Konten dari Pengguna

Bukan Gagal Bicara, Tapi Gagal Didengar : Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual

Aishya Syahdabila Fahira
Saya mahasiswa universitas 17Agustus 1945 Surabaya
4 November 2025 11:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Bukan Gagal Bicara, Tapi Gagal Didengar : Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual
Artikel ini mengulas pembungkaman korban kekerasan di media sosial akibat bahasa patriarkal dan algoritma, serta pentingnya mendengar suara korban untuk wujudkan kesetaraan gender.
Aishya Syahdabila Fahira
Tulisan dari Aishya Syahdabila Fahira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bukan Gagal Bicara, Tapi Gagal Didengar : Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual (sumber pribadi : Aishya Syahdabila Fahira/dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bukan Gagal Bicara, Tapi Gagal Didengar : Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual (sumber pribadi : Aishya Syahdabila Fahira/dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Dalam era digital saat ini, media sosial sering diguncang oleh sebuah utas (thread) panjang yang menceritakan pengalaman traumatis seseorang yang mengalami kekerasan seksual. Banyak dukungan mengalir, namun tak lama kemudian, muncul lah komentar victim blaming yang justru mendominasi. Pertanyaan-pertanyaan sinis seperti, “kenapa tidak lapor polisi saja?”, “kenapa memakai pakaian seperti itu?”, dll. Seakan-akan komentar tersebut menjadi template respons yang selalu muncul.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sering kali menunjukkan masalah mendasar, korban berteriak, tapi publik kita tuli. Kebenaran yang seharusnya diakui kini terdegrasi, bahkan dicap sebagai “drama” atau sekedar “konten viral”. Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan bagi korban kekerasan seksual bukanlah kurangnya keberanian untuk bersuara, melainkan ketidakmampuan system komunikasi public dalam menyediakan ruang dan narasi yang imparsial untuk mendengarkan mereka (korban). Fenomena inilah dikenaal sebagai Teori Kelompok Bisu (Muted Group Theory). Teori ini menjelaskan bahwa bahasa dan norma di ruang publik termasuk platform digital ditetapkan oleh kelompok dominan, yaitu kelompok patriaki. Hal ini melibatkan pada pembungkaman, termasuk trauma yang di alami perempuan (kelompok bisu), sehingga menjadi hambatan signifikan dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Teori Kelompok Bisu (Muted Group Theory) menyatakan bahwa bahasa di ruang public diciptakan oleh kelompok dominan (laki-laki), sehingga gagal mempresentasikan pengalaman perempuan, khususnya trauma kekerasan yang sering dianggap emosional berbeda dari pengalaman dominan ini, bahasa yang ada menjadi tidak memadai dan cenderung meredukasi realitas mereka. Kegagalan bahasa ini muncul dalam dua bentuk konkret. Pertama, upaya meredukasi kejahatan menjadi salah paham atau candaan. Kedua, pemojokan melalui labeling, korban yang mengekspresikan kemarahannya atau ketakakutan usai trauma justru di cap sebagai, lebay, emosional, atau mencari panggung. Hal ini adalah mekanisme linguistic untuk menjatuhkan suara yang menyimpang dari norma komunikasi yang dikontrol oleh kelompok dominan. Inilah yang dimaksud dengan man-made language (bahasa buatan laki-laki), bahasa patriarkal membantu mendefinisikan , menjatuhkan, dan meniadakan kepentingan perempuan. Wanita dipakasa untuk mengungkapkan pengalaman traumatis mereka ke dalam bahasa yang tidak mengenal trauma itu sendiri. Jika tidak ada bahasa yang menyebut suatu pengalaman sebagai kejahatan serius, maka publik secara otomatis akan gagal memahami dan menerimanya sebagai kebenaran yang valid.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, pembungkaman korban tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui cara kerja system (algoritma). Media sosial yang seharusnya menjadi tempat bebas berpendapat, justru menjadi ajang pertarungan dimana narasi kelompok kuat lebih unggul. Saat korban berani bercerita, suara mereka sering kali mendapat serangan siber atau akun bot. Situasi ini di perparah oleh peran alogaritma platform yang cenderung memprioritaskan konten pemicu kontroversi, seperti perdebatan sehingga narasi yang menyerang korban justru memiliki jangkauan yang lebih luas. Sementara itu, cerita jujur dari korban yang rapuh justru terhimpit dan tenggelam di bawah keramaian agresif dari narasi yang menguasai ruang digital. Kondisi ini menegaskan bagaimana Muted Group Theory bekerja secara modern. Media sosial tidak menghilangkan 'kebisuan' korban, melainkan hanya mengubah bentuknya. Korban tidak lagi diam karena takut, tetapi suara mereka menjadi 'bisu' karena tenggelam dan kalah oleh keramaian (hiruk-pikuk) yang penuh bias dan tidak adil di platform digital. Dalam ensiklopedi dijelaskan teori kelompok bungkam (Muted Group Theory) focus pada cara komunikasi kelompok dominan dalam menekan atau membungkam kata.
ADVERTISEMENT
Meskipun Muted Group Theory secara jelas menunjukkan masalah bahwa bahasa didominasi laki-laki telah membungkam dan merugikan pengalaman perempuan, teori ini tidak menawarkan solusi untuk secara aktif memvalidasi pengetahuan yang terbungkam tersebut. Untuk mengatasi krisis pengetahuan yang ditimbulkan oleh pembungkaman ini, kita harus bergerak memahami bagaimana korban dibungkam menuju pengakuan mengapa sudut pandang korban adalah kebenaran yang harus diakui. Inilah prinsip utama dari Feminist Standpoint Theory. Berbeda dari pandangan dominan yang mengklaim objektif dan netral, melalui Feminist Standpoint Theory bahwa kelompok marginal dapat menghasilkan wawasan unik tentang bagaimana masyarakat bekerja. Menurut Teori Standpoint laki-laki dan Perempuan cenderung mengembangkan keterampilan, sikap, cara berfikir dan pemahaman tertentu tentang kehidupan sebagai hasil dari ke anggotaan mereka dalam kelompok-kelompok sosial yang telah dibangun jika mereka mendapatkan dan menggunakan kesadaran politis untuk menganalisa tempat mereka, mereka dapat mencapai standpoint.
ADVERTISEMENT
Meski Feminist Standpoint Theory berhasil memvalidasi pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang unggul, kita harus melihat akar masalah pembungkaman ini lebih dalam lagi. Krisis ini bukan hanya soal gender biner, melainkan berqakar pada tirani konsep normal dan wajar yang menolak keberagaman identitas. Melalui Queer Theory, pola hubungan diluar hetroseksual di anggap nukanlah sesuatu yang menyimpang. Queer Theory masuk kedalam bagian dari teori feminis kritis, dimana teori ini dugunakan sebagai sebuah metode untuk membongkar norma-norma yang telah mengakar di masyarakat. nilah kritik radikal dari Queer Theory. Teori ini menyerang Heteronormativitas keyakinan kaku bahwa hanya heteroseksual dan identitas biner (laki-laki/perempuan) yang dianggap benar dan alamiah. Pertanyaan sinis seperti, 'kenapa memakai pakaian seperti itu?' atau 'mengapa korban laki-laki tidak melawan?' adalah upaya masyarakat untuk menguji apakah korban 'wajar' sesuai peran gender yang kaku. Jika korban menyimpang dari peran yang diharapkan (perempuan harus pasif, laki-laki harus kuat), mereka akan dicap sebagai 'queer' asing atau menyimpang dan dengan mudah dibungkam. Queer Theory menegaskan bahwa perjuangan mendengarkan korban harus mencakup pembebasan semua suara dan identitas yang selama ini disingkirkan oleh budaya yang mendewakan biner.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pembungkaman korban kekerasan adalah bukti dari kegagalan sistemik yang berlapis. Teori Kelompok Bisu (MGT) menunjukkan bahwa trauma korban dibungkam sejak level bahasa, direduksi menjadi 'drama' oleh narasi dominan. Namun, solusi tidak berhenti pada kritik linguistik.Kita membutuhkan validasi, yang disajikan oleh Feminist Standpoint Theory: Bahwa pengalaman penyintas kekerasan—sebagai kelompok terpinggirkan—adalah sumber pengetahuan yang paling unggul dan kritis mengenai cara kerja penindasan.Dan yang paling mendasar, Queer Theory mengungkap akar masalahnya: tirani konsep 'normal' dan 'wajar'. Pertanyaan sinis yang meragukan korban adalah upaya masyarakat untuk menguji ketaatan korban pada peran gender yang kaku. Selama kita mempertahankan keyakinan kaku (Heteronormativitas) ini, kita akan selalu memiliki alasan untuk melabeli korban sebagai 'asing' (queer) dan membungkam suara mereka.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya kita membalikkan narasi. Ini bukan kegagalan korban untuk berbicara, melainkan kegagalan kolektif kita untuk mendengarkan. Tugas kita kini adalah menjadi pendengar yang kritis dan empatik, mengubah ruang publik dari medan pembungkaman menjadi ruang pemberdayaan bagi semua penyintas."
Tentang Penulis :
Aishya Syahdabila Fahira Adalah mahasiswa Ilmu Komunikasim Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Artikel ini mengacu pada gagasan Merry Fridha Tripalupi dalam buku Komunikasi Gender (Untag Press, 2024) serta hasil penelitian Ratna permata sari ( UII, 2014) , Diakom (2021), Lakon (2014).