISEMENT
Ayah sang karakter utama juga semakin sibuk dilihatnya. Ia merupakan petani yang mempunyai semacam sekolah swasta gratis yang ia dirikan guna memberantas buta huruf di kota tersebut. Sering kali rumah sang karakter utama kedatangan polisi yang hendak ‘memeriksa’ seisi rumah, lalu pergi begitu saja. Tentu saja hal itu membuat anak kecil polos ini penasaran. Melalui jawaban ayahnya, rupanya banyak politikus yang tak menyukainya, karena semakin banyak orang bisa baca tulis, maka semakin sedikit juga yang bisa ditipu dan dimanfaatkan. Oleh karena itu mereka sering mengirim utusan guna mengawasi apa saja yang ayah anak tersebut lakukan.
Semakin mendekati ujung cerita kita semakin diperlihatkan kesibukan keluarga tersebut. Rupanya mereka semakin terkenal dan banyak peserta didik yang mendaftar ke sekolah swasta mereka. Namun, hal itu juga membuat sang ayah bertambah stres karena banyaknya antusiasme yang mendaftar, terlebih sang ibu pada saat itu pun tengah mengandung.
ADVERTISEMENT
Sang ayah melampiaskan stresnya dengan berjudi kartu. Sang ibu rupanya tak tahan melihat tingkah suaminya, sehingga sering terjadi pertengkaran di antara mereka. Sialnya karena sang ayah mulai hobi berjudi, hal itu dimanfaatkan oleh politikus untuk menangkap sang ayah. Keluarga mereka tidak dapat berbuat banyak. Semakin hari sekolah swasta itu semakin sepi dan kembalilah kondisi kota seperti sedia kala, damai dan tenang.
Hal yang menarik pada bagian ini ialah usaha para warga biasa untuk memberantas buta huruf ternyata mendapat respons yang cukup negatif dari para politikus. Ibaratnya semakin rakyat bodoh, maka semakin mudah dikendalikan. Itu mengajarkan kepada kita agar jangan mau dimanfaatkan oleh orang lain. Jadilah manusia yang cerdas, bukan hanya ilmu, namun juga cerdas logika dan akal.
ADVERTISEMENT
F. Pelarian yang Tak Dicari
Sejujurnya ini merupakan bagian yang paling saya kurang suka dalam buku ini. Singkat saja, bagian menceritakan tentang sebuah keluarga, lebih tepatnya seorang perempuan bernama Siti, istri dari seorang laki-laki bernama Siman. Keluarga mereka dapat dikatakan keluarga yang amat miskin, bahkan untuk makan sehari-hari saja susah.
Awalnya semua berjalan seperti biasa. Kehidupan sehari-hari mereka, mencari uang, berutang, membayar utang, dan lainnya. Sampai suatu ketika anak bungsu mereka sakit malaria. Sang suami, Siman, mulai menunjukkan perilaku kasar terhadap istrinya, Siti, ketika ia meminta uang guna membeli obat anak mereka. Siti beberapa kali dipukul, bahkan pada suatu malah ketika anak mereka mengerang kesakitan dan Siti meminta kepada Siman untuk membawa anak mereka berobat Siman malah memukulnya karena telah membangunkannya malam-malam.
ADVERTISEMENT
Semakin hari, Siti semakin tak tahan. Ia kemudian kabur dari rumah meninggalkan suaminya dan anak-anaknya. Pergi luntang-lantung, ke sana-ke mari, sampai teringat suatu ketika dia pernah menerima tamu seorang Cina kaya yang menawarkan Siti untuk jadi selirnya. Siti pun datang menemui Cina tersebut, namun ternyata ia sudah mendapat selirnya yang bahkan lebih cantik dari Siti.
Siti lalu pergi lagi, hingga sampailah ia di pinggiran kota, lebih tepatnya sebuah warung kopi remang-remang. Pemilik warung kopi itu melihat Siti dan lantas menawarkan pekerjaan kepada Siti. Pada awalnya pekerjaan yang dilakukan Siti cukup mudah, ia hanya menerima tamu dan menemani mereka di meja, namun lama-kelamaan pemilik warung menambah pekerjaan Siti dengan memintanya menerima tamu malam. Ya, sesuai yang diprediksi, Siti menjadi PSK.
ADVERTISEMENT
Memiliki pekerjaan seperti itu, Siti lama-kelamaan menderita sakit pada perutnya. Siti mulai terlihat lesu dan pucat sehingga tidak menarik minat para tamu yang datang. Akhirnya pemilik warung pun memecat Siti dan menggantikannya dengan wanita yang lebih muda dan cantik. Masih merasa kesakitan Siti berakhir di rumah sakit menjalani rawat inap.
Semasa rawat inap, Siti mengenali seseorang yang tengah menjenguk seorang pasien. Rupanya itu adalah tetangganya. Siti memberanikan diri menegur tetangga dan tetangga masih ingat dengan Siti. Tetangga Siti pun bercerita dua hari selepas Siti kabur dari rumah anak bungsunya meninggal dunia, Siman amat sedih karena Siti kabur dari rumah, dan anak kedua anak mereka yang tersisa tumbuh tanpa mengenal sosok ibu. Mendengar hal itu Siti merasa sedih dan menyesali apa yang telah ia lakukan. Awalnya Siti merasa ragu untuk kembali karena merasa malu dan tidak merasa pantas untuk kembali, namun tetangganya meyakinkan Siti kalau Siman pasti akan menerima Siti kembali.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya Siti kembali ke kampungnya. Benar saja, para tetangga memerhatikan ia dengan tatap sinis dan ada juga yang melihat dengan jijik, seakan-akan mereka baru saja melihat aib yang tengah berjalan. Sampailah Siti di rumahnya, diketuk pintu namun tidak ada jawaban. Siti mencoba membuka pintu dan ternyata bisa. Ia langsung memasuki rumah tersebut dan merasa sedih setelah melihat rumah yang dulu ia tempati bahagia bersama keluarganya. Tidak lama kemudian terdengar suara seorang gadis memasuki rumah, rupanya itu adalah anak Siti, namun ia merasa ketakutan setelah melihat Siti. Hal itu wajar karena anak tersebut pasti sudah lupa dengan sosok ibunya.
Anak itu berlari ke rumah neneknya. Neneknya yang sadar dengan kedatangan Siti pun tidak kuasa menahan amarah dan kekecewaan terhadap Siti. Ia bahkan menyumpahi Siti lebih baik mati saja di luar sana dari pada kembali ke kampung, namun hanya sebagai aib bagi keluarga mereka. Siti yang mendengar hal itu tak kuasa menahan kesedihannya sehingga ia pergi dari rumah ini. Siti yang duduk di sebuah bukit hanya termenung terhadap keputusan bodoh yang dibuatnya sedari awal. Coba saja ia tidak kabur dari suaminya, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini. Lalu, Siti mendengar suara yang memanggilnya. Siti mengenali suara itu, itu adalah suara Siman. Siti yang merasa malu hanya tertunduk dan tak mampu menatap wajah Siman. Siti mengira Siman akan seperti mertuanya yang marah dan kecewa kepada dirinya, namun ternyata Siti salah. Siman memaafkan dirinya dan mengajaknya kembali. Siman berkata kalau ia tidak peduli terhadap pandangan orang lain, asal Siti mau kembali kepada keluarganya, maka ia akan merasa senang dan bersyukur. Sambil menangis tersedu-sedu Siti ikut Siman pulang ke rumah mereka dan akhirnya kehidupan Siti kembali seperti sedia kala sebelum ia membuat keputusan bodohnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin hal yang dapat dipetik dari bagian ini adalah jangan tergesa-gesa dalam memutuskan suatu hal. Terkadang kita hanya perlu bersabar dalam menghadapi suatu masalah, karena siapa tahu solusi yang kita kira dapat menyelesaikan masalah, justru hanya memperburuk keadaan.
G. Hidup yang Tak Diharapkan
Pada bagian ini menceritakan naik-turunnya kehidupan seorang pria bernama Kajan. Kajan hanyalah anak dari keluarga biasa. Keluarga Kajan awalnya hidup berkecukupan melalui hasil panen, namun setelah pendudukan Jepang keluarga mereka jatuh miskkin karena Jepang menyita hampir seluruh hasil panen dan hanya disisakan sedikit untuk keluarga mereka.
Melihat hal ini, Kajan mencari cara agar derajat ia dan keluarganya meningkat. Kajan pun mulai bergaul dengan opsir-opsir Jepang guna mendapat kepercayaan mereka, sampai pada satu titik Kajan mengundang beberapa opsir Jepang ke rumahnya dan ia ‘menghidangkan’ adiknya sendiri kepada para opsir-opsir Jepang tersebut. Namun, bukannya melawan keluarga Kajan malah setuju dan senang akan hal itu karena mereka yakin keputusan yang dibuat Kajan selalu benar, karena Kajan adalah anak paling pintar, atau setidaknya begitulah menurut keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Semakin hari, hubungan keluarga Kajan dengan Jepang semakin erat. Kajan bahkan ditunjuk menjadi guru di salah satu sekolah dalam kekuasaan Jepang. Tidak sampai di situ, Kajan juga mempelajari politik melalui buku-buku yang tersedia di sekolah tersebut. Semakin hari, Kajan semakin sombong. Melalui segala relasinya dengan pemerintahan Jepang dan lainnya ia jadi besar kepala. Hingga sampailah pada masa kejatuhan Jepang. Kajan khawatir bila ia dan keluarganya jadi buruan tentara revolusi.
Ketakutan Kajan mulai menghilang ketika dia mengetahui kalau Belanda kembali menduduki Indonesia. Seperti sebelumnya, Kajan mencari cara agar dirinya dikenal di kalangan Belanda. Kajan sering membocorkan kabar-kabar pasukan gerilya kepada Belanda sehingga pihak Belanda mulai menyukai Kajan. Sayangnya hal itu membuat Kajan menjadi buruan pasukan gerilya dan ia kabur dan tinggal sementara waktu di hutan.
ADVERTISEMENT
Kembali dari hutan Kajan mendapati kalau Belanda sudah mundur dan sekarang tidak ada pihak asing yang berkuasa di Indonesia. Kajan berusaha kembali mendapatkan derajatnya dengan mengajar kembali di sekolah tempat ia dulu mengajar dan di sekolah itu juga Kajan mulai memulai segala hal yang berbau politik sehingga itu menarik minat petinggi-petinggi daerah pada masa itu.
Sayangnya Kajan terlalu berambisi untuk berpolitik sehingga melupakan keluarganya. Kajan hanya terus membangun namanya, namun ia melupakan keluarganya yang selama ini mendukungnya.
Kajan adalah orang yang ambisius, gila hormat, ingin mempunyai derajat yang tinggi, dan tidak suka bila tidak mempunyai kegiatan apa pun. Sayangnya hal ini menjadi bumerang baginya karena segala pekerjaan yang ia melupakan keluarganya.
ADVERTISEMENT
H. Hadiah Kawin.
Dalam bagian ini kita diperlihatkan oleh sudut pandang dari dua orang yang berbeda. Tijah dan Soleman. Sesuai namanya, hadiah kawin berfokus pada kisah asmara kedua tokoh ini. Namun, jauh sebelum mereka berdua mengikat janji suci, terdapat beberapa selingan kisah yang harus diceritakan.
Tijan dulu mempunyai seorang kekasih bernama Mahlani. Mahlani adalah seorang sersan muda Tentara Nasional Indonesia yang gagah serta perkasa. Jatuh cinta Tijah dibuatnya oleh Mahlani. Hubungan mereka semakin lama semakin serius sampai mereka berniat melangsungkan pernikahan. Namun, takdir berkata lain. Mahlani dikabarkan tewas di medan perang. Ia terkena tembakan, lalu ditangkap pasukan musuh dan tubuhnya dibuang ke dalam jurang. Tijah amat sedih mendengar hal itu karena segala harapan masa depan yang ia harapkan bersama Mahlani langsung pupus pada saat itu juga.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ada kisah Soleman. Soleman merupakan pemuda yang berasal dari keluarga terpandang. Sayangnya Soleman adalah orang bermata keranjang. Ia tak segan berfantasi ria ketika melihat perempuan cantik, membayangkan dirinya dan perempuan itu. Bahkan parahnya lagi ia juga pernah berfantasi ketika melihat wanita yang sudah menjadi istri orang. Melihat tingkah anaknya, kedua orang tua Soleman memutuskan menjodohkan Soleman dengan salah satu kembang desa, yakni Tijah.
Cerita kembali ke mereka berdua Tijah dan Soleman pun melangsungkan pernikahan. Awalnya mereka hidup berkecukupan, sampai pada satu titik di mana keluarga mereka jatuh miskin karena orang tua Soleman bangkrut dan ayahnya meninggal. Tidak lama sejak itu Soleman tergiur untuk memihak kepada Belanda. Tijah yang merupakan orang yang memihak republik tidak suka dengan hal itu, namun melalui bualan dan silat lidah yang dikeluarkan oleh Soleman.
ADVERTISEMENT
Kehidupan mereka sebagai mata-mata Belanda di kampung mereka untuk mengawasi pasukan gerilya dapat dibilang berkecukupan, namun hal ini diketahui oleh pasukan gerilya yang berbondong-bondong datang ke rumah mereka. Soleman ditangkap dan disiksa, sedangkan Tijah diasingkan keluar dari Blora.
I. Anak Haram
Bagian ini menjadi salah satu bagian kesukaan saya pribadi. Anak haram bukanlah sebuah cerita drama mengenai kehamilan di luar nikah dan sejenisnya, ini lebih dari itu.
Cerita dibuka di suatu sekolah. Pada suatu ruang kelas terlihat seorang anak bernama Ahyat yang tertunduk lesu sambil dimarahi oleh gurunya. Ahyat tidak ddapat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Gurunya yang muak dengan Ahyat kemudian menjelek-jelekkan Ahyat dengan mengatainya bodoh di depan teman sekelasnya. Kenapa sang guru berbuat seperti itu? Diketahui Ahyat merupakan anak seorang mata-mata pada masa pendudukan Belanda. Keluarga mereka dicap sebagai pengkhianat bangsa.
ADVERTISEMENT
Ahyat nyatanya hanya seorang anak kecil dan polos biasa yang hanya menginginkan teman, namun akibat ayahnya pernah menjadi mata-mata Belanda ia menjadi dijauhi dan dimusuhi oleh murid lainnya, bahkan oleh para guru. Hanya ada Mini, tetangga sekaligus teman masa kecilnya dan juga ada seorang guru musik yang senantiasa menemaninya dan menghiburnya di sekolah.
Ahyat memiliki keterampilan bermusik yang hebat. Lagu kesukaannya ialah Ave Maria. Ahyat bahkan bisa memainkan lagu tersebut di pianonya berulang kali tanpa bosan. Sebetulnya dari pada piano, Ahyat lebih menyukai biola. Ahyat berulang kali meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan biola, namun orang tuanya selalu menolaknya, terutama ayahnya yang sangat menentang permintaan anaknya itu.
Semakin terungkap masa lalu ayah Ahyat dan alasan mengapa ia tidak suka dengan biola. Ketika masih menjadi mata-mata Belanda ayah Ahyat pernah menangkap dan membunuh seorang pemuda yang diyakini menjadi otak dari gerakan revolusi. Pada saat itu sang pemuda sedang memainkan biolanya, ia memainkan Ave Maria. Ternyata kejadian itu masih membekas di ingatan ayah Ahyat, sehingga membuat ia tidak suka dan takut ketika mendengar suara biola.
ADVERTISEMENT
Guru musik di sekolah Ahyat kemudian memberi hadiah biola untuk menghiburnya, namun Ahyat tidak bisa memainkan itu di rumahnya karena ia tahu ayahnya tak suka mendengar suara biola. Ahyat berusaha memainkan biola tersebut pada malam hari, agal jauh dari rumahnya. Ternyata ayahnya mendengar bunyi biola itu dan ia mengingat kebali kejadian yang pernah ia lakukan di masa lalu.
Kedua orang tua Ahyat sangat marah, terutama ayahnya karena Ahyat memainkan biola tersebut padahal tahu ayahnya tak menyukainya. Akhirnya ibu Ahyat mematahkan bila itu di depan mata Ahyat sehingga membuat Ahyat putus asa.
Beberapa hari berlalu. Tibalah hari perayaan kemerdekaan Indonesia. Guru musik awalnya ingin Ahyat turut memainkan musik pada acara tersebut, namun mendapat pertentangan dari guru-guru lain karena guru-guru tersebut menganggap kalau anak seorang pengkhianat tidak pantas bermain lagu kebangsaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ahyat tidak menyukai itu. Ahyat kemudian melawan guru yang melarangnya, bahkan Ahyat juga mengatakan kalau ia dianaktirikan di sekolah di hadapan para guru dan para murid. Seorang guru ada yang terpancing emosi dan memukul serta menarik telinga Ahyat sampai membiru. Ahyat tidak tinggal diam, ia lalu menyiram guru tersebut dengan tinta spidol yang ada di meja dekatnya.
Setelah peristiwa tersebut mereda, guru musik pun mendatangi Ahyat dan menenangkannya, serta bertanya kenapa ia berani melakukan semua itu. Ahyat pun menjawab “Di rumah, tempat yang aku kira bisa menjadi tempatku pulang ternyata sama halnya dengan tempat ini. Sekolah, tempatku menuntut ilmu ternyata hanya neraka yang menjadikan diriku bahan cacian dan makian dari para guru dan murid lainnya. Aku tidak bisa bergaul, tidak bisa berteman, tidak bisa bermain biola, lantas apalagi yang harus aku lakukan? Aku akan masuk penjara kanak-kanak bukan? Biarlah. Tempat itu tampaknya lebih menjanjikan dari pada di sini”.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini Ahyat sudah tidak peduli lagi apa yang terjadi pada dirinya. Ia merasa kalau semua yang menimpanya sudah cukup dan ia tak peduli lagi apa yang terjadi di masa depan. Sejujurnya, hal ini juga terjadi beberapa kali di kehidupan nyata pada masa kini. Ketika orang tua seorang anak melakukan kesalahan yang besar, maka anaknya yang mendapat batunya. Padahal bukan anak tersebut yang bersalah, tapi mengapa harus dia yang menerima akibat perbuatan orang tuanya.
Hal yang dapat ditekankan pada bagian ini adalah bullying yang masih marak terjadi, bahkan pada masa kini. Bagaimana dampak bullying serta pengaruhnya terhadap korban. Terlebih pelakunya bukan hanya orang yang memiliki usia sebaya, namun para guru juga tidak membantu, bahkan ikut mem-bully.
ADVERTISEMENT
J. Dia yang Menyerah
Kompleks. Kata itu yang terbesit di pikiran saya ketika membaca bagian ini. Dia yang menyerah mengisahkan tentang kehidupan seorang anak gadis bernama Sri yang tinggal bersama keluarganya di Blora. Sri adalah anak kedua, di kampungnya mereka yang berumur lebih muda haruslah mengalah dengan berumur lebih tua. Kisah ini bercerita tentang pengorbanan Sri, bukan hanya pada mimpinya, namun juga demi keluarga dan adik-adiknya.
Ketika masih berusia dua belas tahun Sri harus mengalah untuk menggantikan kakak perempuannya yang ingin pergi bekerja untuk berhenti sekolah dan mengurus rumah. Ibu mereka meninggal beberapa bulan sebelumnya, lalu biasanya sang kakak yang mengurus rumah setelah ibu mereka meninggal.
Sri ingin sekali meneruskan pendidikannya, namun karena tradisi di kampung mereka di mana yang muda harus mengalah kepada yang tua, maka Sri tidak dapat mengelak. Sering Sri mencuri waktu belajar dengan membaca buku peninggalan sang ibu atau pun buku-buku kepunyaan sang ayah atau sang kakak. Menghentikan pendidikannya demi mengurus rumah merupakan pengorbanan Sri dalam kisah ini.
ADVERTISEMENT
Dua tahun berselang, terbesit kabar muncul sebuah perkumpulan yang menentang pemerintahan republik yang nasionalis, mereka disebut merah. Diketahui juga bahwa kakak Sri, yakni Is ikut masuk ke dalam perkumpulan itu sampai membuat ayah mereka jatuh sakit karena ayah mereka merupakan nasionalis sejati. Ia tidak percaya bahwa putrinya ikut andil dalam gerakan tersebut. Sekali lagi Sri harus berkorban menjaga adik-adiknya serta ayahnya yang jatuh sakit akibat kakaknya yang ‘mengkhianati’ keluarga itu.
Beberapa minggu berselang, tiba-tiba rumah mereka didatangi ‘polisi merah’ yang ingin menjemput ayah mereka. Rupanya ayah mereka akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Jadilah Sri sebagai anak tertua pada saat itu harus menjaga adik-adiknya dan mencari cara memenuhi kebutuhan pangan adik-adiknya.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa bulan Is yang merupakan kakaknya Sri kembali ke rumah. Ia amat bangga dengan pencapaian kaum merah dan merasa kalau kaum merah haruslah menguasai seluruh negeri agar dapat membangun masa depan yang lebih baik, namun pada saat itu ia belum tahu bahwa ayahnya sendiri ditangkap oleh organisasinya.
Ketika Is mengetahui kenyataan bahwa ayahnya ditangkap, ia langsung berusaha pergi dari rumah itu, namun Sri menghalangi dengan mengatakan kalau sedari awal kakaknya itu tidak usah kembali karena bukan bagian dari keluarga mereka lagi.
Pada suatu ketika kakak mereka kembali ke rumah itu. Bukan membawa kabar baik seperti kabar ayah mereka di penjara, namun Is kembali dengan membawa pasukan kaum merah. Rupanya mereka sedang mencari anak-anak muda untuk direkrut menjadi pasukan merah. Bagi yang menolak, maka akan langsung dihabisi. Pada saat itu adik Sri yang bernama Diah ingin menyerahkan dirinya untuk ikut, namun Sri menahannya dan meminta agar ia saja yang dibawa untuk dijadikan pasukan merah. Sekali lagi Sri mengorbankan dirinya untuk keluarganya.
ADVERTISEMENT
Ketika Sri bergabung menjadi pasukan merah ia masih diperlakukan tidak baik. Ia mengaku sering disiksa, karena pasukan merah tidak memandang baik laki-laki atau perempuan.
Berselang beberapa saat, pasukan merah dapat dikalahkan pasukan nasionalis. Sri ternyata masih hidup. Sri lalu kembali ke rumahnya secara diam-diam. Ia meminta maaf kepada adik-adiknya karena telah meninggalkan mereka, namun semua itu semata-mata agar adik-adiknya selamat. Sayangnya kepulangan Sri juga membawa kabar buruk. Ayah mereka tidak pernah dipenjara. Ayah mereka memang dibawa ke penjara, namun ia langsung dibunuh dan mayatnya ditumpuk dalam sebuah lubang sumur. Ternyata itu perlakuan keji kaum merah untuk memberantas kaum nasionalis. Kakak Sri, yakni Is pun tidak diketahui kabarnya lagi ketika ia kabur menunggangi kudanya terpisah dari Sri
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya keluarga ini tidak bisa kembali seperti sedia kala. Sri selalu berkorban demi keluarganya, terutama adik-adiknya.
K. Yang Hitam
Kisah dibuka pada karakter utama, Kirno yang merupakan seorang pejuang. Pada hari itu hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Itulah hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Diceritakan pada kisah ini bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah hiburan semata bagi Kirno.
Menurut Kirno, keadaan yang dialami oleh Kirno dan kawan-kawannya ketika berjuang tidak sebanding dengan apa yang ia terima sekarang ini, bahkan Kirno sendiri mengalami cacat pada kakinya dan mengalami kebutaan.
Bagi Kirno, segala pidato perjuangan, teriakan revolusi, menghalau penjajah kembali merupakan omong kosong. Kirno merasa bahwa perjuangannya selama pun tidak akan diketahui oleh orang banyak. Bahkan Kirno berkata kepada istrinya, Ati bahwa janganlah mendengar mentah-mentah apa yang dikatakan pejuang-pejuang itu.
ADVERTISEMENT
Bagi Kirno, segala perkataan yang diutarakan para pejuang itu hanya agar diri mereka tidak terluka dan hanya berlindung dibalik pion-pion yang dapat digerakkan.
Selang beberapa setahun. Kembalilah Kirno pada hari itu, perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia. Adiknya, Tini ditunjuk sebagai penyanyi untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Kirno tentu saja tidak senang akan hal itu, namun ia tetap mendukung adiknya dengan menemaninya mendengarkan nyanyian adiknya.
Kirno tak kuasa menahan tangis ketika mendengar adiknya bernyanyi. Segala luka yang ia dan teman-temannya alami terasa begitu pedih dan tidak bisa hilang dari ingatan dan batin. Tini yang menyadari kalau kakaknya menangis berusaha menghibur kakaknya. Tini mengajak kakaknya bernyanyi bersama, “Jika tidak bisa untuk negara, setidaknya lakukan untukku, mas” begitu kata Tini.
ADVERTISEMENT
Tini kemudian bertanya kepada Kirno apa rasanya buta. Kirno menjawab hanya hitam yang ada. Ke mana pun melihat hanya hitam. Tidak ada lagi warna di pandangan Kirno.
Semakin hari kondisi mental Kirno semakin turun. Ia merasa bahwa tempatnya bukan di rumah itu, melainkan di asrama invalid/rumah perawatan bagi prajurit yang cacat akibat perang. Hal itu ia utarakan kepada istrinya, Ati kalau ia lebih baik mencari pengganti Kirno dan biarkan Kirno tinggal di asrama invalid. Tentu saja Ati tak menyukai hal itu. Datanglah ibu Kirno dan adiknya Tini ikut menenangkan Kirno.
Kirno tidak tahan tinggal di rumah itu. Pada akhirnya Kirno memaksa agar dibawa ke asrama invalid. Kirno merasa kedua orang tuanya, istrinya, serta adiknya akan senang tidak perlu menjaga seorang yang cacat sepertinya.
ADVERTISEMENT
Hal yang tidak disadari oleh Kirno adalah semua hal itu hanya terjadi di pikirannya. Kedua orang tuanya, istrinya, dan adiknya amat menyayangi Kirno. Mereka tidak keberatan bila harus terus-terusan merawat Kirno di rumah. Kondisi seperti ini sering kali terjadi kepada seseorang yang mengalami suatu penyakit/peristiwa yang menyebabkan perubahan pada kondisi fisiknya. Tentu hal ini harus disorot mengingat hal seperti ini pun masih sering terjadi bahkan di masa seperti sekarang ini.
Menutup tulisan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembaca karena mau mengikuti tulisan penulis sampai akhir dan menemani penulis dalam mengapresiasi buku Cerita dari Blora. Semoga tulisan penulis dapat memberi inspirasi bagi para pembaca sekalian untuk ikut mengapresiasi karya sastra baik itu cerpen, novel, drama, puisi, sajak, dan lainnya.
ADVERTISEMENT