Konten dari Pengguna

Upah Minim dan Kualitas Hidup: Dilema Ekonomi Mikro di Kota Besar

Fadliatuzzahra
Mahasiswa Universitas Pamulang, prodi pendidikan ekonomi
1 Oktober 2024 7:34 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadliatuzzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
poto/dokumen penulis fadliiatuzzahra
zoom-in-whitePerbesar
poto/dokumen penulis fadliiatuzzahra
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota besar, perdebatan mengenai upah minimum selalu menjadi topik hangat. Upah minimum, yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai batas terendah yang dapat dibayarkan kepada pekerja, seharusnya menjadi jaminan bagi kesejahteraan pekerja. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan bahwa meski upah minimum meningkat, kualitas hidup pekerja tidak selalu membaik. Ini menciptakan dilema ekonomi mikro yang kompleks.
ADVERTISEMENT
jadi upah minimum solusi atau masalah?
Upah minimum bertujuan untuk melindungi pekerja dari eksploitasi dan memastikan mereka mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun, di kota-kota besar dengan biaya hidup yang tinggi, angka upah minimum seringkali tidak sejalan dengan realitas ekonomi. Misalnya, biaya sewa, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari dapat dengan mudah menghabiskan sebagian besar pendapatan pekerja, meninggalkan sedikit ruang untuk tabungan atau pengeluaran lainnya.
Banyak pekerja berpenghasilan rendah yang terpaksa tinggal di kawasan pinggiran dengan fasilitas yang jauh dari memadai. Mereka juga harus menempuh perjalanan panjang untuk bekerja, yang berarti tambahan biaya dan waktu yang terbuang. Situasi ini menciptakan ketidaksetaraan yang lebih luas, di mana sebagian besar upah hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk mencapai kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Dampak upah minim juga terlihat pada ekonomi mikro, khususnya pada daya beli masyarakat. Ketika pekerja berpenghasilan rendah tidak memiliki daya beli yang cukup, maka konsumsi barang dan jasa juga akan menurun. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan, di mana pengeluaran masyarakat yang terbatas berpengaruh terhadap pendapatan usaha kecil dan menengah. Jika hal ini berlanjut, maka risiko kelesuan ekonomi pada skala mikro bisa menjadi ancaman yang serius.
Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk menetapkan upah minimum berdasarkan wilayah dengan mempertimbangkan biaya hidup setempat. Selain itu, program pelatihan dan pendidikan harus diperkuat untuk meningkatkan keterampilan pekerja sehingga mereka dapat bersaing dalam pasar kerja yang semakin kompetitif.
ADVERTISEMENT