Konten dari Pengguna

Imam Husien : kesalehan, kesetiaan, keberpihakan, dalam melawan kelicikan dan penidasan

Fahmi Akbar
enthusiast anthropology| enthusiast history
9 Juni 2018 22:51 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Imam Husien :  kesalehan, kesetiaan, keberpihakan, dalam melawan kelicikan dan penidasan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hati pemuda itu berdebar-debar, dadanya terasa mau copot, setiap kali melihat perempuan itu. Kecantikannya bagai bunga yang ranum. Kecantikannya terkenal seantero---jazirah Arab; sulit tertandingi wanita manapun. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai wanita soleha. Wanita itu bernama--Ummu Khalid. Istri Adi bin Hathim.
ADVERTISEMENT
Namun, entah apa yang ada di kepala putra khalifah itu: Ia merenung, memikiran, memimpikan serta berharsat memiliki sepenuhnya wanita yang telah bersuami. Hatinya terus berkecamuk: kian hari-kian waktu, perasaan cinta terhadap wanita itu semakin mengebu-gebu, terus me-rekah. Apakah Ia menganggap: memiliki wanita yang sudah bersuami adalah kepuasan suatu tersendiri, atau ada kekuatan mistis seperti kisah ken Arok untuk meraih puncak kekuasaan.
Namun Ia bungkam, diam seribu bahasa. Sehingga tidak ada satu-pun yang tahu ihwal perasaannya. Hingga tubuhnya pun lunglai. Ia tak mampu lagi membendung perasaannya. Tubuhnya jatuh sakit.
Kabar terdengar seantero negeri: bahwa cucu dari Umayyah itu telah jatuh sakit. Rakyat pun berspekulasi: apa sebab yang menimpa Ia sampai jatuh sakit. Rakyat menduga, mungkin dia terlalu banyak minum khamr. Sebagian menduga, ia kurang istirahat karena sering berpesta pora, termasuk bermain judi.
ADVERTISEMENT
Mahfum, jika rakyat menduga-duga dan berspekulasi akan hal itu, sebab hal itu bukan menjadi rahasia yang umum lagi dikalangan rakyat sendiri bahwa putra sang khalifah memang gemar melakukan hal tersebut. Beberapa dokter terkenal didatangkan untuk mendiganosa penyakitnya. Namun, tak satupun dokter mampu mendeteksi penyakitanya sang putra penguasa. Hingga datanglah Amr bin Ash menjenguk putra sang khalifah. Amr bin Ash memang mempunyai kelebihan dalam ilmu Jiwa.
“Masalah Yazid hanya ibunya yang bisa menyelesaikan; tidak satupun orang lain mampu menyelesaikan, tinggalkanlah dia bersama ibunya. Biarkan mereka berdua” pinta Amr Bin Ash. Semua orang yang menengok pun keluar dari kamar Yazid Bin Muwaiyah. Para pembesuk pun meninggalkan kamar Yazid. Setelah mereka ditinggalkan berdua ibunya, sang bunda pun bertanya—kepada putra kesayangannya.
ADVERTISEMENT
“Ayah mu sudah mendatangkan dokter-dokter terbaik dari penjuru negeri, namun mereka tidak juga mampu menemukan penyakit apa yang sedang kau derita. Ada apa sebenarnya yang terjadi, wahai putra ku?” Yazid menjelaskan sebab musabab perkara yang dideritanya selama ini; Ia mencurahkan sepenuh hatinya: tanpa ragu, tidak ada sekat, terlebih perasaan malu-- kepada ibunya. Ibunya terkejut, terharu, dan sekaligus merasa lega akan penjelasan anaknya.
Bergegas sang ibu ke istana, menemui suaminya, Muawiyiah. Ia menjelaskan penyakit yang selama ini derita putranya kepada sang suami. Ketika mendapat penjelasan dari istrinya, Muawiyah memanggil Amr bin Ash untuk mencari jalan keluar atas permasalahan itu.
“Sebaiknya begini” kata Amr, “bagaimana kalo kita barter istri Adi dengan harta, kemudian untuk selanjutnya ceraikan dia dari suaminya. Sebagai khalifah, kau perintahkan saja suaminya untuk datang menyerahkan istrinya kepada kita.” Tanpa berpikir panjang dan demi kesembuhan sang putra, Sang Khilafah itu akhirnya menempu jalan itu.
ADVERTISEMENT
Diutuslah sang pengabar, Adi bin Hathim terkejut, ada apa hingga utusan sang pengabar itu datang menemuinya. “Apakah aku punya salah?” Ia bergumam dalam hati. Sang pengabar menyampaikan maksud dan tujuan khilafah. Betapa merasa terhormatnya orang kecil seperti Adi Bin Hathim.
Sebab, tidak sembarang orang bisa mendapatakan undangan dari sang penguasa, di istana-nya. Bertolaklah dia dari Madinah menuju Damaskus. Tawaran sang penguasa, memang sangat menggiurkan. Terlebih, Adi bin Hathim, dari kalangan kaum papa.
Setelah mengalami perjalanan yang cukup melelahkan, Ia tiba istana yang megah itu. Sang Khilafah menyambutnya. Sambutan yang begitu hangat. Adi bin Hathim terpukau dengan kerendahan hati sang penguasa. Ia diperlakukan layak-nya seperti saudara. Ia sadar akan status sosialnya. Ia merasa bangga : bisa bebicara bertatap muka dan duduk bersanding dengan sang penguasa. Adi bin Hathim pun pulang ke-Madinah.
ADVERTISEMENT
Sang Khilafah berjanji, akan mengundangnya kembali ke istana. Ketika pertemuan itu Adi bin Hathim merasa : sebagian rakyat yang berpandangan miring terhadap sang khilafah, adalah salah besar. Pertemuan dengan penguasa begitu mendalam--Ia rasakan
Sang khilafah pun kembali meminta nasehat kepada Amr bin Ash. “Bagaimana untuk pertemuan Selanjutnya’’ tanya Muawiyah kapada Amr. “Di pertemuan selanjutnya, “tanyakan apakah dia mempunyai seorang istri.
Jika dia menjawab ‘iya’ pukul-lah kepalamu seolah-olah kau sedang ditimpa musibah--dengan penyesalan yang teramat sangat” Amr Bin Ash, menjelaskan skenario selanjutnya.
Pertemuan kedua pun belangsung, Adi bin Hathim mendapat pertanyaan persis sebagaimana ketika sang khilafah itu mendapatkan masukan dari Amr Bin Ash. Dengan jujur dan mantap Adi menjawab bahwa dia sudah mempunyai seorang istri. “Iya, sudah. Ia sekarang berada di Madinah” yang mulia. Sang Khilafah hanya terdiam.
ADVERTISEMENT
Adi bin Hathim merasa bingung: apa sebab khilafah menanyakan perkara itu. Adi bin Hathim pulang kembali ke Madinah. Tapi sebelum pulang, Ia dicegat oleh Amr Bin Ash, tidak jauh dari Istana. Amr menanyakan hasil pertemuannya. Adi menjelaskan kepada Amr, tentu saja disertai dengan kebingungan.
“Betapa polos dan bodohnya kau, Adi” Amr memaki dengan seolah-olah menyesali hal tersebut kepada Adi, “Kau seharusnya bisa menangkap maksud khilafah itu. “Tidak kau tahu” kata Amr, “Putrinya khilafah belum menikah? Khilafah bermaksud menikahkan kau dengan putrinya. Lagi pula, tidak mungkin putri sang penguasa itu di-madu” Amr memukul-mukul dahinya, seolah-olah menyesali kepolosan dan kebodohan Adi bin Hathim.
Adi Bin Hathim terdiam, sekaligus tercengang. “Apa yang harus aku lakukan” Adi meminta pendapat Amr, “Kalo dia (khilafah) mengulangi pertanyaan itu dipertemuan berikutnya, katakanlah bahwa kau belum mempunyai istri.”
ADVERTISEMENT
Siasat politik tingkat tinggi telah disiapkan. Skenario demi skenario telah diatur sedemikian rupa. Pertemuan ketiga pun berlangsung. Lagi-lagi sikap Khalifah begitu hangat.
Sang Khilafah pun mengulangi pertanyaan yang sama. “Apakah kau sudah mempunyai seorang istri, wahai Adi?’’ “Tidak, yang mulia. Aku tidak mempunyai istri” Adi Bin Hathim berbohong.
“Jika kalau hal itu benar, beranikah kau bersumpah. Sebab pertemuan sebelumnya kau mengatakan telah mempunyai seorang istri” Khalifah menantang Adi, “Sebaiknya, katakanlah yang sejujur-jujurnya. Seandainya saya (Adi bin Hathim) telah mempunyai istri maka pada saat ini, detik ini, dia tertalak.” Adi bin Hathim pun menganggukan kepala, tanda dia setuju. Sekaligus menirukan apa yang diucapkan sang Khilafah.
Sang Khilafah-pun meminta sang juru tulis untuk menulis kata demi kata--perkataan Adi bin Hathim. Adi bin Hathim, masuk perangkap Sang Khilafah. Diutuslah orang kepercayaan Muawyiah yang bernama: Abu Hurairah.
ADVERTISEMENT
Ia diminta untuk jadi perwakilan khilafah untuk meminang Ummu Khalid—untuk sang putra kesayangan. Walaupun ia memenuhi permintaan sang penguasa itu, akan tetapi---Ia (Abu Hurairrah) bukanlah orang bisa disetir ke-kiri maupun ke-kanan.
Ia pun berangkat seorang diri, agar terlihat misi-misi sang penguasa mendapatkan legitimasi; karena Ia merupakan seorang perawi termasyhur. Sesampainya Ia di Madinah, Ia menjumpai Abdullah Bin Umar. Abdullah pun menanyakan : dalam rangka apa ia bertolak ke Madinah. Setelah mendengarkan cerita Abu Hurairrah sekaligus menjelaskan maksud kedatangnya, Abdullah pun tertarik untuk turut serta untuk masuk kedalam bursa untuk meminang Ummu.
“Sudikah kiranya kau meyampaikan hal yang sama, Abu Hurairrah?” Pinta Abdullah kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah-pun menyanggupi permintaannya. Abu Hurairah melanjutkan ketempat tujuan. Di tengah jalan, Ia pun berjumpa dengan Abdullah Bin Zubair. Ternyata Ia pun mempunyai maksud yang sama dengan Utusan Khilafah--dan pria yang Ia jumpai sebelumnya. Ia pun menyanggupi permintaan Abdullah Bin Zubair.
ADVERTISEMENT
Namun kabar kedatangan Abu Hurairah ke-madinah sudah di “endus” oleh Husain Bin Ali. Sebelum sesampainya Ia dirumah Ummu Khalid, dipersimpang jalan mereka bersua. Sehingga Husien pun tidak mau kalah dari ketiga pria yang menyatakan ketertarikannya untuk meminang Ummu. Husain Bin Ali masuk kedalam list pencalonan---untuk meminang Ummu Khalid. Lagi-lagi Abu Hurairah pun menyanggupinya.
Tibalah Ia dikediaman Ummu Khalid. Dia pun menjelaskan apa maksud dan tujuannya. Sambil mengeluarkan secarik keretas, sebagai bukti bahwa suaminya telah menceraikannya. Betapa terkejut dan sedihnya hati Ummu Khalid saat mengetahui hal itu. Abu Hurairah pun menyampaikan bahwa ada ketiga pria lagi---dengan maksud dan tujuan yang sama. “Apa yang bisa ku dapat dari ke-empat pria itu, jika aku menerima pinangannya?’’ tanya Ummu Khalid.
ADVERTISEMENT
“Yazid adalah orang terkaya jazirah Arab. Ia adalah putra kesayangan sekaligus pewaris dari sang khilafah, Muawiyyah. Namun dia tidak taat kepada Agama. Kedua Abdullah Bin Umar dan ketiga adalah Abdullah Bin Zubair, Ia juga dari golongan hartawan; namun mereka juga kurang dalam beragama.
Dan yang terakhir adalah Husien Bin Ali putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-zahra, cucu dari Rasulullah saw. dari kalangan miskin tapi sangat taat kepada agama.
“Jikalau aku dimintakan pendapat, akan kukatakan sebuah kebenaran. Demi Allah, pria terakhir adalah pria yang zuhud dijalan Allah dan Rasul nya. Jika kau menghendaki kebahagian baik di dunia dan akhirat, Dia (Husien) paling layak untuk kau jadikan suami” Abu Hurairah memberikan sarannya kepada Ummu Khalid. “Demi Allah, aku merindukan itu wahai, Abu Hurairah,” jawab Ummu Khalid dengan mantap.
ADVERTISEMENT
Dinikahkanlah Ummu Khalid dengan Husien Bin Ali oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah pun kembali ke Damaskus. Ia pun melaporkan bahwa Ummu Khalid hanya menerima pinangan dari Husien Bin Ali, cucu dari Rasulullah.
Mendengar kabar itu, Muawiyah, geram! “Bodoh sekali kau , Abu Hurairah! Aku mengutusmu agar Ummu Khalid menjadi milik Putra ku. Mengapa kau melepaskannya Ia kepada Husien Bin Ali” Muawiyah murka. Apa lacur, Ia sudah terlanjur berjanji kepada putra kesayangnnya.
Kemarahannya itu pun tidak dapat dibendung lagi, Muawiyah, semakin menjadi-jadi. Ia pun membuat skenario baru: bagaimanapun caranya Ia harus menggagalkan pernikahan putrinya dengan Adi Bin Hathim.
Jikalau siasat terhadap Ummu Khalid itupun berhasil, mimpi Adi bin Hathim tidak pernah akan terwujud---untuk dapat menikah dengan putri sang Khilafah.
ADVERTISEMENT
Adi bin Hathim pun berhasil diperdayai, sekali lagi, oleh Muawiyah. Ia pun memutuskan pulang ke Madinah. Kabarpun sudah beredar luas, Istri yang sudah diceraikan telah menikah oleh lelaki yang mulia. Ia malu rasa.
Tak tahan mendengar gunjingan penduduk setempat. Ia pun berencana meninggalkan Madinah untuk selamanya. Sebelum rencana itu terrealisasi, Ia pun mendapatkan undangan ke rumah Husien Bin Ali. Ia menerima undangan tersebut; tentu saja dengan perasaan malu.
Dalam pertemuannya, ia sama sekali tidak berani menatap mata Husien Bin Ali. Kepalanya selalu tertunduk. Pertemuan itu pun tidak disia-siakan oleh Al Husien.
Ia bertanya, “Pasti kau sudah mendengar kabar berita tentang mantan istrimu, betul bukan?” Al Husein melanjutkan, “Aku meminta kepada mu , bersikaplah seperti laki-laki dengan kejujuran dari dalam lubuk hati mu yang paling dalam. Apakah kau masih mencintai Ummu Khalid?’’ pinta Al Husien, sambil menatap wajahnya Adi Bin Hathim. Adi terdiam sejenak.
ADVERTISEMENT
“ Iya, Imam Husien” dengan kepala masih tertunduk Adi menjawab “ Sungguh aku masih mencinta dia (Ummu Khalid).” Setelah mendengar jawaban Adi, Al Husien pun memanggil Ummu Khalid.
Bertemulah Adi dan Ummu Khalid. Wajah Adi pucat pasi, perasaannya campur aduk, berkecamuk. Al Husien pun mengajukan pertanyaan yang sama terhadap Ummu Khalid. Jawaban Ummu Khalid, senada apa yang disampaikan oleh mantan suaminya.
Ketika persoalan Adi bin Hathim dan Ummu Khalid telah terang benderang. Maka ketika itu juga putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah ini memproklamirkan dihadapan keduanya : “Bahwa hari ini, mulai detik ini, engkau menjadi saksi wahai Adi; Aku ceraikan dia (Ummu Khalid)”
Imam Husien bersumpah seraya menjelaskan, “Demi Allah, demi agama yang telah dibawa oleh kakek ku, Muhammad. Aku tidak pernah menyentuhnya. Aku hanya ingin menyelamatkan pernikahan kalian. Dan, pada hari ini, juga detik ini, aku nikahkan kalian berdua.” Keduanya menangis. Adi bersimpuh di kaki Al Husien. Al Husien menarik tubuh Adi, kemudian memeluknya.
ADVERTISEMENT
Mendengar kabar bahwa Al Husien telah memperatukan kembali pasangan itu, Damaskus semakin murka, dendam demi dendam telah berakumulasi. Yazid bin Muawiyah pun berjanji, akan membuat perhitungan serta membalas apa yang dilakukan Al Husien terhadapnya.
Yazid pun menuntaskan pembalasanya di-Irak. Cucu Rasul itu: yang selalu digendong, diajak bermain, yang selalu diciumi kepalanya, dipenggal di Karbala, Irak.