Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pentingnya Membentuk Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif
18 Mei 2020 16:05 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Fahmi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta – Selasa (12/5/2020), DPR mengesahkan RUU Minerba menjadi Undang-Undang. Pengesahan di tengah pandemi seolah sengaja dilakukan demi menghindari penolakan oleh publik setelah pembahasannya sempat tertunda, perlu diketahui pada September 2019 lalu keberadaan RUU Minerba bersama dengan RUU Pemasyarakatan dan RUU KPK sempat ditolak publik untuk disahkan.
ADVERTISEMENT
Beberapa substansi pasal dinilai yang menguntungkan pengusaha tambang atau investor dan merugikan masyarakat serta lingkungan, ditambah lagi proses pembahasan yang terkesan tertutup dan terburu-buru membuat RUU Minerba ditolak publik, situs resmi DPR tidak menginformasikan sejauh mana proses pembahasan RUU Minerba serta tidak adanya draf RUU Minerba di situs resmi DPR maupun pemerintah. Padahal Padahal Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tegas menyatakan setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sebagai bentuk asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang, seharusnya baik DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU, sampai pengundangan Undang-Undang mempunyai kewajiban untuk disebarluaskan, hal ini untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Tidak kali ini saja DPR seringkali mengabaikan dan menganggap partisipasi publik sebagai formalitas belaka. Mereka menganggap penolakan dan demonstrasi adalah bagian dari partisipasi sehingga cukup menjadi syarat formil untuk membentuk undang-undang. Padahal konsepnya tidak demikian, sebagai wakil rakyat harusnya DPR mengakomodasi aspirasi-aspirasi publik dalam pembentukan undang-undang secara substantif, artinya aspirasi publik dituangkan langsung kedalam substansi atau materi undang-undang.
Sikap anggota DPR yang menyatakan apabila tidak terima dengan undang-undang yang disahkan untuk kemudian di uji di Mahkamah Konstitusi menunjukan egoisme dalam membentuk undang-undang. Memang benar, Judicial Review adalah jalan apabila hak konstitusional warga negara dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Namun sesungguhnya ada faktor efisiensi anggaran yang perlu diperhatikan dalam pembentukan undang-undang. Undang-undang yang dibatalkan baik sebagian atau seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi, membuat anggaran yang dikeluarkan terbuang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Alangkah lebih baik, sejak awal DPR lebih mempertimbangkan keterlibatan publik sebagai upaya agar undang-undang yang dibentuk benar-benar sesuai kebutuhan hukum masyarakat. Apabila undang-undang itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan publik ia akan bermanfaat dan mendapat legitimasi yang kuat, sehingga minim untuk diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Timbul pertanyaan, mengapa sering sekali DPR tidak melibatkan partisipasi publik dalam membentuk undang-undang? Mungkin saja masalah tersebut berkaitan dengan Money Politic dalam proses pemilihan umum. Seperti kita ketahui Money Politic menjadi musuh bersama dan akar korupsi yang memperburuk demokrasi. Money Politic pula yang menjadi salah satu faktor mengapa biaya pemilu kita mahal.
Suara-suara yang terbeli dari proses Money Politic dalam pemilihan umum pembuatan ikatan dan tanggung jawab wakil rakyat dengan konstituen hilang. Secara konsep masyarakat memilih wakilnya di DPR, anggota yang terpilih menjadi wakil rakyat mempunyai kewajiban serta tanggung jawab untuk menyuarakan aspirasi mereka yang memilihnya, salah satunya dalam pembentukan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Namun karena Money Politic, konsep tersebut tidak terjadi. Calon anggota legislatif yang membeli suara-suara untuk memilihnya menganggap sudah tidak mempunyai hubungan baik tanggung jawab moril dan kewajiban untuk mewakili mereka yang memilihnya. Ibarat kata “Suara kamu sudah saya beli, sehingga sudah tidak ada lagi hubungan dan tanggung jawab saya ke kamu. Apa yang saya lakukan nanti di DPR adalah kuasa penuh saya, tidak ada hubungannya lagi denganmu”.
Permasalahan tersebut menjadi evaluasi bersama untuk Pemilu selanjutnya untuk menolak dan melawan Money Politic dalam pemilu, hal ini semata-mata agar suara-suara yang mereka amanahkan kepada anggota DPR terpilih menimbulkan rasa tanggung jawab. Oleh adanya rasa tanggung jawab hubungan konstituen dengan wakilnya, kita berharap anggota DPR tidak lagi mengenyampingkan aspirasi publik dalam pembentukan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diketahui, dalam negara hukum demokratis karakter hukum yang dihasilkan haruslah bersifat responsif agar keberlakuannya efektif dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Karakter tersebut mutlak mensyaratkan partisipasi publik. hukum responsif adalah karakter hukum yang menerima masukan-masukan hukum sebanyak-banyaknya kemudian mengambil jalan tengah yang dapat menjadi titik temu kepentingan-kepentingan hukum masyarakat secara umum. Hukum responsif pada prinsipnya merupakan hukum yang akomodatif dan aspiratif akan keinginan orang-orang yang akan diaturnya.
Fahmi Ramadhan Firdaus - Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember | Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia