Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mengulik Tokoh Nano Riantiarno Pendidiri Teater Koma dan Salah Satu Karyanya
13 Desember 2020 5:00 WIB
Tulisan dari fadliarafiyantiii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Nano Riantiarno lahir pada 6 Juni 1949 di Cirebon, Jawa Barat. Seorang sutradara, aktor panggung, sekaligus penulis lakon dan lebih dikenal lagi karena merupakan pendiri Teater Koma pada 1 Maret 1977 bersama rekan-rekannya. Sebelumnya, pada tahun 1968 ia pernah bergabung dengan Teguh Karya dan ikut mendirikan Teater Populer.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan bahwa baru mengenal dunia teater sejak kelas dua SMU, ketika ia bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon tahun 1965. Tetapi kegiatan berseninya itu dimulai sejak masa SLTP melalui menulis cerpen dan puisi. Setelah tamat sekolah SMU tahun 1967 ia kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta.
Nano Riantiarno tentunya tidak sendiri dalam mendirikan Teatar Koma, orang-orang yang pertama kali mendirikan teater Koma itu ada dua belas orang yang disebut dengan Angkatan Pendiri, yag terdiri dari: Nano Riantiarno, Ratna Majid Riantiarno, Zaenal Bungsu, Cini Goenarwan, Agung Dauhan, Syaeful Anwar, Jim Bary Aditya, Titi Qadarsih, Otong Lenon, Rudjito, Jajang Pamontjak, dan Rima Melati. Nano merupan konseptor dari berdirinya teater Koma yang mana ia menerapkan konsep dengan menggabungkan antara konsep Barat dan Timur.
ADVERTISEMENT
Menurut Nano teater Koma bisa bertahan lama karena memadukan antara teater modern dan paguyuban. Keberhasilan teater Koma dari dulu hingga sekarang karena menganggap bahwa aktivitas teater bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu kebahagiaan. Banyaknya penonton bukan tujuan utama tetapi membuat penonton dan semuanya bahagia itulah tujuannya.
Sebagai penulis Nano sudah banyak sekali melahirkan karya, yaitu berupa lima puluh naskah drama, tiga puluh skenario film, beberapa novel serta cerpen. Kemudian karya-karya Nano banyak sekali yang dipentaskan di teater Koma, seperti: Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini), Maaf. Maaf. Maaf, Sampek Engtay, Republik Bagong, Banci Gugat, Republik Togong dan masih banyak yang lainnya. Ada naskah drama yang ditulisnya sendiri dan ada juga naskah drama karya penulis asing yang kemudian ia sadur dengan menyesuaikan permsalahan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Saini KM, Nano ialah seorang pelopor teater modern Indonesia dan penulis naskah yang paling rajin berurusan dengan Orde Baru. Karena sering mengangkat masalah dalam negeri serta kritik sosial (Saini, KM, 2000:44). Tentang pandangan orang terhadap dirinya bahwa ia sering mengangkat tentang kritik sosial-politik itu menurutnya keliru. Ia mengatakan bahwa ia hanya ingin membuat cerminan sosial-politik, yang mana ia melihatnya dari peran sastrawan yang melihat segala sesuatu yang berasal dari masyarakat lalu ditampung atau disimpan dan dikembalikan lagi sebagai karya seni perwujudan dari masyarakat.
Dikutip dalam jurnal Ganjar, Fuller menyatakan bahwa pemerintah pada masa Orde Baru menganggap bahwa karya fiksi mempunyai kekuatan yang dapat membuat kekacauan umum dan penyesatan sejarah Indonesia. Maka dari itu pemerintah melarang beberapa karya. Tidak hanya itu, pemerintah Orde Baru juga meluaskan kekuasannya kepada seni pertujukan sehingga para seniman yang memiliki banyak masa pun ikut merasakannya, salah satunya yaitu Nano.
ADVERTISEMENT
Tetapi memang beberapa karya Nano dikenal orang berkaitan dengan kritik atas pemerintah ataupun kritik sosial pada masa Orde Baru. Sehingga dalam beberapa pementasan serigkali Nano mengalami masalah, dari mulai pelarangan pementasan atau ancaman bom. Salah satu karya Nano yang pernah dilarang pentas bahkan dibatalkan oleh aparat kanwil DEPDIKBUD setelah pentas uji coba yaitu drama “Sampek Engtay” pada tahun 1989 yang rencananya akan digelar di Medan Sumatera Utara.
Karya tersebut merupakan adaptasi dari legenda “Sampek Engtay” yang berasal dari Dinasti Chin Tiongkok yang bertema tentang Cinta Sejati yang hampir sama seperti serial Romeo dan Juliet tetapi dalam versi Negara Tirai Bambu. Selajutya legenda tersebut kemudian disadur oleh Nano dan disesuaikan dengan latar peristiwa yang ada di Banten.
ADVERTISEMENT
Di dalam cerita “Sampek Engtay” terdapat suatu kebebasan dan kemerdekaan perempuan yang digambarkan oleh tokoh utama perempuan bernama Engtay yang berani memperjuangkan emansipasi di bidang pendidikan dan perkawinan. Tetapi Emansipasi digambarkan kalah dengan tradisi, Engtay yang ingin mendapatkan pendidikan membujuk kedua orang tuanya hingga akhirnya diizinkan masuk ke sekolah khusus pria kemudian menyamar menjadi pria, setelah itu Engtay menyukai pria sekamarnya yang bernama Sampek yang sebelumnya tidak tahu jika Engtay adalah seorang perempuan.
Setelah itu, keduanya saling mencintai tetapi cinta mereka tidak bisa bersatu akibat Engtay dijodohkan dan Sampek akhirnya sakit hati sampai meninggal dunia dan dimakamkan. Kemudian tiba saat Engtay menikah, ia ingin menghampiri kuburan Sampek, ia masuk ke dalam kuburan Sampek yang tiba-tiba terbuka dan hilang berdua bersama dengan jasad Sampek lalu muncullah sepasang kupu-kupu terbang dan diirinya ribuan kupu-kupu lain.
ADVERTISEMENT
Larangan pementasan teater “Sanpek Engtay” terjadi karena pada masa Orde Baru terjadi pelarangan ketat terhadap kritik yang ditujukan kepada tokoh politik dan situasi sosial yang ada di Indonesia. Sehingga karya sastra juga termasuk mendapat tekanan atau larang menerbitkan suatu karya atau teks-teks tertentu. Karena pada dasarnya suatu karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat.
Larangan terhadap pementasan teater “Sampek Engtay” pada tahun 1989 dianggap menyimpang oleh pemerintah karena menampilkan pertunjukan barongsay yang dianggap kecina-cinaan sedangkan pementasan tersebut dilakukan karena memperingati hari kebangkitan Nasional.
Sehingga gubernur Sumatera Utara menyatakan bahwa penampilan tersebut tidak sesuai dengan budaya Indonesia, dan drama tersebut dianggap tidak sesuai dengan intruksi presiden, di mana pada masa Orde Baru presiden sangat menjaga agar tidak terjalinnya hubungan kepada negara-negara komunis karena trauma di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Meskipu medapat laragan petas pada masa Orde Baru sampai masa Orde Baru berakhir, karya “Sampek Engtay” selajutnya meraih hibah Seni Kelola pada tahu 2002 kategori Pentas Keliling sehingga dapat melakukan pentas di Tangerang, Lampung, dan Jambi. “Sampek Engtay” karya Nano tersebut juga pernah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) tahun 2004 sebagai karya yang sudah pentas sebanyak 80 kali selama setahun.
Melihat dari beberapa berita online ternyata pada tahun ini rencananya teater Koma kembali mementaskan pertunjukkan “Sampek Engtay” pada 15-16 Agustus 2020 di Ciputat Artpreneur tetapi hal tersebut ditunda karena adanya pandemi Covid-19 kemudian diundur menjadi 30-31 Januari 2021 di tempat yang sama, pemberitahuan tersebut diumumkan oleh Ratna Riantiarno dalam detik.com.
ADVERTISEMENT
Bagi Nano, di dalam suatu teater tentu ada “Sesuatu” yang ingin disampaikan oleh seorang penulis kepada pembaca, meskipun “Sesuatu” tersebut dapat dimengerti saat itu atau suatu saat nanti, karena menurutnya karya yang baik ialah karya yang akan baik di zaman apapun. Yang mana karya tersebut dapat menembus zaman, agama, geografi, maupun ras dan universal, karena dalam menikmati karya seni itu dengan rasa bukan dengan pikiran. Menurutnya teater yang baik yaitu yang lahir dari masyarakat, apa yang diperoleh masyarakat itulah yang dikembalikan kepada masyarakat.
Referensi:
Ensiklopedia Sastra Indonesi, N. Riantiarno. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Detik.com, Teater Koma Tunda Pertunjukan Sampek Engtay Hingga 2021.
ADVERTISEMENT
Hwia Ganjar, N. Riantiarno, Teater Koma, dan Refleksi Politik Dalam Karya Sastra, JENTERA Jurnal Kajian Sastra 3.
Saini KM. 2000. Teater Indonesia Sebuah Perjalanan Dalam Multikulturalisme dalam Intertekstualisme (dalam) Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.