Konten dari Pengguna

Serba-serbi Stimulus Rp 405 T

Fahmi nabil
Mengemban pendidikan Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya. Sukanya mengetik, bukan menulis.
8 Mei 2020 8:05 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi nabil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
ADVERTISEMENT
COVID-19 telah memberikan dampak signifikan bagi aspek ekonomi maupun sosial. Dalam menanggulangi permasalahan ini beberapa langkah dilakukan pemerintah, salah satunya pemerintah menyatakan bahwa mereka memberikan stimulus sebesar Rp 405,1 triliun. Dari stimulus yang diberikan terbagi ke dalam empat pemanfaatan yaitu, kesehatan, jaring pengamanan sosial, sektor industri, dan pemulihan ekonomi. Dana sebesar ini diharapkan dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan dan menjaga ketahanan ekonomi. Namun pada realitasnya dana tersebut tidak seindah apa yang kita bayangkan.
ADVERTISEMENT
Stimulus dan Defisit
Pemerintah mengatakan bahwa musabab penambahan defisit anggaran sebesar 5,07% karena penambahan belanja negara untuk penanganan kasus Covid-19. Dengan adanya Covid-19 ini menimbulkan dampak penurunan pada Pendapatan Negara yang awalnya ditargetkan Rp 2.223,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun. Selain itu berdampak juga terhadap kenaikan Belanja Negara dari Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun. Sehingga terjadinya defisit anggaran sebesar 5,07% atau sebesar Rp472 triliun.
etss.. Jangan berbangga dulu. Jika dilihat dari angka yang ada, ternyata penambahan defisit tidak sejalan dengan penambahan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dalam hal ini besaran defisit yang terjadi bukan merupakan penambahan atas belanja negara saja, melainkan juga kerena anjloknya Pendapatan Negara akibat terjadinya penurunan pendapatan. Berdasarkan konsep ekonomi, stimulus yang diberikan pemerintah merupakan suatu penambahan pada belanja negara dari APBN yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Casu quo, belanja negara hanya naik sebesar Rp 73,4 triliun saja, sehingga stimulus yang diberikan pemerintah nyatanya hanya sebesar Rp 73,4 triliun. Ternyata defisit anggaran ini tidak hanya dibelanjakan untuk penanganan Covid 19 saja, namun bisa saja untuk menambal hal lain yang kita tidak tahu sehingga menghasilkan defisit yang begitu besar.
Hal ini diperkuat dengan adanya keanehan dalam penambahan anggaran di setiap kementerian. Seperti halnya di kementerian kesehatan yang anggarannya bertambah dari yang asalnya Rp 57,39 triliun menjadi Rp 76,54 triliun. Akan tetapi jika stimulus yang diberikan pemerintah terhadap bidang kesehatan itu sebesar Rp 75 triliun. Namun anggaran kementerian kesehatan hanya bertambah sebesar Rp 19,15 triliun. Sehingga terjadi kebingungan, apakah anggaran kesehatan ini belum diberikan sepenuhnya atau memang anggaran yang diberikan hanya sebesar Rp 19,15 triliun. Namun kita ketahui bersama bahwa APBN perubahan sebenarnya sudah ditetapkan, sehingga bisa dipastikan stimulus yang diberikan untuk kesehatan hanya Rp 19 triliun saja.
ADVERTISEMENT
Kendala Jaring Pengamanan Sosial
Dampak yang ditimbulkan covid-19 ini sangat terasa bagi sebagian besar masyarakat, seperti masyarakat miskin dan pekerja informal. Ditambah lagi angka masyarakat miskin dan pekerja informal ini dianggap cukup tinggi, sehingga pemerintah perlu melakukan beberapa program penanggulangan. Berdasarkan data BPS per agustus 2019, ada sekitar 70 jt orang berada di garis kemiskinan, ratusan juta orang yang rentan miskin, dan terdapat 60jt orang yang bekerja di sektor informal.
Dengan begitu, peran pemerintah diperlukan untuk memberikan bantuan, baik finansial, kebutuhan pokok, maupun pekerjaan. Maka pemerintah mengatakan telah mengucurkan dana sebesar Rp.110 triliun untuk Jaring Pengamanan Sosial (social safety net).
Adapun beberapa program dalam jaring pengamanan sosial ini di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Kartu Prakerja, dan pengurangan tarif listrik. Dengan dilakukannya program-program ini diharapkan proteksi sosial meningkat, maka ekonomi dapat terjaga akibat konsumsi terjaga, dan juga dapat meringankan beban bagi masyarakat miskin dan tenaga kerja informal.
ADVERTISEMENT
Namun dari berbagai program yang dicanangkan tersebut sebenarnya terdapat masalah dalam mengoptimalisasikan Jaring Pengaman Sosial ini. Terutama masalah yang paling mendasar adalah keakuratan data. Hingga saat ini masih tidak jelas siapa saja, berapa jumlahnya, bagian mana saja, dan di mana saja masyarakat yang dapat menerima pemanfaatan dari program-program yang dilakukan.
Mungkin saat ini data yang dimiliki Dinas Sosial di setiap pemerintah daerah dapat menjadi acuan, seperti contohnya data PKH. Akan tetapi data PKH pun masih mempunyai permasalahan dalam pengumpulan nama dan juga alamat penerimanya. Kalaupun memang benar, data tersebut masih belum cukup. Contoh lain data penerima BLT seharusnya bulan april sudah selesai dan bantuan dapat disalurkan, namun hingga kini masih saja ada yang belum menerima.
ADVERTISEMENT
Padahal pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019, tentang Satu Data Indonesia, agar pemerintah bisa melakukan pengumpulan dan pemanfaatan data secara akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan hingga saat ini nyatanya cita-cita Data Terpadu tak kunjung tercapai. Hal ini patut dijadikan evaluasi bagi pemerintah, kedepannya diharapkan pemerintah dapat memperbaiki segala sistem pengelolaan informasi dan data.
Sehingga ketika data yang dimiliki akurat, maka permasalahan yang dihadapi masyarakat akibat fenomena covid-19 dapat mudah dan cepat terselesaikan.
Kartu Penuh Kritik Namun Terus Berjalan
Kartu Prakerja saat ini dijadikan sebagai bentuk bantuan bagi masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat yang belum mendapat pekerjaan dan terkena PHK akibat dampak covid-19. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk program kartu prakerja ini naik sebesar 20 triliun dengan diikuti kenaikan jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang.
ADVERTISEMENT
Namun kartu tersebut banyak menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Kartu ini dinilai sebagai pemborosan anggaran. Karena sebesar Rp 5,6 triliun dikeluarkan untuk lembaga pelatihan, seperti Ruang Guru yang hingga saat ini di media akibat pemiliknya salah satu dari mantan staf khusus presiden.
Hingga kini program pelatihan tersebut belum diketahui seberapa besar keefektifannya. Karena pelatihan ini tidak memberikan jaminan peserta mendapat rekognisi dari pasar. Apakah dengan adanya pelatihan ini nantinya dapat membantu masyarakat yang sudah menonton video pelatihan dapat mudah bekerja karena kemampuan dan keterampilan yang mereka dapatkan atau hanya asal proyek saja.
Kartu ini menunjukan ketidak efisienan ketika digunakan saat masa krisis kesehatan ini. Saat ini masyarakat pastinya hanya memikirkan persoalan perut. Sedangkan masyarakat yang tidak bekerja atau terkena PHK tidak mempunyai pendapatan. Yang jelas mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi mereka diberikan bantuan bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan adanya pelatihan ini, logikanya masyarakat diharuskan mengikuti pelatihan dulu baru mereka dapat makan.
ADVERTISEMENT
Anggaran yang dikeluarkan pemerintah pun tidak menyentuh sektor riil. Maka tidak ada pengaruhnya bagi pemulihan ekonomi dan penerimaan negara. Karena tidak ada aktivitas ekonomi disana. Namun coba bayangkan jika anggaran kartu prakerja dijadikan Bantuan Langsung Tunai, hal ini akan menimbulkan dampak yang berbeda. Daya beli masyarakat akan timbul, sehingga sangat berpengaruh besar bagi ekonomi walaupun dana bantuan hanya sebesar 5,6 triliun rupiah.